Kalau saja Presiden Joko Widodo (atau penulis pidatonya) sempat menyaksikan sinetron televisi yang ditayangkan Channel 9 Australia, “Married at First Sight” (MAFS), mungkin pidatonya di depan konferensi internasional Dana Moneter Internasional/Bank Dunia di Bali tahun lalu (yang menelan biaya ratusan miliar rupiah) tidak merujuk pada serial Games of Thrones.
Bulan lalu, survei yang dilakukan di Australia menyimpulkan bahwa sekitar dua juta pemirsa televisi di Australia terpukau menyaksikan tayangan acara MAFS. Menurut kabar, belum pernah ada sebuah sinetron, tidak juga Game of Thrones, yang mampu memukau sampai sebegitu banyak pemirsa di Australia.
Asal tahu saja, acara Married at First Sight pada dasarnya adalah suatu eksperimen “cari jodoh”. Reality show ini mengondisikan orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk melakukan pernikahan tanpa terlebih dahulu menjalin tali asmara. Biasanya, sebelum menikah, sepasang sejoli akan melalui tahapan saling mengenal, saling belajar tahu, kemudian tukar cincin dan akhirnya menikah. Ketentuan di Australia mengharuskan pasangan yang ingin menikah agar menyampaikan maksud mereka untuk menikah secara resmi ke kantor catatan sipil paling lambat satu bulan sebelum hari pernikahan, tidak secara mendadak.
Jadi, pada hakikatnya, apa yang dicoba untuk disuguhkan oleh tayangan Married at First Sight (plesetan dari ungkapan bahasa Inggris “Love at First Sight” alias Cinta pada Pandangan Pertama) adalah “tembak langsung”. Artinya, pasangan dipertemukan tanpa melalui tahapan belajar kenal selama beberapa waktu (bisa-bisa sampai setahun), dan kemudian tukar cincin, barulah kemudian menikah.
Pasangan-pasangan yang dijodohkan itu dipilih oleh tiga orang pakar hubungan manusia, termasuk ahli ilmu jiwa. Awalnya mereka yang terpilih ikut dalam “eksperimen” ini dikaji seteliti mungkin keterangan atau pengakuan tentang jati diri masing-masing. Ia kemudian dijodohkan sesuai dengan kesimpulan tentang kecocokan satu sama lain. Kasarnya, jangan sampai minyak dipasangkan dengan air.
Barangkali bagi kita yang berasal dan berakar pada budaya Timur, apa yang ditayangkan oleh televisi itu adalah lagu lama. Dalam budaya Melayu, misalnya, sudah merupakan kelaziman (paling tidak di masa lalu) bagi seorang ayah/ibu mencarikan jodoh untuk anak lelakinya. Biasanya sesudah mengkaji luar-dalam sesuatu keluarga yang punya anak gadis, maka dilakukanlah pinangan, yang biasanya dilakoni oleh paman atau lelaki dekat lainnya dari sang anak lelaki, bukan sang orangtua yang langsung mendatangi keluarga yang diharapkan akan menjadi besan.
Konon, perjodohan atau pernikahan yang diatur antara seorang perjaka dengan seorang anak dara ini lebih bisa bertahan karena di dalamnya ada unsur “nama baik” kedua keluarga, hingga sebelum kedua pasangan ini di kemudian hari memutuskan untuk “bubar”, mereka harus berpikir dalam-dalam untuk bercerai. Memang tidak ada jaminan bahwa pernikahan atau perjodohan yang diatur oleh keluarga kedua belah pihak niscaya akan kekal selama hayat dikandung badan. Perceraian masih juga terjadi, meski lebih jarang.
Di Australia, data menunjukkan bahwa 1 dari 3 perkawinan di Australia kandas di tengah jalan. Namun secara rata-rata pernikahan di Australia kini berlangsung lebih lama dibanding 20 tahun silam. Pada tahun 1993, rata-rata pernikahan yang berakhir dengan perceraian bertahan selama 10,7 tahun, namun sekarang baru setelah 12,1 tahun pernikahan yang kurang bahagia itu akhirnya berujung pada perceraian. Secara rata-rata, 77% pasangan di Australia hidup bersama sebelum memutuskan untuk meresmikannya dengan pernikahan.
Sementara itu di Indonesia, sebuah laporan media di Jakarta yang patut dipercaya menyebutkan:
“Jika merujuk data 2017, maka ada lebih 357 ribu pasang keluarga yang bercerai tahun itu. Jumlah yang tidak bisa terbilang sedikit. Apalagi terpapar bukti, perceraian terjadi lebih banyak pada usia perkawinan di bawah 5 tahun. Kebanyakan kasus perceraian dilakukan oleh pasangan yang berusia di bawah 35 tahun. Selain itu, meningkatnya jumlah pernikahan muda selama sepuluh tahun terakhir berbanding lurus dengan meningkatnya angka perceraian.”
Apakah statistik yang cukup menyedihkan ini ada sangkut-pautnya dengan kenyataan bahwa tradisi pinang-meminang sudah kian sering ditinggalkan karena dianggap kuno dan ketinggalan zaman? Sebab “berpacaran terlebih dahulu” dianggap lebih memastikan saling kenal? Wallahu a’lam. Namun, kisah-kisah asmara karena perjodohan maupun karena perjalanan sendiri, telah banyak dituliskan dalam karya sastra sejak dulu kala. Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya ulama besar Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) menggambarkan tentang pernikahan yang ternyata tidak bahagia meski perjodohan diatur oleh para Ninik Mamak. Perkawinan tokoh Hayati dengan Aziz ternyata penuh cobaan, setelah pinangan Zainuddin yang lebih berkenan di sanubari Hayati ditolak, antara lain karena Aziz adalah orang dari keluarga yang lebih berada. Terjadilah “kawin paksa” yang ternyata tidak bahagia. Sementara itu, novel karya Sutan Takdir Alisjahbana “Layar Terkembang” yang meski ditulis pada era yang sama (1930-an) dengan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, menyuguhkan bentuk jalinan asmara yang lebih modern.
Sekian ribu tahun silam, seorang filosof Yunani pernah menyimpulkan bahwa perkawinan tidak ada segi negatifnya. “Kalau dapat istri yang cocok, maka hidup akan terasa laksana dalam surga (dunia), kalau malang dan rumah tangga penuh percekcokan, maka sang suami akan menjadi filosof dan masyarakat kepercikan hikmah kebijaksanaannya.”
Satu hal perlu dicatat. Bagaimana pun: “Langkah, rezeki, pertemuan/jodoh, maut, semua di tangan Tuhan”.
Wallahu a’lam.