TAKSI

Ejaan mungkin bisa berlainan, namun pengucapannya dan kegunaannya adalah sama.

Itulah taksi (teksi dalam bahasa Melayu, taxi dalam bahasa Inggris, dan barangkali juga dalam semua bahasa di dunia).

Asal-usul kata taksi adalah dari bahasa Latin – taxa – yang bermakna “pajak atau tarif”. Kemudian, kata tersebut turut dibubuhi “meter” menjadi taximeter, alat untuk mengukur jarak perjalanan dan biayanya – alias argo.

Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya bentuk angkutan sewaan yang kini dikenal sebagai taksi sudah ada sejak dahulu, meskipun bentuk kendaraannya kerap berubah seiring waktu.

Kini, meskipun fungsinya tetap sama, jasa angkutan taksi memiliki dikenal dengan nama-nama yang berbeda-beda – Grab/Uber dan sebagainya.

Dahulu di Jakarta, sangat jarang dapat menemukan taksi. Di jalanan, Anda dapat menemukan lebih banyak oplet, bis, beca, sado/delman/dokar dan bahkan tram, seperti yang ada di Melbourne. Penulis masih ingat ketika dirinya naik tram pada tahun 1958 dari Pasar Baru ke Tanah Abang. Ketika turun dari tram, sang penulis langsung diciduk oleh polisi karena diduga bagian dari PRRI. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein. Sungguh merupakan sebuah pengalaman yang mengejutkan dan pengalaman tersebut tetap melekat di benak penulis hingga kini.

Bagi banyak orang, pergantian fungsi beca/delman/sado/dokar dan sejenisnya oleh taksi dianggap sebagai salah satu aspek dari kemajuan. Hal ini ada benarnya, sebab taksi mampu membawa penumpangnya ke jarak yang lebih jauh dalam waktu yang jauh lebih singkat. 

Namun, ada juga beberapa aspek dari beca dan delman yang tidak dapat disaingi oleh taksi, salah satunya romantisme.

Sejauh ini, tidak ada lagu yang diciptakan yang membahas atau melantunkan lirik tentang taksi, paling tidak di Indonesia. Namun, seringkali kita mendengar nyanyian lirik lagu “Beca” atau “Delman” yang sering dinyanyikan ketika masih belia.

“Beca, beca bawa aku keliling kota…”

Atau:

“Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota; Naik delman istimewa ku duduk di muka…..”

Indah, bukan?

Konon, ada seorang lelaki yang pernah menjadi Hakim Agung di Indonesia. Beliau juga sangat berbakat dalam kesusasteraan, dan gemar menulis cerita pendek.

Salah satunya adalah pengalamannya naik beca di Jakarta ketika gerimis. Bagian depan beca ditutupi terpal, dan mereka duduk bersempit-sempitan sementara suasana gelap yang diiringi oleh remang cahaya lampu jalan menghiasi celah-celah jeruji beca tersebut, seakan menambah syahdunya perjalanan. Perjalanan yang sebenarnya cukup jauh pun terasa sangat cepat berakhir. Mungkin itulah salah satu versi asli lagu “Sepanjang Jalan Kenangan”?

Taksi juga dapat memberikan kenikmatan tersendiri bagi penumpangnya.

Di tahun 1960-an, jemaah haji Indonesia umumnya menaiki kapal (seperti Gunung Jati ) untuk pergi ke Tanah Suci. Setibanya di kota pelabuhan Jeddah, mereka kemudian ditampung dahulu di asrama “Madinatul Hujjaj” alias Kota Haji.

Ketika penulis bekerja sebagai TKI di Arab Saudi, penulis gemar mengunjungi “Madinatul Hujjaj” dan membeli makanan yang popular dibeli oleh para jemaah Indonesia, termasuk diantaranya emping. Pada saat itu juga penulis melihat banyak calon jemaah haji dari Indonesia yang tidak segan-segan berbaris menunggu giliran untuk menikmati perjalanan keliling kota Jeddah dengan menaiki taksi yang umumnya adalah mobil-mobil Amerika seperti Chevrolet, Cadillac, Pontiac. Alasan mereka? Ingin mencicipi pengalaman naik taksi di Jeddah.

Sewaktu bekerja di BBC London, penulis juga pernah merancang acara yang menjelaskan seluk beluk menjadi seorang supir taksi di London, yang lebih dikenal dengan istilah cab.

Supir taksi London menjadi contoh teladan bagi supir taksi di seluruh dunia. Mereka sanggup menghafal nama-nama jalan dan mengingat gedung-gedung penting dan kantor-kantor pemerintah. Seorang supir taksi sering menanyakan kepada penumpangnya “Apakah Anda lebih memilih rute yang lebih panjang, tetapi mulus atau rute yang lebih pendek saja?” Sebab, rute lebih panjang biasanya tidak padat dengan mobil (meskipun sewanya akan lebih mahal), sedangkan rute lebih pendek bisa padat mobil dan memakan waktu lebih lama

Untuk menjadi seorang supir taksi London, seseorang harus bersedia menjalani pendidikan sambal berpraktik selama rata-rata 2 tahun. Ketika akhirnya lulus, mereka telah mendapat pengetahuan mengenai seluk beluk kota London yang dikenal dengan istilah kerja The Knowledge.

Untuk menghafal nama-nama tersebut, para pelajar biasanya akan menaiki sepeda sambal berkeliling kota London. Setelah dua minggu, mereka akan mengikuti ujian lisan dimana mereka akan menjawab pertanyaan instruktur tentang nama-nama jalan atau rute-tute tertentu dari satu tempat ke tempat lain. Bukan saja nama-nama jalan nama-nama gedung, kantor atau tempat penting lainnya juga harus diketahui. 

Bentuk taksi atau London cab juga tergolong unik. Bagian depan taksi adalah bangku supir dan bagasi sementara penumpang duduk di belakang. Para penumpang pun duduk berhadap-hadapan dan seringkali penumpang dari Indonesia suka mengeluh, khusunya jika mereka mesti duduk bertiga. Hal ini karena bangku tersebut terlalu tinggi, sehingga kaki mereka menggantung.

Ketika Perang Dunia I berlangsung, sekitar 5,000 hingga 6,000 tentara Prancis diangkut ke medan perang untuk membendung arus maju bala tentrara Jerman dengan taksi. Angkutan itu kemudian dikenal sebagai Taksi de la Marne. Ratusan taksi yang diambil alih oleh pihak militer mengangkut tentara ke medan laga, sebuah tugas yang penuh mara bahaya. Ibukota Paris berhasil diselamatkan dari invasi Jerman – dan semuanya karena peran penting taksi.

Di era Konfrontasi di Indonesia, Peperda (Penguasa Perang Daerah) sering melakukan apa yang dikenal dengan istilah rekorasi dimana mereka meminjam mobil-mobil milik pengusaha swasta. Hal ini dilakukan untuk revolusi, dan ketika itu, metode yang digunakan sungguh beragam. 

Mungkin cukup banyak yang belum pernah mendengar bahwa Abu Nawas pun pernah memiliki “taksi” dalam bentuk seekor keledai yang biasanya dia sewakan untuk mengangkut manusia atau barang.

Suatu kali seseorang yang tidak dikenalnya menyewa keledai Abu Nawas untuk perjalanan yang cukup jauh. Setelah terdapat kesepakatan mengenai harga, Abu Nawas teringat tentang kemungkinan bahwa keledainya itu bisa-bisa tidak dikembalikan kepadanya setelah sampai di tujuan. Ia memutuskan untuk ikut mengantarkan penyewa keledai tersebut.

Sesampainya di paruh perjalanan, mereka berdua pun kepanasan karena teriknya sinar matahari di puncak tengah hari. Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk istirahat sejenak. Abu Nawas menambat keledainya di batu di pinggir jalan dan duduk dalam bayangan sang keledai guna menghindari panas matahari Irak yang begitu menyengat. Ketika penyewa keledai hendak duduk menyertainya dalam bayangan keledai, Abu Nawas berkeberatan. Katanya, “Anda hanya menyewa keledai saya, bukan beserta bayangannya!”

Mungkin diperlukan keahlian hukum seorang pokrol bambu untuk menuntaskan perkara ini. 

Wallahu a’lam

Penulis : Nuim Kaiyath