Hidup Sebagai Seorang Diaspora di Luar Negeri

Hidup jauh di rantau sudah menjadi tradisi yang lazim di kalangan generasi muda Indonesia. Tren ini turut memperkenalkan istilah “diaspora” di kalangan masyarakat Indonesia. Sebelumnya, kata “diaspora” merujuk kepada kelompok suku Yahudi yang bermigrasi ke Armenia. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, makna kata diaspora ini pun berubah untuk turut mencakup mahasiswa dan pekerja yang merantau ke mancanegara. Menurut William Safran, pakar ilmu politik dari University of Colorado Boulder, seseorang dapat disebut sebagai diaspora jika memenuhi kriteria karakteristik berikut: dirinya meninggalkan daerah asal untuk merantau di negara asing dengan tetap membawa idealisasi tanah leluhurnya sambil berbekal harapan bahwa suatu saat dirinya dapat kembali untuk memajukan kampung halamannya.

Penasaran dengan gaya kehidupan diaspora Indonesia di luar negeri, tim OZIP pun mewawancarai beberapa diaspora-diaspora Indonesia yang saat ini tengah menetap di Jepang, Taiwan, Thailand, Hungaria, dan Turki. Berikut kisah menarik yang dibagikan oleh para perantau mancanegara ini:

Arga Ramadana (Thailand)

Arga adalah seorang mahasiswa asal Indonesia yang saat ini tengah menempuh pendidikan pasca sarjana jurusan Agricultural Economics di Prince of Songkla University. Disamping kesibukannya sebagai seorang pelajar, dirinya juga bekerja sebagai seorang asisten pengajar.

“Saya memilih untuk berkuliah di Thailand karena negara ini berdekatan dengan Indonesia. Saya juga sangat bersyukur karena bisa memperoleh beasiswa untuk bersekolah di kampus yang menyediakan jurusan Agricultural Economics terbaik di ASEAN. 

Saya merasa ada beberapa perbedaan signifikan yang saya temui di Thailand. Beberapa diantaranya termasuk fasilitas kampus yang sangat lengkap, keramahan orang-orang lokal yang tulus membantu mahasiswa internasional, dan anak–anak muda yang sangat menghargai dan menghormati orang yang lebih tua. 

Selain itu, saya juga memiliki pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan. Suatu hari, saya mengira salah masuk asrama karena melihat banyak perempuan cantik. Ternyata, asrama tersebut adalah asrama untuk para transgender! Saya pun tidak elaknya pernah satu dua kali digoda oleh mereka. Namun, pengalaman ini turut membukakan mata saya kepada adat dan kebiasaan bangsa lain.”

Asiah Amatullah (Turki)

Gadis yang biasa disapa Asiah ini sedang menempuh pendidikan tinggi Turki jurusan Desain Komunikasi dan Media di Turki. Disamping kesibukannya sebagai mahasiswi, Asiah juga aktif menjual barang-barang khas Turki untuk didistribusikan di Indonesia. 

“Awalnya Saya hanya ingin mencoba sesuatu yang bebeda seperti kakak yang sudah lebih dahulu berkuliah di Turki. Alhasil, saya pun menyusul dan mencoba menimba pendidikan di negara ini. Selama disini, saya merasa bahwa orang-orang lokal sangat suka mendoakan satu sama lain. Meskipun gaya hidup mereka cenderung agak kebarat-baratan, nasionalisme dan budaya mereka tetap kuat.

Sejauh ini, tantangan terbesar yang saya temui adalah dari segi bahasa. Tidak banyak orang lokal yang mampu berbahasa Inggris sehingga kita dituntut untuk berbincang dalam bahasa Turki sehari-harinya. Saya juga banyak belajar tentang kekeluargaan dan silaturahmi kekeluargaan selama saya berkuliah disini. Tidak jarang mereka akan menelepon dan berbincang dengan keluarga jauh atau berkumpul untuk minum teh bersama.” 

Inovasita Alifdini (Jepang)

Inov adalah seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang mengambil pendidikan pasca sarjana Master Course of Sustainable Energy Engineering di Jepang.

“Saya sangat mengagumi gaya pendidikan di Jepang. Anak-anak dididik sejak kecil untuk disiplin, mandiri, dan pangkal kebersihan. Anak-anak dibiarkan berangkat ke sekolah sendirian. Hal ini tentunya juga didukung kondisi lingkungan yang relatif aman, dan anak-anak yang dibekali pluit tanda bahaya. 

Tantangan terberat adalah cultural shock ketika pertama tinggal di negara asing. Pada awalnya, saya tinggal di kota kecil yang tidak banyak ditempati oleh warga Indonesia. Bersamaan dengan itu, saya juga banyak bertemu teman dari Malaysia. Hal lain yang cukup menonjol adalah sulitnya menemukan restoran halal di Jepang. Namun, saya juga sangat terkesima ketika banyak orang Jepang yang memuji hijab dan bertanya bagaimana cara memakai hijab.” 

Purbohadi Utomo (Hungaria)

Berbekal motivasi keliling benua Eropa, Purbohadi Utomo memutuskan untuk berkuliah Master of Computational and Cognitive Neuroscience di Hungaria.

“Perbedaan paling mencolok yang Saya rasakan selama menjadi diaspora disini adalah ragam masyarakat yang sangat multicultural. Banyaknya mahasiswa mancanegara menyebabkan gaya pergaulan yang lebih individualis dan bebas. 

Saya juga sangat kagum dengan inisiatif KBRI disini yang selalu menyelenggarakan acara-acara lokal guna mempromosikan budaya dan wajah Indonesia yang ramah dan menarik. Selama disini, saya belajar untuk menghargai waktu dan cara-cara berkomunikasi yang lebih baik dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia. Saya turut senang ketika mendapat kesempatan untuk bertemu dengan keluarga dan teman-teman baru di Hungaria. Meskipun hati sedih karena jauh dari keluarga, namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena saya juga masih dapat berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan Indonesia lokal yang diadakan oleh pihak KBRI dan bertemu teman-teman baru.” 

M. Rakhmat Setiawan (Taiwan)

Saat ini, Rakhmat tengah merintis pendidikan di bidang Industrial Management (MBA Program) di National Taiwan University of Science and Technology (Taiwan Tech) sembari bekerja sebagai Research Assistant of Data Science Laboratory IM-NTUST.

“Pada awalnya, sempat tidak pernah terpikir saya akan menlanjutkan studi jenjang S2 saya di Taiwan. Sejak itu, saya pun belajar banyak tentang negara yang indah ini. Saya turut takjub dengan kekayaan budaya masyarakat lokal, ketertiban warga lokal dalam mengantre, kebersihan kota dan keramahan penduduk setempat dalam membantu sesama. Meskipun terkadang terdapat stereotype lokal yang mengira bahwa perantau asal Indonesia datang untuk bekerja sebagai PMI, namun saya tetap bersyukur akan kesempatan yang diberikan untuk lebih mengenal budaya luar negeri.

Pengalaman menjadi seorang Diaspora telah meningkatkan rasa nasionalisme saya sebagai warga negara Indonesia. Ketika mendapat tawaran dari Kementerian Perindustrian RI untuk melakukan riset perbandingan terkait kemajuan teknologi Industry 4.0 di Taiwan saya pun tidak ragu untuk mengiyakan peluang tersebut.”

Teks: Siti Mahdaria

Foto: Dokumentasi pribadi