Megawati Kualat, Gibran Durhaka?

Percaturan politik di Indonesia, khususnya menjelang pilpres Februari mendatang, nampaknya kian menggelegak, alias semakin panas.

Saling tuding kian menjadi-jadi.

Dan di tengah segala kehingar-bingaran ini, mungkin ada yang terlupakan.

Belum lama berselang, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDIP) Megawati, putri Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia Bung Karno, membuat kehebohan yang kemudian diupayakan oleh para “petugas partainya” (tidak termasuk Presiden Joko Widodo), agar dianggap oleh rakyat sebagai sebatas “candaan”, agar “suasana rapat partai jangan menjadi terlalu tegang”.

Apa candaan Mbak Mega itu?

Sebagaimana yang luas diberitakan waktu itu, candaan tersebut menyangkut salah satu hidangan paling populer di Indonesia dan juga di kalangan masyarakat perantauan dari Indonesia di luar negeri.

Apa makanan populer itu?

BAKSO.

Untuk keperluan pembuatan bakso, dilaporkan di Australia, Indonesia mengimpor jeroan senilai puluhan juta dolar setahun dari Australia untuk keperluan campuran daging bakso. Selain itu, menurut laporan media di Australia, terdapat sebanyak 4 juta penjual bakso di seluruh Indonesia. Jeroan dikatakan berfungsi laksana “pengikat” daging agar bakso tetap utuh dan tidak mudah tercerai-berai.  Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dikatakan suka sekali makan bakso!

Nah kembali ke “candaan” Mbak Mega, sebagaimana dilaporkan oleh media di Indonesia, berbunyi sebagai berikut:

“Candaan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang menceritakan dirinya pernah mengingatkan anak-anaknya tak menikah dengan [orang] yang mirip tukang bakso, kini santer menjadi perbincangan.”

Ada yang geli mendengarnya, namun tidak sedikit pula yang kecewa dengan “candaan” itu. Ada yang menafsirkan pernyataan tersebut sebagai cemoohan terhadap karir yang di satu sisi dinilai rendahan (begitu disimpulkan sebagai pencerminan dari penilaian Megawati), sementara di sisi lain banyak yang mengaku lebih hormat pada tukang bakso yang cari makan dengan jujur ketimbang pejabat tinggi yang korup.

Nah, lho!

Gibran Durhaka?

Sementara itu, putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, ternyata juga bisa disebut telah durhaka.

Kepada siapa?

Kepada Mbak Mega, khususnya kepada PDIP. Mbak Mega dan PDIP memang satu paket yang tidak bisa dipisahkan.

Kita masih ingat ketika Gibran yang awalnya pernah mengaku tidak punya minat terhadap politik, namun sesudah menjadi Walikota Solo ternyata hasratnya meluap-luap untuk bikin loncatan ke atas yang lebih tinggi lagi – jadi calon Wakil Presiden! Meskipun demikian, usianya menurut UUD ’45 masih belum memenuhi syarat. Syukur Mahkamah Konstitusi dengan cekatan, tangkas dan cepat dapat memungkinkan apa yang dimustahilkan UUD ’45.

Namanya juga buatan manusia, tentu dapat diubah.

Ketika masih kuliah di Medan, saya dan kawan-kawan juga harus menghayati NASAKOM, bukan Pancasila. Paling tidak begitu seingat saya. Lagi-lagi karena yang diubah itu adalah buatan manusia.

Menarik dikenang kembali ketika akhirnya “selera” Gibran berubah dari sekadar “tukang martabak”, dimana makanan asal Arab tersebut di tangan Gibran dikenal sebagai “Makobar” (Martabak Kota Barat), menjadi orang nomor satu di kota Solo. Para pimpinan partai politik yang waktu itu pada hakikatnya sudah punya calon mereka sendiri untuk mengisi jabatan itu, mundur teratur dengan alasan atau dalih “kan dia anak presiden?”

Waktu itu cita-cita Gibran memang bukan asal-asalan semata, melainkan mendapat dukungan partai politik terbesar di Indonesia, PDIP! Dan sebagaimana kita ketahui, Gibran menang dan masuk menjadi pimpinan balai kota Solo, berkat usungan dan dukungan PDIP, alias Megawati Soekarnoputri.

Tukang bakso mungkin sederajat dengan tukang martabak di mata beberapa orang, namun walikota jelas lebih keren.

Dan Gibran punya KTA – Kartu Tanda Anggota – PDIP, yang kini dituntut untuk dikembalikan karena dia sudah membangkang, tidak menghiraukan partai yang pernah membesarkannya.

Dalam budaya kita ini mungkin bisa disebut “DURHAKA!”

Kita tahu apa yang terjadi dengan anak durhaka bernama Malin Kundang. Lebih parah lagi, kedurhakaannya adalah kepada ibunya! Dia kemudian berubah menjadi batu.

Yang satu kualat, yang satunya durhaka.

Tentang martabak yang dikatakan dari Arab, ada latar belakangnya.

Makanan martabak dijual di Arab Saudi – paling tidak waktu saya masih menjadi TKI gelap di kota Jeddah tahun 1960-an – hanya dalam bulan Ramadhan. Dalam bahasa Arab martabak disebut muttabbaq – artinya berlapis-lapis. Entah bagaimana makanan ini kemudian lebih dikenal sebagai santapan dari India.

Lembu punya susu, sapi punya nama!

Allahu a’lamu.

Teks: Nuim Khaiyath

Catatan redaksi: Artikel di atas merupakan artikel opini kontributor OZIP dan tidak serta-merta mewakili lajur pendirian OZIP Magazine terhadap Pemilu 2024.