Akhirnya Perdana Menteri Australia Malcolm Bligh Turnbull mundur atau dimundurkan dari jabatannya sebagai pimpinan pemerintah. Lewat pemungutan suara, tentunya.
Alkisah, salah seorang menterinya yang wewenangnya cukup luas di kalangan para menteri lainnya, Peter Dutton, dari sebuah daerah pemilihan di Queensland, sampai pada keputusan bahwa atasannya, Malcolm Turnbull, sudah tidak lagi mendapat kepercayaan dari kebanyakan anggota fraksi (kaukus) Partai Liberal dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Ia menantang agar dilakukan “spill” fraksi Partai Liberal yang jumlahnya 85 orang. Arti harfiah “spill” dalam bahasa Inggris adalah “tumpah”, tapi dalam konteks politik artinya yang memimpin memanggil kaukus dan mengumumkan pemilihan baru pimpinan yang di dalamnya ia kembali mencalonan dirinya, begitu juga penantang atau para penantangnya.
Begitulah, pada suatu hari Selasa menjelang akhir bulan Agustus PM Malcolm Turnbull menyelenggarakan “spill”. Peter Dutton yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Imigrasi dan Dalam Negeri juga ikut bertarung di sana. Hasil spill menunjukkan ternyata PM Malcolm Turnbull masih didukung oleh lebih banyak anggota kaukus/fraksi Partai Liberal. Peter Dutton kalah dengan perbandingan suara 48-35.
Namun Peter Dutton, yang sudah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri, masih belum mau mengaku kalah. Apalagi, sejumlah anggota fraksi yang pada siang hari sebelumnya mengaku mendukung PM Malcolm Turnbull, di malam harinya mereka “balik gagang”.
Perubahan sikap (pembelotan?) ini akhirnya memaksa PM Malcolm Turnbull menantang balik. Ia meminta ditunjukkan petisi berisi paling tidak 43 nama dan tanda tangan dari para anggota kaukus/fraksi yang masih menginginkan diadakan pertarungan ulang pada hari Jumat siang. Secara perkasa, Malcolm Turnbull berjanji akan mengundurkan diri sebagai perdana menteri kalau lebih dari separuh anggota kaukus/fraksi menghendaki pemilihan ulang. Ternyata 43 anggota kaukus (lebih dari separuh) menghendaki pertarungan ulang karena kemenangannya beberapa hari sebelumnya – 48 lawan 35 – dianggap belum cukup meyakinkan.
Ketika mengajukan persyaratan agar ada petisi tersebut, PMMalcolm Turnbull menyebut-nyebut adanya “makar” dalam batang tubuh kaukus/fraksi Partai Liberal yang dikipas oleh sebagian media yang kurang berpihak kepadanya karena sikapnya kurang “kolot” (konservatif). Namun begitulah akhirnya pertarungan dilangsungkan kembali pada suatu hari Jumat – tidak sampai setengah pekan sejak ia memenangkan pertarungan yang pertama.
Tiga anggota kaukus/fraksi, masing-masing Peter Dutton, Menteri Luar Negeri merangkap deputi pimpinan Partai Liberal Julie Bishopm dan sekutu Malcolm Turnbull yang juga adalah Bendahara Negara (sebanding Menko di Indonesia), Scott Morrison, mencalonkan diri. Menlu Julie Bishop gugur dalam putaran pertama dan dalam pemungutan suara berikutnya Peter Dutton kembali terjungkal. Bendahara Negara Scot Morrison (dijuluki ScoMo) menang 45 lawan 40 suara, dan otomatis menjadi perdana menteri baru Australia yang hari itu juga dilantik Gubernur Jenderal Sir Peter Cosgrove yang pernah menjadi Panglima Pasukan PBB/Interfet di Timor Timur dalam masa peralihan dari kekuasaan R.I. ke tangan Timor Leste (1999-2000).
Banyak yang tercengang, bagaimana seorang politisi dalam jangka waktu hanya dua-tiga hari bisa berubah pendirian dari pendukung menjadi penentang, dari kawan menjadi lawan. Tapi itulah politik, segala cara bisa menjadi halal demi tercapainya tujuan. Kita juga bisa bilang bahwa politik sama sekali tidak mengenal kesetiaan abadi, sebab yang utama adalah kepentingan abadi.
Sebenarnya di Indonesia sendiri pun sikap seperti ini sudah beberapa kali terlihat. Masih terasa segar di ingatan kita bagaimana berapi-apinya dan gegap gempitanya banyak kalangan mengumandangkan pekikan “berdiri tanpa reserve di belakang Bung Karno!” namun beberapa waktu kemudian berubah haluan dan melantangkan “hidup Pak Harto!”. Masih terngiang-ngiang pula di telinga kita lantunan “Putera terbaik bangsa!” oleh Menteri Penerangan Harmoko yang kemudian malahan menganjurkan agar Pak Harto lengser. Seperti bunyi kalimat sindiran “hari ini ayam jago besok opor”.
Dalam politik memang dikenal istilah “kutu loncat” – politikus yang rajin pindah-pindah partai. Untuk Indonesia memang tidak mengherankan, karena menurut suatu penelitian hanya 12% rakyat Indonesia yang punya kesetiaan kuat pada partai tertentu, sementara di Australia jumlah itu mencapai 57% dan di Amerika 84% (menurut John McBeth dalam Asia Times). Jadi, Indonesia memiliki massa “mengapung” yang ibarat pucuk eru, menunggu ke mana angin bertiup.
Lalu apa kaitannya dengan “Et tu Brute?”?
Pujangga jenius dari Inggris William Shakespeare dalam karya agungnya “Julius Caesar” mengisahkan bagaimana sang kaisar akhirnya dibunuh oleh komplotan yang khawatir bahwa ia akan kembali menjadikan dirinya raja, padahal Roma waktu itu sudah sepakat untuk menjadi republik. Komplotan makar ini dikompori oleh seorang bernama Caius Cassius yang sama sekali tidak disukai oleh Julius Caesar, antara lain karena dia kurus kering dan bahwa orang seperti itu berbahaya. Sebagaimana halnya dengan Peter Dutton, Cassius juga sangat jarang tersenyum.
Di sisi lain, ada Marcus Brutus yang sudah seperti anak angkat bagi Julius Caesar. Caius Cassius sadar, tanpa andil Marcus Brutus, tindakan makar tidak akan berhasil. Karena itulah, Caius Cassius membujuk habis-habisan agar Brutus bersedia memimpin komplotan makar untuk membunuh sang kaisar pada pertengahan bulan Maret (15 Maret tahun 44 SM).
Waktu itu Julius Caesar datang ke Senat meski telah diperingatkan juru tenung agar hati-hati pada pertengahan bulan Maret. Tiba di Senat, ia diserang oleh seorang anggota komplotan makar bernama Casca. Namun Julius Caesar mampu membela diri dari serangan, karena Julius Caeser memang panglima yang handal. Namun ketika Julius Caeser melihat orang yang dianggapnya sudah seperti anak angkatnya sendiri, Brutus, ikut dalam komplotan asasinasi itu, ia putus asa dan berkata: “Et tu Brute? (Kau juga, Brutus?)”. Konon Julius Caesar tak berhasrat lagi untuk membela dan mempertahankan dirinya karena merasa sudah dikhianati.
Marcus Brutus memberikan pembenaran atas sikapnya. “Bukan karena sayangku kepada Julius Caeser kurang, melainkan sayangku kepada Roma lebih besar,” ujarnya. Sejak itu, dalam percaturan politik muncul ungkapan “Brutus” yang artinya musuh dalam selimut atau pagar makan tanaman.
Dalam kasus makar terhadap Malcolm Turnbull ada sejumlah “Brutus” yakni yang semula sekutu tapi kemudian menikam dari belakang. Namun sejumlah di antara mereka masih dipertahankan oleh sekutu Malcolm Turnbull yang kini jadi Perdana Menteri, yaitu Scott Morrison. Ini bisa terjadi karena, sebagaimana dikatakan seorang teman di Australia, ada perbedaan antara “lawan dan musuh” – lawan masih bisa jadi kawan, kalau musuh mungkin bebuyutan.
Wallahu a’lam.
By: Nuim Khaiyath