(Kembali) Berbincang Tentang Sastra dengan Pak Anton Alimin

Bukan hanya seorang penulis, bapak Anton Alimin juga merupakan pendiri Good Morning Indonesia with Poetry (GMIP), sebuah program yang tidak mudah untuk dideskripsikan. Pada intinya, GMIP adalah sebuah program yang mempromosikan bahasa Indonesia melalui wawancara-wawancara dengan siapapun yang mempunyai cerita yang menarik. Di channel Youtube-nya, pak Anton mewawancarai sastrawan seperti Dewi Anggraeni, serta anggota diaspora-diaspora lain seperti Soheil Abbas, diaspora Pakistan di Melbourne. GMIP menciptakan materi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris selain wawancara; pembacaan puisi, sastra, dan bahkan lagu-lagu bisa ditemukan di channel Pak Anton.

Maka itu, mungkin lebih tepat lagi jika kita memanggil GMIP sebuah arsip sejarah oral Indonesia. Kecintaan pak Anton terhadap kata-kata, sastra, dan bahasa menonjol di channel-nya, terutama kecintaannya terhadap bahasa Indonesia. Ini membuat OZIP tertarik untuk kembali berbincang dengan Pak Anton, kali ini mendengar pendapatnya tentang sastra Indonesia.

Mengapa Pak Anton berpikir sastra Indonesia mesti diketahui oleh orang Indonesia?

Saya pikir itu suatu hal yang mutlak ya. Orang Indonesia harus tahu sastranya sendiri, sebelum tahu sastra orang lain. Sama dengan bahwa Anda tidak tahu diri kita, kalau tidak tahu orang lain. Tapi bisa sebaliknya juga, Anda tidak tahu orang lain kalau tidak tahu diri kita sendiri.

Sastra Indonesia itu menurut saya sastra yang paling indah. Menurut kita, ya?

Dan itu pun serta diakui oleh orang-orang yang berbahasa Indonesia sebagai sastra kedua. Mereka pun juga mengagumi bahwa sastra Indonesia sastra yang indah sekali.

Apa yang membuat sastra dan bahasa Indonesia paling indah? Apakah itu karena bahasa Indonesia adalah bahasa kita?

Saya rasa bukan!

Seperti Jaya Sukarna bilang, bahwa nuansa musik di Indonesia itu paling kaya di dunia, saya rasa juga termasuk bahasanya ya. Begitu majemuknya masyarakat Indonesia, lebih dari seratus bahasa, kalau menurut catatan resmi 468 dialek!

Apakah penulis sastra Indonesia telah membantu membentuk identitas Indonesia sebagai sebuah bangsa?

Ya jelas! Seperti pengarang-pengarang Kho Ping Hoo, Larose, Nh. Dini, Pramoedya Ananta Toer, Hamka, banyak sekali yang berhasil menanamkan ke-Indonesiaan itu melalui sastra.

Pramoedya, Kho Ping Hoo bisa menarik pembaca ke dalam ceritanya ya, dan kadang-kadang bisa mengerikan ya, masuk ke dalam cerita nggak bisa keluar lagi. Seperti Jumanji, ya? Nggak sembarangan ya? Dewi Anggraeni pun ada satu cerpen yang saya baca, bagus sekali. [Seno] Gumira Ajidarma hebat sekali. Saya sendiri setelah berhenti enam belas tahun membaca fiksi, fiksi pertama [yang saya baca] itu [adalah] Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi, itu luar biasa! Hebat, ya.

Saya pikir, saya bisa membayangkan Pak Harto baca cerpen itu, pasti dia ketawa juga! Lucu! Dia senang dengan Ajidarma saya rasa. Biarpun dia yang disentil, ya. Tapi Pak Harto pasti senang

Dan Pak Seno itu kan memang salah satu aktivis di Indonesia yang paling berani ya, yang paling pandai dan yang paling kreatif. Kalau begitu, jika kita mengaitkan sastra dan aktivisme, apakah bapak merasa sastra bisa menjadi salah satu bentuk aktivisme yang paling penting?

Oh, ya! Contohnya, Gunter Grass ya, pengarang Jerman, itu dulu dilarang masuk Israel. Jadi dia menulis puisi yang nyentil tentang senjata nuklir Israel, jadi sastra betul-betul bisa hebat sekali. Mungkin lebih hebat daripada senjata itu sendiri, ya?

Ajidarma sendiri saya rasa nggak ditangkap karena cara dia mengungkapkan kediktatoran Suharto halus sekali. Saya baca Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi beberapa kali di kereta ya, saya takut karena bisa senyum sendiri, bisa disangka nggak waras! Saking bagusnya. Begitu bagusnya, dan nggak semua pengarang bisa nyentil kesalahan orang yang diajak bicara tanpa merasa tersinggung, justru merasa senang.

Saya rasa hanya Ajidarma ya, yang bisa berbuat seperti itu.

Jadi, ketika bapak membaca sastra Indonesia perasaanya seperti apa?

Dulu ketika jam terbangnya lebih sering sama orang lokal, saya lebih senang baca literatur berbahasa Inggris. Tapi sekarang saya kembali ke sastra Indonesia seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck oleh Hamka, banyak buku seperti begitu–Pramoedya juga–kita bisa dibawa ke zaman Belanda! Itu tokoh-tokoh di cerita Pramoedya itu betul-betul ada, satu-dua tokoh itu memang ada! Jadi novel sejarah ya?

Sekarang saya harus pilih betul-betul ya cerita mana dari Pramoedya saya mau baca karena kadang-kadang saya tidak bisa keluar darinya! Ngeri itu!

Ngeri-ngeri nikmat ya?

Menurut bapak mengapa kita merasa beda ketika kita menggunakan bahasa kedua, misalnya bahasa Inggris, dari ketika kita menggunakan bahasa pertama?

Saya rasa tergantung secara penuh waktu kita bergaul dengan bahasa tertentu, ya.

Saya sendiri enam belas tahun pertama di [Australia] berbaur total dengan orang lokal. Dan waktu itu, saya justru merasa lebih enak dengan bahasa kedua, sebagai bahasa Inggris ya. Terus kembali ke bahasa Indonesia setelah ngajar bahasa Indonesia, dan di mana saya sehari-hari itu dominan bahasa Indonesia, jam terbangnya lebih tinggi. Dan saya rasa lebih tenteram dengan bahasa Indonesia. Jadi tergantung berapa jam sehari menggunakan bahasa ibu atau bahasa kedua.

Dan bahasa juga macam-macam: ada bahasa percakapan, ada bahasa menulis, ada keterampilan mendengarkan, membaca, dan berbicara. Itu empat keterampilan yang memang berbeda bagian otak yang digunakan. Jadi tergantung kalau bahasa percakapan kita merasa lebih tenteram dengan bahasa pertama, memang itu bahasa ibu kita ya. Tapi [untuk] merasa tenteram dengan bahasa kedua, tergantung jam terbang kita sehari-hari dengan bahasa tersebut. Jadi tergantung di mana dan jumlah jam terbangnya.

Teks: Victoria Winata dan Anton Alimin

Foto: Berbagai sumber