Cerita dari Rafah

“…Setelah Rafah, kita mengungsi ke syurga.”

Eksodus untuk hidup

Hari itu, warga sipil Palestina bergerak ke selatan, menuju kota di ujung Palestina yang berbatasan langsung dengan Mesir. Kata militer Israel, di sana aman, tidak akan ada serangan bagi warga sipil. Rafah, nama kota tujuan itu, adalah benteng pertahanan terakhir para pengungsi Gaza. Ada harapan akan keselamatan, setidaknya bisa hidup hingga esok dan esoknya lagi. Daerah dengan luas kurang lebih setara dengan kota Banda Aceh di Indonesia ini adalah tanah yang dijanjikan oleh Zionis Israel sebagai tempat yang (katanya) aman. Warga Palestina memegang janji itu erat-erat dalam kendaraan penuh manusia yang membawa mereka. Anak-anak, dewasa, tua, muda Palestina melakukan eksodus besar-besaran, berpegang pada janji.

Janji yang Diingkari

Namun, berjanji adalah satu hal, dan mengingkarinya adalah hal yang lain.

Rafah menampung sekitar 1.5 juta pengungsi yang tersebar di kamp-kamp pengungsian. Kamp pengungsian yang dijanjikan untuk aman itu, terbakar di suatu malam, menewaskan pengungsi sipil yang percaya akan janji nyawa yang akan dijaga. Namun, tidak ada tempat aman di Gaza. Janji itu sudah diingkari. Bahkan bayang-bayang rasa takut pun tak beda dari kawan. Tak terkecuali di al-Mawasi, Zona Kemanusiaan begitu Israel menamainya, pun tak luput dari intaian maut bagi warga Gaza. “Zona Kemanusiaan” macam apa itu jika angka-angka dari jumlah kematian kian bertambah, terutama korban anak-anak dan wanita?

Meski menuai kecaman dunia internasional, seolah tutup telinga, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendeklarasikan serangan darat yang ditujukan pada Rafah tanpa malu. Pengungsi Rafah pun kini eksodus kembali. Entah ke mana demi mencari tempat tersisa yang sekiranya masih bisa memperpanjang napas hidup.

Hidup dalam Distopia

Teror Israel hanyalah satu dari banyak ketakutan, bisa jadi mati karena serangan atau mati karena kelaparan.  Bayangkan berada di satu tempat dengan lebih dari sejuta orang yang ada di sana dengan tumpukan sampah serta kuburan massal. Jangankan tempat tidur yang layak, makanan, kesehatan, sanitasi, apapun kebutuhan dasar manusia, menjadi sebuah utopia. Kenyataannya yang terjadi saat ini di Rafah, lebih seperti berada dalam distopia.

Bantuan kemanusiaan diblokade. Makanan adalah hal langka. Di puing-puing sisa kebakaran, anak-anak terlihat mengais makanan-makanan yang tersisa untuk melanjutkan hidup. Di kali lain, anak-anak berdesakan menggotong panci-panci kosong menunggu makanan. Kelaparan adalah hal yang lumrah di Rafah.

Pun halnya dengan kelangkaan air. Air sebagai sumber kehidupan tersedia sangat minim di Gaza. Seperti yang dikutip dari The United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA), akses terhadap air bagi para pengungsi hanyalah satu liter per orang per hari yang digunakan untuk minum, mandi, hingga mencuci.

Toilet? Jangan ditanya, ratusan orang mengantre di depan satu toilet yang tidak bisa dikatakan layak pakai. Tidak cukup dengan itu, gelombang panas juga menghantam Rafah. Suhu tinggi menyulap tenda-tenda yang terbuat dari plastik dan terpal menjadi serupa oven besar. Banyaknya serangga dan nyamuk juga menambah derita yang dialami pengungsi. Belum lagi, kondisi kesehatan yang buruk bersamaan dengan suhu tinggi, menjadi kombo bagi sebaran penyakit untuk menggila seperti Hepatitis A dan penyakit lainnya yang bisa jadi akan timbul, cepat atau lambat.  

Kehidupan seolah-olah berhenti di sini, di Rafah.

Yang bisa dilakukan untuk Rafah…

Kini banyak bantuan kemanusiaan secara materiil tidak bisa masuk ke Gaza. Karena itu, menyebarkan secara masif yang terjadi di Rafah dengan segenap kemampuan yang dimiliki adalah jalan terbaik. Buat dunia tahu tentang Rafah dan kejamnya penindasan yang seharusnya tidak ada di muka bumi belahan manapun. Jangan lelah berhenti menyuarakan kebaikan. Rafah bukan lagi soalan agama, tidak ada agama manapun yang membenarkan penindasan.

Izinkan saya mengutip kata-kata menyentuh dari Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan untuk menutup cerita dari Rafah ini.

“Tak perlu menjadi muslim untuk membela Palestina. Cukup kau menjadi manusia!”

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” – Pembukaan UUD 1945

Teks: Mutia Putri

Foto: Berbagai sumber