Storyworthy – Kiat Bercerita dalam Segala Suasana

Salah satu aspek paling penting namun paling sering terlewat dalam berkomunikasi adalah kemampuan bercerita. Hampir setiap percakapan, diskusi, wawancara, dan pidato melibatkan cerita. Namun, meskipun sudah memiliki cerita atau pengalaman yang luar biasa memukau, kita kerap kali kebingungan menyampaikan cerita tersebut dalam sebuah situasi sosial. Padahal, cerita ini tidak hanya akan memberikan kesan baik terhadap karakter kita, tapi juga bisa menginspirasi orang lain.

Berangkat dari isu tersebut, buku Storyworthy (2018) oleh Matthew Dicks bertujuan menyelesaikan polemik ini dengan mengajarkan kiat bercerita terhadap orang lain. Selain mengajarkan cara membangun struktur cerita dari awal, tengah, hingga akhir, Storyworthy juga memaparkan berbagai tips teknis dalam menyampaikan cerita ke orang lain.

Salah satu contohnya adalah memulai sebuah cerita dengan menggambarkan latar tempat cerita. Dengan cara ini, para pendengar langsung mendapatkan gambaran ruang dalam benak mereka ketika anda bercerita. Contoh lain adalah menghindari penggunaan kata ‘dan’ dalam cerita anda dan menggantinya dengan kata ‘tetapi’ atau ‘oleh karena itu’. Menurut Dicks, kedua kata pengganti tersebut menciptakan kesan dinamis dan zig-zag yang membuat sebuah cerita menjadi lebih menarik untuk didengar.

 Sebelum masuk ke struktur cerita, Dicks memulai dengan cara menemukan pengalaman yang bisa diceritakan. Menurut Dicks, cerita dapat ditemukan melalui dua langkah.

Langkah pertama adalah mencatat setidaknya satu peristiwa menarik setiap hari, sekecil apapun. Selain menempa disiplin, kebiasaan journaling ini juga membuat seseorang menjadi lebih peka terhadap kejadian menarik dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tidak semua peristiwa kecil ini ‘layak’ untuk diceritakan, tapi setidaknya kebiasaan ini bisa membuat anda lebih pandai dalam memilah cerita yang memukau dan cerita yang biasa saja.

Setelah menemukan kisah-kisah kecil dalam kehidupan sehari-hari, Dicks mengajak pembaca untuk memasukkan kisah ini bersamaan dengan kisah lain ke dalam sebuah tabel bernama “First Best Last Worst”. Tabel ini bertujuan merangsang ingatan kita dan persepsi kita terhadap suatu topik dengan membaginya ke dalam empat kategori. Empat kategori ini adalah pertama (first), terbaik (best), terakhir (last), dan terburuk (worst). Lalu, pembaca mengisi tabel tersebut dengan tujuan menemukan kisah atau pesan mengesankan dalam pengisiannya.

Misalnya topik kencan/date bila masuk ke dalam tabel tersebut akan terbagi menjadi kencan pertama, terbaik, terakhir, dan terburuk. Melalui tabel ini, Dicks mengajak pembaca untuk menemukan kisah tersembunyi atau setidaknya sebuah anekdot dalam tabel tersebut. 

Setelah menemukan sebuah kisah, tibalah saat untuk mulai merangkai cerita. Dicks menyampaikan, awal sebuah kisah menentukan akhir kisah tersebut. Artinya, menurut Dicks, kondisi sang pencerita sebagai tokoh utama di awal cerita harus bertolak belakang dengan keadaan sang pencerita di akhir cerita. Mulai dari kesepian hingga dipenuhi rasa kebersamaan. Mulai dari egois menjadi murah hati, atau bahkan sebaliknya. Dalam menyampaikan tips ini, Dicks menarik contoh dari tokoh Dr. Alan Grant dari film Jurassic Park: mulai dari membenci anak-anak sampai menjadi peduli terhadap anak-anak. Perubahan dalam cerita inilah yang membuat sebuah cerita menjadi menarik dan mengesankan, karena menunjukkan sifat manusia yang dinamis dan bisa berubah-ubah.

Inilah pesan besar yang ingin disampaikan Dicks dalam Storyworthy: sebuah cerita bertujuan menyampaikan sebuah pesan moral yang mengubah penceritanya. Semua aspek dan anekdot dalam sebuah cerita bertujuan untuk menjernihkan pesan tersebut kepada pendengarnya. Baik melalui petunjuk yang mengarah ke penyingkapan pesan tersebut maupun melalui ‘beban’ emosional yang membuat efek penyingkapan tersebut menjadi lebih terasa.

Semua ini mengarah ke momen penyingkapan yang disampaikan oleh Dicks berlangsung selama kurang lebih lima detik. Namun lima detik ini merupakan lima detik yang paling penting dalam sebuah cerita, karena lima detik ini menunjukkan perubahan yang dialami oleh pencerita dalam kisahnya.

Berkat senjata pamungkas tersebut, Storyworthy menjadi buku yang patut dibaca bukan hanya untuk orang yang ingin meningkatkan kemampuan bercerita mereka, tapi juga bagi orang yang ingin meningkatkan kemampuan komunikasi mereka secara keseluruhan. Tidak hanya itu, prinsip ini juga bisa diterapkan dalam cerita yang bersifat non-verbal, seperti misalnya cerita pendek tertulis.

Tentu saja, semua ini disampaikan dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh pembaca, dilengkapi dengan humor rendah diri ala Matthew Dicks yang kerap muncul dalam buku. Meskipun bisa dibilang prinsip buku ini tidak harus diterapkan dalam SEMUA jenis cerita, tapi setidaknya buku ini cocok bagi mereka yang ingin mencoba merangkai cerita secara serius untuk pertama kalinya.

Teks: Jason Ngagianto

Foto: Goodreads