Annabelle Love adalah seorang mahasiswi dari University of Melbourne yang sedang mengambil jurusan Kajian Indonesia. Sejak masa kanak-kanaknya, Annabelle mencintai bahasa dan kebudayaan Indonesia. Ia menjadi contoh bahwa orang asing juga bisa memahami dan mempelajari tanah air kita, bahkan (terkadang) lebih daripada orang Indonesia sendiri.
Kapan Annabelle mulai belajar bahasa Indonesia?
Jadi saya mulai belajar bahasa Indonesia di kelas 1 SD. Kakak-kakakku mulai berbicara kepada aku dalam bahasa Indonesia karena mereka mempelajarinya di sekolah. Saya sering mendengarkan mereka mengatakan “Selamat pagi!” dan “Selamat malam!” Setelah itu, saya belajar bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, lalu SMP, lalu SMA, dan sekarang saya belajar bahasa Indonesia di universitas.
SD tempat saya belajar, Benalla East Primary School, memiliki salah satu program bahasa Indonesia terbaik di Victoria. Jadi saya mengambil sebuah bilingual class. Itu kelas khusus untuk mempelajari bahasa Indonesia, dimana setiap tahun kami menari dan belajar tarian tradisional Indonesia, seperti Tari Kelapa atau Tari Saman, Tari Aceh.
Di kelas 5 dan 6, saya sempat menyanyi lagu pop Indonesia dan juga membuat film dalam bahasa Indonesia.
Jadi Annabelle mulai tertarik dengan bahasa Indonesia karena mendengarkan kakak-kakak menggunakan bahasa Indonesia di rumah?
Mungkin terutamanya, saya tertarik akan bahasa dan budaya Indonesia karena pengalaman saya sendiri di sekolah. Kelas bahasa Indonesia di sekolah selalu menyenangkan. Saya menciptakan banyak kenangan yang baik di kelas itu. Guru bahasa Indonesia saya selalu lucu dan semangat ketika mengajar kami.
Kapan Annabelle mulai berinteraksi dengan orang Indonesia?
Saya mulai berinteraksi dengan orang Indonesia di SD. Ada beberapa guru bahasa Indonesia yang merupakan orang Indonesia. Selain itu, setiap tahun saya ikut serta kegiatan VILTA (Victorian Indonesia Language Teacher’s Association) di University of Melbourne. Dan di sana saya bertemu dengan dosen-dosen dari fakultas Kajian Indonesia. Saya ingat di Year 11, saya mengikuti Model United Nations Conference yang diselenggarakan dalam bahasa Indonesia.
Tapi, sebelum lingkungan kampus, mungkin saya tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan orang Indonesia secara langsung. Di University of Melbourne ada komunitas Indonesia yang cukup besar dan di sanalah saya bertemu dengan orang Indonesia yang baik hati. Sejak itu, saya menjadi belajar banyak kosakata yang baru dan nuansa budaya dalam konteks informal.
Bagaimana persepsi kamu terhadap Indonesia atau orang Indonesia berubah sejak kamu masuk universitas?
Waktu saya kecil, Indonesia merupakan tempat yang sangat berwarna-warni. Ada banyak masakan yang enak dan menarik. I was like, “Oh, pisang dengan keju, what?!” Tentu saja ada Indomie dan tarian tradisional, wah, sangat menakjubkan.
Waktu saya mulai kuliah, mungkin cinta saya untuk Indonesia menjadi lebih dalam karena saya belajar lebih banyak tentang konteks sosiopolitik dan saya mulai memahami “oh, Indonesia seperti ini karena peristiwa sejarah itu”. Mungkin di universitas, saya juga mulai memahami keberagaman yang ada di Indonesia. Waktu saya masih kecil saya melihat: “Oh, tarian itu! Oh, itu Indonesia! Oh, tarian itu, itu Indonesia juga!” Tapi sekarang, ya, ada banyak suku bangsa di Indonesia, ada banyak keberagaman, dan bagi saya itu semua hebat. Hebat sekali, luar biasa.
Sekarang, saya belajar tentang campuran bahasa. Bagaimana orang mencampur bahasa di Indonesia. Itu adalah lanskap atau lingkungan linguistik yang mungkin tidak ada di Australia. Saya berpikir bahwa lanskap linguistiknya indah sekali. Semua penduduk di kota saya hanya bisa berbahasa Inggris.
Apa sikapmu terhadap kualitas pendidikan bahasa Indonesia di Australia?
Well, saya hanya belajar bahasa Indonesia di Australia jadi tidak ada negara lain untuk membandingkan pengalaman saya. Tapi dalam pengalaman saya, pendidikan bahasa Indonesia di Australia cukup lengkap, dan saya berpikir mempelajari bahasa Indonesia adalah sebuah pengalaman yang sangat bermanfaat. Ada banyak program yang bisa diikuti dan ada cukup banyak pendanaan bagi para mahasiswa untuk belajar di Indonesia.
Tapi saya tahu bahwa jumlah sekolah-sekolah yang mengajar bahasa Indonesia di kedaerahan Victoria semakin menurun. Bukan standar pendidikan bahasa Indonesia yang semakin berkurang, tapi jumlah sekolah atau jumlah program bahasa Indonesia di Victoria yang semakin menurun.
Menurutmu apakah ini mengkhawatirkan?
Sedikit mengkhawatirkan, tapi saya tahu secara umumnya komunitas Indonesia di Victoria sangat aktif. Mungkin sekolah-sekolah di Victoria tidak seaktif seperti dulu, kalau dibandingkan dengan tahun 1990-an. Tapi sekarang ada cukup banyak organisasi yang bekerja keras untuk menggalakkan program bahasa Indonesia.
Semakin berkurangnya program bahasa Indonesia sedikit mengkhawatirkan kalau melihat program bahasa Indonesia di universitas. Penutupannya banyak program kajian Indonesia di universitas-universitas Australia memang mengkhawatirkan, tapi di tingkat akar rumput saya kurang pasti.
Saya bukan seorang pakar tapi saya pikir ada banyak kelompok yang berusaha untuk mencari cara terbaik untuk menggalakkan program bahasa Indonesia.
Apa dampak penutupan program bahasa Indonesia terhadap Victoria, menurut Annabelle?
Kesempatan untuk mengenal sebuah tetangga yang luar biasa. Dan apa yang akan saya lakukan sekarang jika saya tidak mempunyai program itu ketika saya masih kecil? Saya tidak tahu. Saya akan jatuh cinta dengan siapa kalau bukan Indonesia?
Teks dan foto: Victoria Winata