Ghian Tjandaputra: Kisah tentang Pemuda dan Soft Diplomacy

Usia muda bukanlah halangan untuk mengukir berbagai prestasi. Berusia belia justru dapat menjadi bekal untuk terus mengasah kemampuan diri dan membawa nama baik Indonesia di dunia global. Seperti Ghian Tjandaputra Muhammad. Di usia 28 tahun, ia telah mengukir banyak prestasi dan meniti karier internasional.

Ghian kini tengah bekerja sebagai Engagement Coordinator di The Australia-Indonesia Centre (AIC) Monash University, Caufield Campus, sejak November 2014. Ia menuturkan, AIC merupakan sebuah lembaga riset yang berdiri di akhir tahun 2013 atas inisiatif dari mantan Perdana Menteri Australia Tony Abbott dan Presiden Republik Indonesia yang keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tujuan berdirinya Lembaga ini adalah untuk memperkuat hubungan bilateral dua negara melalui sektor pemerintahan, bisnis dan pendidikan. “Peran saya tiga tahun belakangan ini adalah menghubungkan semua stakeholder yang terkait,” jelas Ghian yang dulu mengenyam pendidikan gelar sarjana (double degree) di jurusan Politics and Journalism di Monash University ini.

Salah satu program yang pernah ia tangani adalah Australia-Indonesia Leaders Program tahun 2017 yang mengangkat tema tentang “Future Cities”. Program ini merupakan kerja sama antara kedua negara, didukung oleh beberapa instansi pemerintahan. Di dalam program ini terdapat kegiatan kenegaraan dan kebudayaan yang bertujuan untuk meningkatkan peran tata kota yang lebih baik. Saat menjalankan program ini, ia dan pihak AIC berkolaborasi dengan beberapa universitas di Australia seperti Monash University, Australian National University, University of Melbourne, University of Sydney dan universitas di Indonesia yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB).

Ghian yang juga cukup tertarik dalam isu politik ini menuturkan apa yang ia lakukan melalui AIC adalah bentuk soft diplomacy. Menurutnya, pendekatan soft diplomacy bisa dilakukan melalui olahraga, musik, fashion dan juga makanan. Ia sendiri pernah menuliskan artikelnya mengenai eksistensi fashion dan film dalam memperkuat hubungan antar dua negara di website The Australia Indonesia Center (https://australiaindonesiacentre.org).

Kemampuan dan keterampilan Ghian dalam soft diplomacy sudah tampak sejak lama. Ketika masih mengenyam pendidikan bachelor di Monash University, Ghian cukup aktif menjembatani hubungan persahabatan antara teman-temannya yang berasal dari Australia dan Indonesia di bidang olahraga, dengan mendirikan Krakatoas FC (Australia Indonesia Football Community). Terbentuknya komunitas ini didasari keinginan Ghian untuk memperkenalkan jenis olahraga khas Australia ini kepada teman-temannya yang berasal dari Indonesia. Ia pun sempat menjadi AFL Multicultural Community Ambassador untuk Richmond FC dan tercatat sebagai anggota Indonesia Garuda team pada gelaran AFL International Cup di tahun 2017.

Bukan sekali itu dia menorehkan pencapaian lintas nasional. Prestasinya di kancah internasional sudah terlihat ketika usia 19 tahun, ia menjadi delegasi Indonesia termuda di konferensi PBB untuk Climate Change (UNFCCC COP) 15 di Copenhagen, Denmark (2009). Ketika itu ia bekerja untuk Asisten Menteri Lingkungan Hidup RI bidang Kerjasama Internasional. Sederet prestasi lainnya yang pernah ia ukir adalah mewakili Indonesia pada G20 Youth Summit (2011), British Council Global Change Makers (2010), serta mengikuti program Study of the United States Institutes (SUSI) di tahun yang sama.

Berbagai prestasi yang telah ia dapatkan ini menurutnya merupakan buah dari networking yang ia jalin dengan beberapa teman maupun kenalan. Baginya, materi pembelajaran di kelas saat kuliah tidak akan cukup untuk mengasah kemampuannya, sehingga Ghian pun bersikap proaktif untuk banyak mempelajari ilmu baru. Dengan demikian, keinginannya untuk terus memberikan dampak positif bagi sekitar dapat terwujud.

“Ada beberapa nilai penting yang saya cermati selama belajar dan berkarier di Australia, yang bisa diterapkan di Indonesia. Contohnya, pola berpikir kritis (critical thinking). Dengan menjadi kritis, kita bisa memproses informasi seakurat mungkin, memproses validasinya dan berpikir apa motif di balik sebuah masalah. Apalagi di tengah arus informasi sekarang yang membuat informasi hoax jadi cepat beredar,” kata anak pertama dari dua bersaudara ini.

Hal lainnya adalah soal budaya egaliter dan menjunjung konsep equality baik di bidang profesional maupun informal. “Nilai-nilai yang seperti ini bisa menjadi hal yang baik ketika diimplementasikan di Indonesia,” kata Ghian. Terakhir, ia pun mencermati tentang etos kerja di negeri kangguru ini. Orang-orang sangat menghargai waktu dan tidak takut melakukan kesalahan. “Saya berharap kita bisa menyerap hal yang baik dari negara ini untuk sama-sama memajukan Indonesia di masa depan,” tambahnya lagi.

Teks: Destari Puspa Pertiwi

Foto: Windu Kuntoro, dok. pribadi Ghian Tjandaputra