Di usianya yang sudah menginjak 53 tahun ini, pemilik nama lengkap Kanjeng Raden Tumenggung Irawan Susetyo Pakusadewo, tetap tampil penuh kharisma dan menawan. Dijumpai di KJRI Melbourne pada 11 April 2017 lalu, Tio yang baru saja landing dari Jakarta memang terlihat lelah, namun setiap pertanyaan yang menyangkut dunia perfilman selalu dijawab dengan antusias dan sesekali menyelipkan canda.
Karyanya di dunia seni peran sudah tidak perlu diragukan lagi. He is one of Indonesian best actors ever. Pernah memenangi piala Citra di film Lagu untuk Seruni (1990) dan Identitas (2008) sebagai pemeran pembantu dan pemeran utama terbaik, langkah Tio di dunia akting tidak pernah sedikitpun melemah. Di 30 tahun jejaknya di industri film Indonesia yang penuh dinamika ini semakin memantabkan niatnya untuk berkontribusi lebih demi jayanya film Indonesia.
Tio menyebut dengan melakukan regenerasi ke aktor dan aktris muda adalah salah satu caranya. “Saya tidak membuka sekolah formal. Tapi saya selalu terbuka untuk siapapun aktor berbakat yang ingin belajar dari saya. Saya yang akan memilih, artinya saya harus melihat potensi. Fachri Albar, Tora Sudiro, Dwi Sasono, Arifin Putra, Reza Rahadian, Rio Dewanto dan Chicco Jerikho, mereka adalah penerus-penerus yang luar biasa.”
“Acting is the art of imitating life. Mau jadi aktor bagus? Harus smart! Modal utama? Ya otak! Karena berperan dengan baik dan bisa masuk ke suatu karakter yang berbeda-beda itu tidak mudah,” tegas Tio.
Tio memberi contoh, “Di film Pantjasila Cita-Cita dan Realita , misalnya. Di film itu saya harus menghafal pidato Presiden Soekarno selama 78 menit non-stop dan tanpa teks. Bukan itu saja, di dalam pidato itu terselip bahasa Inggris, Rusia, Jerman, Inggris, Cina, Belanda. Kebayang kan? Untuk mendalami peran itu saya butuh waktu setidaknya 3 bulan.”
Membahas lebih dalam tentang filmnya yang dibawa ke ajang Indonesian Film Festival di Melbourne, yakni Surat dari Praha karya sutradara Angga Dwimas Sasongko, dengan detail Tio menggambarkan beberapa adegan yang dirasakan sangat challenging. “Film ini sangat painful. Tentang kehidupan Jaya yang harus menghabiskan masa tuanya dengan selibat di Praha. Dia tidak bisa pulang ke Indonesia karena situasi politik di tahun 1965 – 1966 yang penuh pergolakan. Di salah satu adegannya, di sebuah gedung opera, ada suatu dialog panjang yang menceritakan bagaimana Jaya harus menghadapi masa-masa yang sangat sulit. Kehilangan orang tua, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa mengucap kata “Bapak Sedo” (Bapak meninggal, Red). Itu saya mengucapkan dengan bergetar. Ditambah kondisi durasi syuting yang terbatas, jadi sekali take harus dapat emosinya,” jelas Tio.
Tio tidak hanya dikenal piawai dalam berakting. Richard Oh dan Fachri Albar yang hadir juga di kesempatan tersebut menyebutkan talenta Tio lainnya yakni melukis dan membuat sket wajah. Tentu saja tidak ketinggalan bermusik dan bernyanyi. Sabda Rindu adalah sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Tio sebagai salah satu Original Sound Track film Surat dari Praha. Bisa dibilang Tio Pakusadewo adalah sosok seniman yang total mendedikasikan diri di dunia seni.
Ditanya tentang harapannya untuk masa depan industri perfilman Indonesia, Tio menganalogikan perfilman Indonesia ini bagaikan bayi yang baru lahir. “Indonesia ini memang unik. Menjaga dunia fillm Indonesia ibaratnya seperti menggendong bayi yang harus dibidani dan dijaga supaya tumbuh dengan baik. Saya sendiri aktif di wadah Badan Perfilman Indonesia (BPI). Anggotanya adalah asosiasi-asosiasi Sutradara, Produser, hingga pemain-pemain film yang ingin industri film Indonesia bisa menjadi lebih baik. Melihat perkembangan film-film Indonesia sekarang, saya cukup optimis ke depan film Indonesia akan makin maju. Terbukti kok dengan banyaknya karya-karya film bermutu dan makin kaya genre,” pungkas Tio menutup wawancara dengan OZIP.
Katrini Nathisarasia
Photo: Maseta Pratama