Diaspora Indonesia berhamburan sepanjang parade Moomba pada hari Senin (13/03/2023) di Linlithgow Avenue. Meskipun khalayak Melbourne sudah tidak asing dengan warna-warni yang ditawarkan oleh parade Moomba setiap tahunnya, diaspora Indonesia tahun ini nampak seperti tidak mau ketinggalan keramaian parade komunitas tersebut.
Dipandu oleh Indonesia Diaspora Network Victoria, parade diaspora Indonesia tahun ini terdiri dari 150 peserta, tercatat sebagai jumlah peserta terbanyak dalam sejarah partisipasi diaspora Indonesia di Moomba. Sebagai perbandingan, parade diaspora Indonesia di Moomba tahun lalu terdiri dari 135 peserta.
150 peserta tersebut terbagi menjadi 20 kelompok yang mewarnai parade diaspora. Kelompok yang hadir pun bermacam-macam, mulai dari sanggar tari seperti Widya Luvtari sampai ke komunitas budaya seperti Melbourne Maimbau, Minang Saiyo, Kawanua, Maluku Basudara, Kebesaran Minahasa, dan Bona Pasogit. Tak lupa juga alunan musik tradisional yang dibawakan oleh komunitas Pencak Silat dan Tambor Minahasa yang turut meramaikan parade. Tentu saja, parade diaspora rasanya tidak akan lengkap tanpa pagelaran fashion khas Indonesia buatan Ganda Marpaung. Parade diaspora pun juga sempat mendapatkan kunjungan dari Lord Mayor of Melbourne Sally Capp.
Tonggak terdepan parade Indonesia ini adalah dua burung garuda yang diperagakan oleh Maria Parker dan Yahya Zakaria. Zakaria, yang kerap dipanggil Zacky, mengaku senang bisa kembali memperagakan burung garuda di Moomba tahun ini. “Aku merasa sangat terhormat bisa ambil bagian dalam parade ini karena [parade ini] sangat bagus untuk komunitas Indonesia di sini,” katanya. “Ini adalah platform untuk menunjukkan komunitas kita ke warga Victoria.”
“Aku sangat senang bisa terpilih lagi tahun ini.”
Ada pula komunitas yang melakukan “debut Moomba”-nya tahun ini, seperti misalnya LPDP yang diwakili oleh dua mahasiswa Monash University, Zulfa Noerdiana dan Emmanuelle Houdiani. Keduanya mengaku senang bisa berpartisipasi di parade Moomba tahun ini.
“Alhamdulilah senang banget sih ya, ternyata banyak orang Indonesia dan mereka memakai kostum yang unik dan lucu. Parade-nya juga ramai, jadi kita bisa ketemu banyak orang dan jadi tahu kalau di sini banyak banget orang Indonesia.” jelas Zulfa. “Kita juga jadi menyadari kalau budaya itu penting buat dilestarikan dan dipertunjukkan ke orang lain,” tambah Emma.
Di sisi lain, ada juga “veteran” komunitas yang sudah mengikuti parade Indonesia selama bertahun-tahun, seperti misalnya ibu Tjintjin Jones yang mengikuti Moomba hampir setiap tahunnya. Sebagai seorang penari, ibu Tjintjin biasanya ikut menari bersama rombongan – untuk tahun ini, ia menampilkan tarian asal Madura.
“Mudah-mudahan [Moomba ke depannya] lebih sukses lagi, karena ini kan sebuah acara get together kita bersama di Victoria.”
Selain itu, ibu Tjintjin juga mengharapkan Moomba semakin diisi oleh generasi muda Indonesia.
“Mudah-mudahan [semakin terisi], karena umur saya juga sudah semakin tua dan sekarang kan banyak generasi muda. Semua yang muda-muda, generasi baru yang semakin canggih. Supaya semakin maju untuk Indonesia juga,” jelasnya.
Berbeda dengan tahun lalu, rute parade Moomba tahun ini bermula di pintu masuk panggung Sydney Myer Music Bowl, lalu menyusuri Linlithgow Avenue sampai ke Shrine of Remembrance – kebalikan dari rute tahun lalu. Terlepas dari perbedaan teknis tadi, antusiasme warga Melbourne dan komunitas Indonesia tetap sama, tidak terpatahkan oleh terik matahari dan cuaca panas pada hari itu.
Teks: Jason Ngagianto
Foto: Berbagai sumber