Rilis: 2016
Durasi: 97 menit
IMDb: 7.3/10
Istirahatlah Kata-Kata (2016) yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen menggambarkan kehidupan aktivis dan penyair Wiji Thukul sebagai buronan Orde Baru, terutama ketika ia bersembunyi di Kalimantan selama delapan bulan.
Bernama asli Wiji Widodo, Thukul lahir di kelas bawah, dan selama hidupnya tetap mengidentifikasi diri sebagai seorang pekerja, yang berjuang dan menderita bersama para buruh. Karena perlawanannya, Wiji Thukul menjadi sasaran oleh rezim Suharto. Thukul, bersama rekan-rekannya di Partai Demokrasi Rakyat (PRD), dikambinghitamkan oleh pemerintah Suharto setelah kerusuhan 27 Juli 1996 di mana kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) waktu itu dibakar. Setelah itu, aparat negara termasuk militer dan polisi memburu Wiji Thukul sehingga ia terpaksa bersembunyi di berbagai tempat di Indonesia.
Aktor Gunawan Maryanto yang memerankan sang penyair dalam film pernah mengatakan “Ternyata jadi buron itu jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi.”
Kalimat itu membuatku merinding, barangkali karena inilah ia merupakan kalimat pertama yang diucapkan dalam trailer film itu. Ketika anda menontonnya, pracuplik Istirahatlah Kata-Kata benar-benar hampir tanpa kata-kata, dan penuh kesunyian. Filmnya juga begitu. Mungkin, bagi anda, ini agak ironis: sebuah cerita tentang seorang penyair, yang terkenal untuk kata-katanya yang berapi, disampaikan lebih banyak melalui kesunyian. Akan tetapi, kediaman sering lebih menusuk daripada suara, dan lebih lagi ketika suara itu tidak dibutuhkan.
Karena kemiskinannya, pendidikan formal Wiji Thukul sangat terbatas: tulisannya memang tersohor karena mereka mudah dicerna dan dimengerti oleh masyarakat luas. Ia menggunakan kata-kata yang sederhana, dengan gaya lugas. Sesuai dengan reputasi tokoh utamanya, film Yosep Anggaeni Noen itu mempunyai dialog yang sederhana, tanpa ucapan-ucapan yang mewah.
Istirahatlah Kata-Kata juga menyoroti peran penting Siti Dyah Sujirah atau yang dikenal dengan Sipon (Marissa Anita), istri Wiji Thukul yang tidak hanya setia, tapi luar biasa tangguh. Sementara suaminya terpaksa bersembunyi dan berlari, Sipon tetap di rumah dan mengasuh kedua anak mereka.
Sipon meninggal tahun lalu pada tanggal 5 Januari 2023 di Solo. Sampai wafatnya Sipon tidak pernah tahu apakah suaminya masih hidup atau tidak, tapi tidak pernah menyerah dalam perjuangannya mencari keadilan untuk lelaki tersayangnya.
Kebanyakan waktu, para tokoh-tokoh hanya bisa dilihat dari belakang, dimana hanya kepalanya yang dapat dilihat oleh penonton. Ini menciptakan anonimitas. Sebagai contoh, salah satu adegan yang paling menempel di ingatan saya adalah ketika menjelang akhir film dimana Sipon duduk di meja sambil bercakap dengan suaminya. Kita hanya bisa melihat belakang kepalanya. Ini menjadikannya orang biasa; ia bisa menjadi siapapun, istri siapapun dan ibu siapapun yang mencintai suami dan anak-anaknya.
Istirahatlah Kata-Kata tidak berakhir dengan kata-kata maupun kesunyian, tapi dengan tangisan. Dialog terakhir film itu diucapkan oleh Sipon. Perempuan setia ini menangis ketika ia mengutarakan kerinduannya akan Wiji Thukul, sekaligus kesadarannya bahwa tidak mungkin mereka bisa bersama sementara lelaki itu diburu oleh pemerintah. Wiji Thukul, barangkali terlalu terharu untuk bicara, tidak mengatakan apa-apa dan kembali masuk ke kamar mandi.
Sipon, masih menangis, mulai menyapu lantai kamar hotel di mana ia bertemu diam-diam dengan suaminya, dan kita akan tetap mendengarnya ketika film mengalih ke credits.
Istirahatlah Kata-Kata wajib ditonton oleh seluruh generasi muda supaya mengetahui sejarah kita, serta kehidupan seorang penyair luar biasa dalam Wiji Thukul. Kita harus mengingat Wiji Thukul, para aktivis, korban, dan penyintas 1998. Bukan hanya itu, tapi kita harus menolak melupakan pelanggaran HAM berat di Indonesia supaya korban dan keluarga mereka tidak berakhir seperti Sipon, yang meninggal tanpa keadilan.
Teks: Victoria Winata
Foto: Berbagai sumber