Haruki Murakami dikenal sebagai penulis novel yang karyanya berkali-kali meraih penghargaan internasional. Gunzo Prize for New Writers (1979), Franz Kafka Prize (2006), dan World Fantasy Award (2006) adalah beberapa penghargaan bergengsi yang diterima Murakami dalam bidang sastra. Beberapa karyanya yang terkenal adalah Hear the Wind Sing (1979), Norwegian Wood (1987), dan Kafka on The Shore (2002).
Namun ada yang berbeda dari karyanya yang satu ini. Alih-alih novel, Murakami justru menulis karya lain yang ia sebut sebagai (semacam) memoar berjudul What I Talk About When I Talk About Running. Dalam buku yang rilis tahun 2007 ini, Murakami menuliskan cerita tentang dirinya dengan sangat berhati-hati agar membuat buku ini menjadi sesuai dengan yang ia inginkan.
What I Talk About When I Talk About Running bercerita tentang awal mula kecintaan Murakami pada aktivitas berlari. Tadinya, berlari hanyalah upaya Murakami untuk membugarkan tubuhnya yang seharian digunakan untuk duduk dan menulis. Berlari juga menjadi pelengkap upayanya agar hidup sehat setelah berhenti minum alkohol dan mengisap 60 batang rokok dalam sehari. Setelah melakukan aktivitas ini secara berkala, Murakami merasakan tubuhnya menjadi lebih bugar.
Antusiasme Murakami terus meningkat hingga dia makin bersungguh-sungguh dalam berlari. Murakami bahkan mulai menentukan tujuan agar setiap harinya ia bisa konsisten, mampu berlari lebih cepat, dan menempuh jarak yang lebih jauh. Saat ia mampu menempuh 60 km per minggu, Murakami meningkatkan targetnya menjadi 70 km per minggu, kemudian bulan berikutnya menjadi 80 km per minggu.
Tak berhenti di sana, Murakami mulai terjun dalam ajang maraton setidaknya satu kali dalam satu tahun. Ia pernah berlari di musim dingin hingga kakinya kram, dan di musim panas di Athena sampai matanya pedih karena dicucuri keringat. Hingga buku ini terbit, terhitung sebanyak 25 ajang maraton di berbagai belahan dunia telah diikuti Murakami.
Buku ini tidak hanya cocok dibaca oleh penggemar Haruki Murakami, tapi bagi siapa saja yang hendak mencari referensi–atau motivasi–dalam hidup. What I Talk About When I Talk About Running memang bukan buku motivasi, namuncerita Murakami tentang dirinya menjadikan pembaca sadar bahwa potensi seseorang bisa dibangun selama ia mau berlatih secara konsisten, seperti Haruki Murakami.
Jika Murakami menemukan semangatnya dalam berlari, maka pembaca menjadi bertanya-tanya, kira-kira semangat seperti apa yang bisa muncul dalam diri kita jika bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu? Pertanyaan lain juga bisa muncul; misalnya, sehebat apa dampak yang akan kita rasakan jika mampu menjaga tubuh melalui pola hidup yang baik? Salah satu sumber pembentukan mental Murakami berasal dari kebiasaan rutin berolahraga.
Buku setebal 198 halaman ini juga mengulas bagaimana Murakami mengalami pasang surut selama rutin berlari, tidak selamanya semangat. Layaknya menulis, berlari juga membutuhkan fokus dan tujuan yang jelas sehingga strategi untuk mencapainya terus berkembang. Murakami tak berhenti hanya karena lelah atau hanya karena bosan.
Ada satu lagi yang menarik dari buku ini. Beberapa kali, sang penulis mencantumkan judul lagu yang menemaninya saat sedang berlari. Pembaca seakan diajak mengikuti Murakami sembari mendengarkan lagu yang disebutkan dalam bukunya.
Melalui buku ini, kita bisa merasakan semangat Murakami melalui tulisannya tentang berlari. Lebih jauh dari sekadar menceritakan hobi, Murakami memasukkan penemuan-penemuan berharga yang bisa kita terapkan juga dalam hidup. Tentang bagaimana daya juang manusia diibaratkan otot. Jika terus dibiasakan bekerja keras, maka lama-lama akan lebih mudah menerima beban dan terbiasa dengan beban tersebut.
Dalam buku ini, terdapat kutipan:
“Pain is inevitable. Suffering is optional. Say you’re running and you think, ‘Man, this hurts, I can’t take it anymore. The ‘hurt’ part is an unavoidable reality, but whether or not you can stand anymore is up to the runner himself.”
Murakami mencoba menyampaikan bahwa dalam menghadapi kesulitan hidup, kita memiliki kendali atas sejauh mana kita merasakan penderitaan. Kita mungkin tidak dapat menghindari kesulitan atau rasa sakit itu, tetapi kita dapat memilih bagaimana kita meresponnya dan sejauh mana kita membiarkan hal tersebut memengaruhi kita. Ini menggambarkan pentingnya ketahanan, tekad, dan sikap mental dalam menghadapi tantangan dan kesulitan.
Teks: Siti Mahdaria dan Diana Dwi Annisa
Foto: Berbagai sumber