Bulan Oktober konon adalah bulan bahasa.
Mungkin oleh sebab itulah kawan-kawan sebangsa dan setanah air (Indonesia) meramaikan bulan ini dengan melakukan berbagai kegiatan yang erat kaitannya dengan bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia.
Di antara yang giat melakukan pembahasan adalah mereka yang tergabung dalam diaspora Indonesia, termasuk kawan-kawan senasib dan sepenanggungan dari Indonesia yang telah lama bermukim di Australia (seperti Melbourne) dan negara-negara lain.
Mereka menyebut pembahasan mereka dengan “Webinar: Bahasa Indonesia, Jati Diri Diaspora Indonesia”, yang mengangkat judul “Bahasa Indonesia Generasi Kedua Diaspora Indonesia”.
Tujuannya memang mulia sekali, yaitu misi “Menduniakan Bahasa Indonesia”. Tujuan ini memang mulia, karena Mr. Mohammad Yamin, seorang pujangga, politisi dan pahlawan nasional Indonesia, pernah bercita-cita untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Asia Tenggara. Mungkin karena kesibukannya mengurus hal-ihwal tanah air Indonesia tercinta, cita-citanya itu tidak sampai terwujud.
Namun, bagi diaspora Indonesia yang mengaku memiliki “kesadaran untuk mempertahankan jati diri budaya” yang salah satunya dapat dilakukan melalui penggunaan Bahasa Indonesia, rasanya perlu melihat ke dalam dahulu sebelum mencoba menyebarkan bahasa Indonesia ke mancanegara.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai suatu kecaman, melainkan penyajian pandangan lain tentang diaspora Indonesia.
Pertama-tama, penulis memang mengakui kebenaran dari apa yang pernah dikemukakan oleh pengarang terkenal Amerika Mark Twain (nama asli Samuel Clemens) yang pernah mengatakan: “There is no such thing as the Queen’s English.”
Itu berarti bahasa Inggris itu bukan milik bangsa Inggris saja, melainkan milik tiap-tiap orang yang menggunakannya. Mungkin Mark Twain tersinggung karena pernah para orang tua di Amerika diingatkan oleh guru anak-anak mereka agar mereka tidak membaca buku-buku Mark Twain karena “bahasa Inggrisnya yang dianggap sembrono (maksudnya bukan The Queen’s English)”, mungkin kalau sekarang disebut sebagai “bahasa gaul”.
Penulis yakin bahwa para penggagas diaspora Indonesia telah melakukan penelitian yang cermat dan cerdas sebelum akhirnya menganaktirikan ungkapan dalam bahasa Indonesia tentang diri mereka, yaitu “perantau”, dan menganakkandungkan istilah “diaspora”, yang mungkin saja dianggap lebih merdu terdengar di telinga, lebih gagah dan lebih terkini.
Buku rujukan Encyclopedia Britannica menjelaskan tentang asal usul kata “diaspora”, antara lain, sebagai berikut:
“Diaspora (dari kata Yunani berarti dispersion/penyebaran) dalam bahasa Ibrani disebut “Galut” (artinya pembuangan, seperti Belanda pernah membuang para pejuang kemerdekaan ke Digul), adalah penyebaran/penyerakan orang-orang Yahudi di antara kaum non-Yahudi sesudah peristiwa Pembuangan dari Babylonia […]”
Sementara dalam bahasa Indonesia, yang disebut “perantau” adalah mereka yang:
Mencari penghidupan, ilmu dan sebagainya di negeri lain;
Orang asing pengembara.
Penulis menemukan beberapa catatan tentang perantau dalam perbendaharaan atau kumpulan catatan/pengalaman tentang para perantau, di antaranya:
“Penyakit pertama yang diidap para perantau adalah rindu kampung. Penyakit ini menyebabkan hasrat ingin pulang yang akut. Bagi mereka yang bisa melewati masa kritis, akan bertahan di tanah rantau. Sebaliknya, mereka yang tak mampu sembuh dan seluruh benaknya digerogoti bakteri rindu, akan pulang ketempat asal dengan gelar yang menyakitkan: orang-orang kalah.”
– Khrisna Pabichara
“Ketika para perantau pulang, tidak hanya setumpuk uang yang dibawa, tetapi juga sebuah pengalaman untuk ikut berkontribusi membangun bangsa.”
– Ahmad Fuadi
Semoga catatan ini tidak sampai menimbulkan sakit hati mereka yang kini menyebut diri sebagai “diaspora”, yakni mereka yang “berhamburan, berserakan, bertebaran” ke negeri orang lain.
“Sayang di anak dibenci, sayang di negeri ditinggalkan”, begitu menurut sebuah pribahasa Indonesia.
Semoga saja hijrah yang dilakukan Rasulullah (SAW) dari Mekkah ke Medinah kini tidak disebut sebagai “diaspora”. Dan kaum muhajirun yang ikut pindah ke Medinah bersama atau menyusul Rasul (SAW) tidak disebut “diasporawan/diasporawati”.
Wallahu a’lam.
Teks: Nuim Khaiyath