Ikhlas

Banyak orang di Indonesia–dan negara-negara lain, sebenarnya–yang gempar karena kemuliaan hati seorang sarjana Inggris bernama Sarah Gilbert.

Pasalnya, Sarah ini punya hak dan kemampuan untuk meraup pemasukan uang yang banyak sekali. Namun Sarah lebih mengutamakan kesejahteraan umat manusia. Benar: umat manusia!

Media di Indonesia melaporkan tentang kemurahan, kemuliaan, ketulusan/keikhlasan hati Sarah sebagai berikut:

Nama Sarah Gilbert ramai diperbincangkan. Dia merupakan ilmuwan vaksin COVID-19 AstraZeneca yang rela melepas hak paten.

Sarah Gilbert mengungkapkan pada parlemen Inggris jika dirinya tak ingin mengambil hak paten penuh untuk vaksin ini.

 “Saya tak ingin mengambil (hak paten). Sudah seharusnya kita bisa berbagi dan membiarkan semua orang membuat vaksin mereka sendiri,” kata Sarah dikutip dari Reuters, Selasa (20/7/2021).

Sarah Gilbert merupakan profesor vaksinologi di Universitas Oxford berusia 59 tahun. Tak hanya vaksin COVID-19, dia juga pernah mengembangkan berbagai vaksin untuk influenza dan vaksin Ebola.

Dikutip dari biospace.com, vaksin yang diciptakan oleh tim Sarah diumumkan pada 23 November lalu. Sudah diuji coba di Inggris dan Brasil dan manjur hingga 90%.

Vaksin AstraZeneca efektif mencegah penularan COVID-19 tanpa rawat inap atau kasus parah pada orang yang sudah disuntikkan. Oxford University dan AstraZeneca bekerja sama dengan perusahaan spinout Oxford Vaccitech yang merupakan startup besutan Sarah Gilbert.”

Sebenarnya di dunia ini banyak dermawan seperti Sarah, namun biar pun begitu wajiblah bagi kita menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Sarah mengingat betapa buas dan ganasnya COVID-19 yang terkesan menaruh dendam kesumat terhadap umat manusia,.

Di Indonesia juga ada orang-orang berhati “mulia” yang rela menyumbangkan sebagian hartanya kepada orang lain, termasuk Lim Sioe Liong, yang dalam riwayat hidupnya dalam dalam bahasa Inggris dikatakan “he also donated generously to Singapore tertiary education.” 

Mungkin dalam soal kemuliaan hati ini kita jangan terlalu memusingkan kepada “siapa” sumbangan diberikan, cukup asalkan memberikan. Iya, kan?

Soalnya ketulusan/keikhlasan itu memang sulit dijabarkan.

Seorang kiai di Indonesia pernah menjabarkan “keikhlasan” sebagai berikut:

“Bangun pagi. Sarapan, lalu minum kopi tubruk manis, lantas nyalakan sebatang kretek, langsung menuju ke jamban, jongkok, dan kosongkan isi perut. Yang kita buang itulah yang paling ikhlas kita relakan perpisahannya dari kita.”

Beda dari filosofi pengarang besar Inggris (dan umat manusia?) William Shakespeare, yang dalam salah satu karyanya, Hamlet, menuturkan:

This above all: to thine own self be true

And it doth follow, as the night the day,

Thou canst not then be false to any man.

Yang artinya kira-kira:

“Di atas segala-galanya, jujurlah pada diri sendiri

Dan lazimnya, sebagaimana malam menuruti siang,

Engkau tidak akan curang pada siapa pun.”

Kembali ke Sarah Gilbert, dia bukanlah satu-satunya sarjana Inggris yang begitu bermurah hati dan penuh kemuliaan.

Kebetulan Inggris yang kecil dan merupakan pulau terpencil di Lautan Atlantik itu, sangat lihai dalam banyak hal. Bayangkan, menurut statistic kini satu dari tiap-tiap empat orang di permukaan bumi ini mampu berbahasa Inggris.

Tidak heran kalau pemimpin Prancis yang begitu mashur, Napoleon Bonaparte, sangat “sebal” pada Inggris yang dilukiskannya sebagai “a nation of shopkeepers”.

Namun ibarat anjing menggonggong kafilah lalu, Inggris terus saja memajukan dirinya, paling tidak di masa lalu.

Dalam tahun 1800-an, pasangan ayah dan anak George dan Robert Stephenson merevolusikan transportasi hingga mempermudah penjelajahan umat manusia. Banyak orang Jepang yang tidak segan mengakui bahwa jaringan kereta api mereka yang begitu dikagumi dunia, adalah berkat kelihaian Inggris merancang kereta api yang kemudian disempurnakan Jepang.

Kalau anda terhibur dan mendapat pencerahan dari televisi, maka pantaslah berterima kasih kepada John Logie Baird dari Skotlandia yang juga merupakan bagian dari Britania Raya, karena dialah yang pertama menciptakan televisi. Itulah sebabnya di Austraia ada hadiah bernama “Logie Award” untuk kerabat televisi yang dianggap hebat.

Satu lagi penemuan atau penciptaan menarik lainnya yang dilakukan seorang Inggris adalah radio tanpa listrik atau baterai, melainkan seperti jam tangan di tahun 1950-an. Setiap 24 jam, radio harus “dikunci” alias ada alat kecil untuk memutar jarum jam yang harus diputar setiap 24 jam sekali, agar jam tersebut terus “hidup” (semoga ini cukup jelas untuk menggambarkan jam tangan jaman “dahulu”).

Perangkat ini dirancang oleh seorang pria Inggris bernama Trevor Baylis yang sangat gundah akibat penyebaran penyakit HIV-AIDS di Afrika di awal tahun 90an.

Oleh karena itu, orang-orang di Afrika, terutama yang hidup di pedalaman, harus diberi pencerahan tentang AIDS. Dan pencerahan ini dapat dipancarkan melalui siaran radio temuannya yang dapat menangkap siaran asalkan rajin “dikunci” setiap 24 jam seperti jam tangan.

Waktu itu ia menawarkan kepada Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, untuk menyerahkan temuannya ini asalkan Mandela bersedia membuat pabrik radio yang separuh karyawannya adalah orang-orang penyandang disabilitas. Mandela setuju dan pabrik dibangun, radio tanpa listrik dan baterai diproduksi dan dibagikan kepada penduduk Afrika yang tinggal di pedalaman sehingga mereka dapat menerima siaran berisikan pencerahan mengenai berbagai ilmu untuk meringankan beban hidup.

Suatu kali, Trevor Baylis ditanya wartawan kenapa dia tidak menjual temuannya itu kepada pabrik radio terkenal seperti Sony di Jepang.

Jawabannya?

“Saya mencoba mengenakan dua helai celana sekaligus, sama sekali tidak nyaman; saya mencoba makan melampaui kemampuan tampung perut saya, sama sekali tidak enak. Lalu untuk apa duit yang banyak?”

Padahal ada filosofi atau ideologi atau kepercayaan bahwa “tidak akan ada orang yang mengaku telah cukup kaya; tetap saja dia merasa bisa lebih kaya lagi.” Kepercayaan sperti inilah yang sering menjadi dorongan hingga orang yang sudah berkemampuan masih saja rela melakukan korupsi. Contohnya sudah terlalu banyak di depan mata kita untuk diuraikan satu per satu.

Keikhlasan itu biasanya melibatkan pengorbanan kepentingan atau kesejahteraan bahkan keselamatan diri sendiri. Inilah yang agaknya dimaksudkan dalam ayat Perjanjian Baru:

Greater love hath no man than this, that a man lay down his life for his friends” (John 15:13).

“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yohanes 15:13) 

Wallahu a’lam.

Penulis : Nuim Kaiyath

Foto : Berbagai sumber