Monash University melalui Herb Feith Indonesian Engagement Centre dan VILTA (Victorian Indonesian Language Teachers’ Association) menyelenggarakan acara Indonesian Language Holiday Program (ILHOP) pada 8 – 9 Juli 2024 di kampus Clayton. Acara ini dirancang untuk memperkenalkan dan mengajarkan bahasa serta budaya Indonesia kepada siswa SMA dari berbagai sekolah di Victoria, dengan kegiatan yang mendidik dan menghibur.
Hari pertama dimulai dengan sesi belajar bahasa Indonesia yang diikuti dengan antusias oleh peserta. Sesi ini dirancang untuk memberikan pemahaman dasar tentang bahasa Indonesia, termasuk kosa kata, tata bahasa, dan percakapan sehari-hari. Setelah itu, mereka mengikuti lokakarya tarian tradisional yang dipandu oleh Sanggar Lestari. Kegiatan berikutnya adalah kelas memasak yang dipandu oleh Dapur Indo, di mana siswa belajar menyiapkan berbagai masakan tradisional sambil berinteraksi dalam bahasa Indonesia.
Pada hari kedua, kegiatan dimulai dengan sesi silat non-kontak yang memberikan peserta wawasan tentang seni bela diri tradisional Indonesia. Sesi ini tidak hanya mengajarkan teknik dasar silat tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai yang terkandung dalam seni bela diri ini. Setelah itu, ada sesi memasak lanjutan dan permainan bahasa serta treasure hunt yang diorganisir oleh AIYA (Australia-Indonesia Youth Association). Kegiatan-kegiatan dibuat menyenangkan dan mendorong penggunaan praktis bahasa Indonesia dalam berbagai konteks.
“Menggunakan metode yang menggabungkan budaya dan bahasa, seperti tarian dan memasak, membuat siswa lebih mudah memahami dan mengapresiasi bahasa Indonesia,” terang Yacinta Kurniasih, akademisi Indonesian Studies di Monash University dan co-coordinator ILHOP. “Melalui berbagai aktivitas ini, peserta tidak hanya belajar bahasa Indonesia tetapi juga merasakan langsung budaya Indonesia.”
Peningkatan Peserta dan Keberhasilan Program
Memasuki tahun ketiga, jumlah peserta meningkat signifikan dari 20 orang pada tahun lalu menjadi 45 orang tahun ini. Peserta beragam, di mana sebagian besar adalah anak-anak dari keluarga komunitas diaspora Indonesia. Yacinta sendiri mengakui ada banyak evaluasi yang dilakukan sehingga persiapan tahun ini jauh lebih matang. Yacinta juga meyakini biaya yang terjangkau, hanya 40 dolar untuk dua hari, jadi salah satu faktor penarik utama.
“Utamanya dalam mempromosikan acara ini melalui media sosial yang sudah dilakukan sejak berbulan-bulan lalu,” jelas penulis buku kompilasi puisi To Whom It May Concern ini.
“Keberhasilan ini menunjukkan bahwa pendekatan kami dalam menggabungkan pembelajaran bahasa dengan budaya sangat efektif. Jumlah peserta yang meningkat signifikan setiap tahunnya adalah bukti bahwa acara ini sangat diminati,” ujar Yacinta.
Tantangan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia
Salah satu tantangan besar di Australia adalah kebijakan bahasa yang tidak memberikan dukungan cukup untuk bahasa selain bahasa Inggris. Hal ini berdampak pada sikap masyarakat Australia terhadap pentingnya belajar bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia.
“Kebijakan bahasa di Australia cenderung monolingual, yang berdampak pada sikap masyarakat terhadap pentingnya belajar bahasa lain selain bahasa Inggris,” jelas Yacinta. “Di Indonesia, keragaman linguistik dihargai dan didukung oleh kebijakan pemerintah dari pusat hingga daerah, berbeda dengan di Australia yang lebih fokus pada bahasa Inggris.”
Menurut dia, dukungan kebijakan yang kurang fokus terhadap bahasa membuat pembelajaran bahasa ini diserahkan kepada sekolah dan universitas. Hal ini menyebabkan kurangnya konsistensi dan dukungan yang memadai untuk program bahasa yang juga diperburuk pandemi COVID-19. “Di Victoria, kami beruntung memiliki dukungan dari pemerintah dan universitas seperti Monash yang aktif mempromosikan pembelajaran bahasa Indonesia. Namun, ini tidak cukup jika tidak ada kebijakan yang mendukung,” tambahnya.
Menurut Yacinta, pendekatan yang inovatif dan interaktif sangat penting dalam menarik minat siswa untuk belajar bahasa. “Dengan menggabungkan aktivitas budaya yang menyenangkan dan edukatif, kami dapat membuat siswa merasa lebih terlibat dan termotivasi untuk belajar bahasa Indonesia,” jelasnya. “Kami melihat bahwa pendekatan personal sangat penting, terutama untuk siswa usia remaja. Mereka perlu merasa diperhatikan dan didukung.”
Peran Akademisi dalam Mempromosikan Bahasa dan Budaya Indonesia
Sebagai seorang akademisi, Yacinta menyadari pentingnya peran aktif dalam mempromosikan pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia. “Akademisi harus berperan aktif dalam mengenalkan bahasa dan budaya Indonesia di Australia. Kami tidak bisa hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga harus melakukan inisiatif sendiri untuk mempromosikan pembelajaran ini,” katanya. “Kami harus proaktif dalam mengadakan acara dan kegiatan yang memperkenalkan bahasa dan budaya Indonesia kepada masyarakat luas.”
Akademisi dan pengajar memiliki tanggung jawab besar dalam mendukung dan mengembangkan program-program seperti ILHOP. Dengan adanya peningkatan peserta yang signifikan dan respon positif dari berbagai pihak, Yacinta yakin ILHOP berpotensi menjadi model bagi universitas dan negara bagian lain dalam mengembangkan program serupa.
“Kami berkomitmen untuk terus memperbaiki dan memperbesar acara ini, dengan tujuan untuk menjadikannya platform yang lebih inklusif dan menarik bagi siswa dari berbagai latar belakang.”
Teks: Rivi Satrianegara
Foto: Yacinta Kurniasih