Saat ini Melbourne adalah kota paling nyaman dihuni di muka bumi, juga salah satu kota dengan beaya hidup yang paling mahal. Kebayang nggak sih kalau Melbourne pernah dikhawatirkan jadi kota mati?
Di awal 1950-an, kecemasan itu pernah melanda. Selepas perang dunia kedua, pertumbuhan ekonomi justru terjadi di kota-kota sekitar. Para pemilik toko di tengah kota Melbourne sudah kehabisan akal untuk bisa menarik minat pembeli apalagi turis.Tak pelak ini membuat pejabat kota dan para pengusaha berpikir keras. Dua tahun sebelumnya, hari buruh yang biasanya dihelat tak lagi diperingati akibat kondisi sosial dan politik yang berubah.
Asosiasi Pembangunan Kota yang didirikan oleh para pelaku usaha berserta Dewan Kota Melbourne, lalu menciptakan karnaval musim gugur yang diberi nama Moomba. Acaranya dilaksanakan selama akhir pekan yang panjang selama libur hari buruh. Dari hari Jumat hingga Senin di bulan Maret.
Moomba perdana dilaksanakan bertepatan dengan kehadiran Ratu Elizabeth II pada 1954. Namun, festival ini baru dibuka secara resmi setahun berselang oleh Gubernur Victoria Sir Dallas Brooks, yakni pada 12 maret 1955.
Berawal dari upaya membuat keriangan keluarga di pusat kota sambil memperingati hari buruh, Moomba kemudian menjadi salah satu festival paling meriah di Australia. Moomba juga diakui sebagai festival yang paling bertahan lama di negeri Kangguru ini. Keriuhan ini menyediakan hiburan bagi semua umur, dari anak-anak, remaja hingga dewasa.
Perhelatan Moomba ke-60 baru saja dilaksanakan pada 7-10 Maret 2014. Ratusan ribu orang tumpah ruah menghadiri berbagai atraksi kesenian. Memang, angka paling fantastik yang pernah ditorehkan Moomba terjadi pada 1996, saat itu tak kurang dari 1,7 juta pengunjung ikut menyesaki kemeriahan festival.
Puncak Moomba Festival adalah parade yang selalu ditunggu-tunggu. Tahun ini lebih dari 2.000 orang ikut berpartisipai. Kontingen Indonesia yang didukung KJRI Melbourne pun tak ketinggalan. Kali ini rombongan Indonesia di bawah koordinasi Widi Baskoro dari Indonesian Creative Community of Australia (ICCA). Mereka menampilkan keragaman Indonesia dan menonjolkan cirri khas masing-masing organisasi massa yang terlibat. Ada Mahindra Bali, Perwira, Ikawiria, Anging Mamiri, Sanggar Nimar Laras, Indonesian Club Melbourne, IMCV, AIYA, PPIA Victoria, dan ICCA.
Unsur Indonesia lainnya juga ditampilkan oleh  sanggar Gamelan dan Anda (GDA) yang berpusat di Thornbury. Para anggota akademi musik Bali yang semuanya bule itu menabuh gamelan sambil berjalan mengikuti rute festival.
60 tahun Moomba tetap meriah dan tumpah ruah. Kini, tantangannya adalah menampilkan atraksi yang tidak monoton pada setiap tahunnya. Terutama pada pelaksanaan parade yang cenderung kurang unsur kejutan. Inilah tantangan bagi Dewan Kota dan para pengusaha yang terlibat dalam keriuhan Moomba.
(IDY, dari berbagai sumber. Foto: Windu Kuntoro, Jenriya Dewa, IDY)