Guru Muda Inspiratif: Dari Desa, Mendunia

Lahir dari keluarga yang mayoritas berkecimpung di dunia pendidikan, tidak heran jika akhirnya Muhammad Akbar Rafsanzani memiliki kecintaan akan dunia pedagogis. Tinggal di kota Palembang, Sumatera Selatan, ia dididik oleh orang tuanya, Zaenuddin dan Sri Sulastri, untuk disiplin dan bertanggung jawab. Sebagai guru, Ibunya melatih keluarga mereka untuk konsisten belajar setelah shalat maghrib. Hal ini juga yang membuat ia dan saudara-saudaranya belajar setiap harinya. 

Sedang menempuh kuliah magister MA in Education di University of Hull, Inggris dengan dukungan dari Beasiswa Chevening, Akbar telah menjadi guru sejak tahun 2015. Setelah lulus kuliah di tahun 2014, dia mengikuti tes CPNS dengan penempatan Daerah Otonomi Baru, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, kurang lebih 5 jam dari pusat kota Palembang. Sebelumnya, Akbar juga telah menjadi tutor di TK (Taman Kanak-Kanak)/TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) Miftahul Huda di daerah tempat tinggalnya sejak SMA. Dia berbagi pengalaman dan mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak di lingkungan tersebut. “Kecintaan ini yang membawa saya memilih karir sebagai guru sekolah dasar. Saya menemukan kebahagiaan saat mengajar anak-anak,” ungkapnya.

Sejak kecil, Akbar sangat menikmati proses belajar dan dia memiliki rasa ingin berbagi yang tinggi. Hal ini membuatnya berpikir untuk membagikan hal apapun yang dia mampu dan bisa. “Pendidikan dasar yang diberikan saat di SD merupakan elemen signifikan untuk membentuk karakter seseorang” jelas Akbar mengenai motivasinya fokus mengajar anak-anak SD. 

Di sisi lain, dia melihat peluang menjadi guru SD sangatlah besar dikarenakan banyaknya guru SD yang akan pensiun. Secara sosial dan ekonomi, pilihan menjadi guru SD sangat menjanjikan. Selain itu, pengalaman yang Akbar miliki sejak SMA baik di sekolah sebagai tutor sebaya maupun di TK/TPA membuatnya menemukan kebahagiaan saat menjadi pengajar terutama mendidik anak-anak. 

“Selama mengajar, saya mengamati tingkah laku mereka, sikap pesimis, kompetitif, suasana perundungan dan lainnya. Hal ini membuat keingintahuan untuk mendalami ilmu pedagogis pada pendidikan dasar. Hal ini menjadi dasar ketertarikan saya ingin belajar lebih lanjut di kampus mengenai perkembangan anak dari sisi psikologis, cara mengemas konten pembelajaran, melakukan assessment dan manajemen kelas,” cerita Akbar.

Saat ditanyai mengenai nilai peran seorang guru baginya, Akbar mengungkapkan, “Jika dianalogikan sebagai petani, guru hanya dapat menuntun tumbuhnya padi. Guru dapat memberikan intervensi berupa perbaikan kondisi tanah, memberikan pupuk, air dan membasmi hama tumbuhan. Meskipun pertumbuhan tanaman padi dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodrat nya sebagai padi. Maka dari itu, guru berperan sebagai penuntun bukan pengubah diri anak. Guru harusnya tahu bagaimana menumbuhkan berbagai jenis “tumbuhan” dengan berbagai pendekatan yang berbeda dan personalisasi.”

Ketika menjadi guru, Akbar menemukan permasalahan yang dialami oleh guru-guru di sekolah tempat dia mengajar terkait pemanfaatan teknologi dalam proses belajar mengajar. Akbar pun berdiskusi dengan rekan sesama guru dan memutuskan untuk mendirikan Digital Education Community (DigiEdu). DigiEdu adalah komunitas guru lokal yang berfokus untuk mengintegrasikan teknologi pendidikan di sekolah. Platform ini membawa visi “digital wisdom” dimana menjadi wadah guru saling berbagi dan berdaya bersama. Akbar dan Ranita Sari menginisiasi komunitas ini atas dasar kegelisahan dan tanggung jawab moral untuk meningkatkan kompetensi diri dan komunitas. “Komunitas ini juga menjadi self-reminder, sebagai guru, kita selayaknya belajar sepanjang hayat. Informasi lebih lanjut mengenai kegiatan kami dapat dilihat melalui sosial media Intagram @digitaleducommunity” tutur Akbar lagi.

Dengan “Digital Wisdom” ini, Akbar dan timnya berharap DigiEdu dapat menyiapkan guru lokal yang lebih terampil menggunakan teknologi di sekolah secara saksama dengan mempertimbangkan fasilitas penunjang sekolah, kesiapan siswa, sarana dan prasarana dan wellbeing. Setahun terakhir, komunitas ini telah mengadakan berbagai kegiatan peningkatan kompetensi guru baik secara daring maupun luring seperti mengadakan pelatihan untuk lebih kurang dari 500 guru, diskusi kelompok terumpun untuk sekitar 300 guru, membuat konten video pembelajaran dengan digital engagement 15.000 serta berkolaborasi dengan 9 organisasi dan pemerintah daerah. Di tahun 2019, DigiEdu mendapatkan penghargaan Doing Good Challenge dan dana hibah dari Indorelawan dan PT. Paragon Technology and Innovation dalam penyelenggaraan kegiatan sosial dimana kegiatan ini melatih 30 guru lokal dalam pembuatan konten pembelajaran interaktif. 

Awal mulanya banyak yg menyepelekan pilihan Akbar saat memilih menjadi guru SD. Mayoritas orang berpikir bahwa ngajar SD hanya berpusat pada soal berhitung dan membaca alfabet. Personal branding ini pun sekarang menjadi tanggung jawab calon guru milenial dalam membuat kesan bahwa guru SD itu juga suatu hal yang keren. Saat ini, profesi guru sudah lebih sejahtera. Secara finansial, pemerintah Indonesia telah memberikan insentif bagi guru yang telah lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam bentuk sertifikasi agar lebih sejahtera. Ditambah lagi, masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) sekarang mulai naik daun dikarenakan peluang kerja yang cukup menjanjikan. “Di balik semua keuntungan tersebut, saya rasa menjadi guru merupakan suatu pilihan hidup. Ketika berani memilih, maka selamanya belajar beradaptasi.”

Guru kelahiran 3 Oktober 1992 ini memaknai guru sebagai sosok pemimpin yang memberikan masukan, arahan, dan mempersiapkan bekal di masa depan. Setiap orang memiliki jiwa guru, jiwa akan gelisah dengan masalah sekitar dan ingin turun tangan serta ikut berkontribusi. Refleksi ini pun tak elaknya karena Akbar memiliki sosok guru yang menginspirasi dirinya. Guru Bahasa Inggris zaman SMA-nya memberikan banyak kesempatan mengikuti lomba pidato dan debat Bahasa Inggris. Dia banyak belajar mengenai kerja keras, latihan, kegagalan dan pengembangan diri selama mengikuti kompetisi.

Akbar pun berpesan bahwa mengajar itu bukan kuasa penuh yang memberikan dirimu kesempatan menjadi otoriter. “Cobalah berpihak kepada anak, ajarkan yang anak butuhkan dan bermakna bagi kehidupan mereka nantinya. Selami dunia mereka, bersikap empati dan bijaksana saat mengajar. Kalian orang-orang hebat yang berani mengambil jalan panjang untuk kemajuan pendidikan. Mari berjuang bersama!”

Cerita Berkesan Akbar ketika Mengajar

Teringat momen dimana kami di kelas melakukan praktek mindfulness dengan cara olah napas seperti biasanya. Sudah tiga bulan aktivitas ini berlangsung, emosional anak-anak mulai terkontrol dan lebih penyabar. Topik hari itu, internalisasi nilai-nilai Pancasila, mereka diminta menceritakan pengalaman tidak pancasilais yang pernah dialami. Mayoritas anak-anak bercerita tentang kisah perundungan, pertengkaran dan isu keluarga. 

Kami duduk melingkar dan mulai mendengarkan cerita satu dengan lainnya. Satu anak bercerita mengenai perundungan yang dia alami dan rasa sakit yang dilaluinya. Sontak anak-anak lainnya terdiam, merasa bersalah dan mata berkaca-kaca. Si anak yang terkenal jagoan dan kuat ini ternyata memendam pilu kehidupan. Teman sebelahnya secara perlahan menepuk bahu dan mencoba membuat tenang. Suara tangis mulai terdengar, ia bercerita jika tinggal bersama nenek dimana kedua orang tua bercerai dan tidak mengurusnya lagi. Ia juga terkenal sering mencari perhatian karena kurangnya kasih sayang orang tua. 

Satu hal yang sangat membuat saya bangga adalah inisiasi dari anak lainnya yang merangkul dan meminta maaf secara langsung kepadanya.

Biodata

Nama :

Muhammad Akbar Rafsanzani

Tempat Tanggal Lahir :

3 Oktober 1992

Pekerjaan :

Guru SD Negeri 3 Abab,

Kab. Penukal Abab Lematang Ilir,

Sumatra Selatan (2015- Sekarang)

Pendidikan :

S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar,

Universitas Sriwijaya (Cumlaude)

S2 MA in Education Studies

at University of Hull (on going)

Teks: Siti Mahdaria

Foto: Muhammad Akbar Rafsanzani

dan Muhammad Arif Ramadhan