Banda, film kedua yang diputar dalam Main Screening Indonesian Film Festival 2018 pada hari Sabtu, 28 April 2018 lalu mengundang animo besar dari penikmat film. ACMI Cinema 1 yang berkapasitas 200 kursi tersebut tersebut disesaki penonton. Bahkan sebagian besar pengunjung tidak meninggalkan kursi pada saat sesi tanya jawab dengan Jay Subiyakto sebagai sutradara film Banda.
Banda the Dark Forgotten Trail adalah sebuah film dokumenter berdurasi 94 menit yang mengupas kepulauan Banda, mulai dari kekayaan sumber daya, budaya, sampai dengan keindahan alamnya. Narasi sejarah tersebut dituturkan dengan apik oleh Reza Rahardian, membawa penonton terpesona dalam gambar demi gambar yang bercerita tentang banyak hal. Salah satunya adalah fakta bahwa di abad ke-17, Banda memiliki kekayaan yang nilainya melebihi emas, yaitu pala. Berguna sebagai penambah rasa masakan, pengawet makanan, bahkan sampai obat, kemahsyuran buah ini mengundang perseteruan bangsa-bangsa Eropa untuk meneguhkan posisi di Banda. Kisah pun bergulir, salah satunya tentang beberapa tokoh besar Indonesia seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri yang diasingkan ke Banda Neira.
Di beberapa menit terakhir, diperlihatkan Banda masa kini yang bertahan dengan industri perkebunan pala, perikanan dan pariwisata bawah lautnya. Namun ketiadaan inovasi dan pembaharuan membuat nadi perekonomian Banda melemah, tak sejaya dahulu. Masyarakat Banda yang multikultural sempat mengalami goncangan berat di tahun 1999. Kejadian masa itu dituturkan dari sudut pandang orang pertama, Pongky van den Broeke, yang juga merupakan korban kerusuhan.
Film Banda ditutup dengan puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Cerita Buat Dien Tamaela. Berkisah tentang semangat dan keberanian pemuda Maluku, Chairil mampu menggambarkannya dengan sempurna walaupun tak sedetik pun ia pernah menjejakkan kaki di Maluku.
Pemutaran film kemudian disusul dengan sesi tanya jawab singkat yang dipandu oleh Peter Krausz, kritikus film Australia. Dalam sesi ini Peter mengungkapkan apresiasinya atas film Banda yang menurutnya menarik dan tidak biasa, termasuk penggunaan animasi untuk menggambarkan adegan sadis. Diakui Jay, salah satu faktor yang mendorong dirinya memakai animasi dan bukannya aksi seperti film laga adalah karena keterbatasan biaya. Ujaran Jay ini tentu saja mengundang tawa pengunjung.
Pertanyaan menarik lainnya adalah bagaimana cara Jay mengatur waktu dan emosi selama pembuatan film tersebut, terutama dalam menjaga kualitas tontonan. Di sinilah, Jay berkata bahwa ia menerapkan hal yang tidak biasa, yaitu membiarkan enam sinematografi yang disewa untuk berkarya sebebas dan semau mereka. Foto, suara dan cuplikan video yang diambil benar-benar berbeda antara satu sama lain, menambah keunikan gambar dan pada akhirnya membuat Banda menjadi karya utuh yang unik dan menarik.
Teks: Putri Utaminingtyas
Foto : Kelvin Fadillah di IG: @pemimpinulung