Perempuan dalam Islam

Bahwa perempuan punya kedudukan yang sangat terhormat dalam Islam dapat dilihat dari isi kitab suci Umat Islam, yaitu Al Qur’an.

Bagi Umat Islam, Al Qur’an adalah “kalamullah” – yang dapat dijabarkan sebagai “perkataan Allah yang disampaikan malaikat Jibril (alaihissalam – damai atasnya) kepada Nabi Muhammad (SAW) untuk dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia, secara bertahap selama jangka waktu sekitar 23 tahun, awalnya di Mekkah selama 13 tahun dan kemudian di Madinah selama 10 tahun (dari tahun 609 s/d 632 Masehi).

Jadi bagi Umat Islam apa yang tertera dalam Al Qur’an tidak dapat dibantah, melainkan diterima sebagai kebenaran sejati.

Mengingat tulisan ini diterbitkan dalam edisi bulan Desember majalah OZIP (pada waktu mana umumnya Umat Kristen merayakan Natal untuk merayakan hari lahir Yesus), maka penulis akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengabarkan kepada teman-teman non-Muslim yang belum pernah berkenalan dengan Al Qur’an, bahwa dalam Kitab Suci Umat Islam ada Surah yang berjudul Maryam (alaihassalaam).

Surah tersebut terdiri dari 98 ayat, sementara Nabi ‘Isa sendiri namanya disebut sebanyak 25 kali dalam Al Qur’an. 

Umat Islam mengakui dan menghormati Maryam sebagai bunda Nabi ‘Isa (alaihissalaam). Apabila putra Maryam tersebut diucapkan namanya secara lengkap maka akan terdengar sebagai berikut: ‘Isa abna Maryam, alias ‘Isa putra Maryam., dan kemudian disertai ucapan tambahan “alaihissalaam” atau “damai ke atasnya.”

Tidak sah keislaman seorang Muslim yang tidak mengakui Nabi ‘Isa sebagai Rasul yang Agung. 

Selain itu ada juga Surah (ke-3) yang bernama/berjudul “Aali Imraan” atau “Keluarga Imran” yang merupakan keluarga Nabi ‘Isa melalui bondanya yang oleh Nabi Muhammad (SAW) disebut “bahwa Maryam adalah salah seorang dari segelintir perempuan yang sempurna.” Nama lengkapnya Maryam bint Imran. 

Beliau satu-satunya perempuan yang disebut namanya sampai puluhan kali dalam Al Qur’an melebihi dalam kitab-kitab suci lainnya. Allah (SWT) memujinya dan menggambarkan Maryam sebagai wanita yang suci. Dalam Al Quran tidak ada nama bunda Nabi Muhammad (SAW) yaitu Aminah, atau nama istri pertama beliau Khadijah atau putri beliau Fatimah. Tapi Maryam (AS) yang disebut sampai hampir 40 kali.

Penghormatan terhadap perempuan dalam Islam tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan ada Surah bernama An-Nisaa -artinya ‘perempuan’, namun tidak ada Surah yang bernama lelaki.

Juga dalam Al Qur’an (2:187) disebutkan bahwa, “mereka (istri kamu) adalah pakaian bagi kamu dan kamu (para suami) adalah pakaian bagi istri kamu…”

Menurut para ahli tafsir, ayat ini dimaksudkan untuk menandaskan bahwa suami-isteri itu seharusnya saling menghormati. Dengan metafora “pakaian” Allah hendak menekankan bahwa yang terdekat dengan masing-masing, yaitu suami/isteri, adalah pasangannya, karena pakaian adalah yang paling dekat dengan diri seorang manusia yang beradab. Pakaianlah yang bersentuhan langsung dengan kulit seorang manusia.

Kalau kita membicarakan tentang perempuan dalam Islam maka sering sorotan langsung ditujukan pada betapa rendahnya nilai dan kedudukan perempuan dibanding lelaki dalam Islam. Dan biasanya pula langsung diangkat soal “poligami” – yang berarti seorang lelaki Muslim dapat memperisterikan sampai dengan empat orang perempuan sekaligus.

Pada hal ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yang secara jujur mungkin tidak ada seorang lelaki pun yang sanggup memenuhinya.

Hanya ada satu ayat yang menyebut tentang poligami (QS 4:3). Dalam ayat ini ada ungkapan “berlaku adil” terhadap semua isteri. Kalau tidak mampu, maka cukupkah satu.

Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah (SAW) sesuai dengan ‘asbabun nuzul’ – sebab-sebab diturunkannya ayat. Jadi bukan sembarangan saja diturunkan.

Dalam hal poligami, ayat yang mengizinkan menikahi lebih dari satu istri, adalah keberadaan (waktu itu) begitu banyak janda dan puteri-puteri yatim akibat peperangan. Jadi, pernikahan poligamis itu lebih berupa pengayoman oleh lelaki terhadap perempuan yang telah kehilangan suami atau perempuan yang telah kehilangan orang tua/pelindung. Kalau kemudian ada tafsir yang menyebutkan bahwa setiap lelaki Muslim dibolehkan menikahi sampai dengan empat orang istri tanpa syarat-syarat yang telah ditentukan, maka itu barangkali adalah kesalahan tafsir atau ahli-tafsir. 

Pada masa-masa awal Islam, lelaki dan perempuan menikmati hak yang sama dalam segala segi kehidupan.

Dalam apa yang dikenal sebagai Perang Khandag (tahun 627 Era Masehi), Nabi Muhammad (SAW) mengangkat seorang perempuan bernama Safiyyah sebagai Walikota Medinah. Dan dalam kesempatan lain beliau mengatakan, “mendidik seorang lelaki berarti mendidik satu individu, tetapi mendidik seorang perempuan berarti memberdayakan seluruh masyarakat. (Muhammad The World Changer oleh Mohamad Jebara). 

Dalam sejarah bangsa Indonesia, jarang kita dengar tentang “pahlawati” Keumalahayati, Laksamana Pertama Angkatan Laut kesultanan Aceh. Malahayati (1550-1615) adalah seorang lulusan pesantren yang oleh ayahnya dipercaya untuk memimpin angkatan laut Aceh, untuk menghadapi penjajah Portugis dan Belanda.

Malahayati adalah perempuan pertama di dunia yang dipercaya menjadi laksamana Angkatan Laut. Sebagai seorang janda beliau kemudian menghimpun janda pejuang Aceh lainnya, dikenal dengan nama inong balee dalam bahasa Aceh yang berarti “armada janda”.

Pada tahun 1599, Panglima Ekspedisi Belanda Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan Aceh. Sultan Aceh waktu itu (ayahanda Keumalahayati) menyambutnya dengan hormat, namun kemudian perwira Belanda itu bersikap kurang ajar, dan memutuskan untuk menyerang Pasukan Janda Aceh pimpinan Malahayati.

Menurut sejarah, dalam duel dengan Malahayati, Nicolas de Houtman akhirnya tertusuk pedang Srikandi Aceh lulusan pesantren itu, dan tewas di tempat.

Masih ada lagi “pahlawati-pahlawati” Muslimah di Aceh lainnya. Sebut saja Cut Nyak Dhien (1848-1908), pemimpin gerilya yang melawan Belanda selama 25 tahun. Ada juga Cut Meutia (1870-1910) juga seorang Muslimah pejuang.

Kata pujangga Inggris William Congrieve:

“Hell hath no fury like a woman scorned” – yang artinya “amarah api neraka pun tidak sedahsyat amarah seorang perempuan yang tersinggung”.

Nicolas de Houtman menyinggung perasaan Keumalahayati karena bersikap kurang ajar terhadap ayahnya sang Sultan Aceh, dan harus membayarnya dengan nyawanya. Allahu a’lamu. 

Teks: Nuim Khaiyath

Foto: National Geographic Indonesia