ISLAM DI AUSTRALIA

Pembantaian yang begitu kejam terjadi di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru, pada suatu hari Jum’at bulan Maret lalu.

Secara rutin, umat Islam (terutama laki-laki) diwajibkan menunaikan salat Jumat secara berjamaah sebagai pengganti salat Zuhur. Pelaku pembantaian itu menyasar jamaah salat Jumat tersebut. Karena itulah dalam waktu yang relatif singkat pelaku pembantaian berkewarganegaraan Australia itu mampu merenggut nyawa sampai setidaknya 50 muslim: tua-muda, besar-kecil, lelaki-perempuan.

Bagi penulis, hal yang tak kalah mengejutkan dan bikin tak habis pikir adalah pernyataan seorang Senator Australia bernama Fraser Anning. Ketika menanggapi pembantaian tersebut, dalam surat rilisnya ia mengatakan: “Penyebab sesungguhnya dari pertumpahan darah di jalanan di Selandia Baru sekarang ini adalah program imigrasi yang memungkinkan Muslim fanatik datang (untuk menetap) di Selandia Baru.”

Sebenarnya Fraser Anning bukanlah satu-satunya “wakil rakyat/negara bagian” yang rajin sekali menuding umat Islam sebagai biang dari segala macam masalah yang dihadapi Australia. Di Negeri Kanguru ini, ada setidaknya tujuh gerakan haluan kanan ekstrim yang bukan saja anti-Islam/Muslim melainkan juga anti-kulit berwarna. Gerakan-gerakan ini adalah: Australia First Party, Australian National Socialist Party, National Action (Australia), Nationalist Party of Australia, Rise Up Australia Party, True Blue Crew, Reclaim Australia, dan United Patriots Front.

Para anggota gerakan-gerakan tersebut tidak menyukai wujud Australia sebagai sebuah masyarakat majemuk budaya alias multikultural. Mereka mendambakan negara ini hanya dihuni oleh orang yang berkulit putih. Mereka pun menyebut Muslim telah “melakukan invasi/penyerbuan ke Australia”.

Faktanya, sejarah Australia berkata lain. Menurut informasi di web resmi badan siaran BBC London, sedikit sekali warga Australia yang menyadari bahwa penduduk asli benua Australia, kaum Aborigin dan penduduk asli Pulau Selat Torres, sudah punya hubungan dengan warga asing yang Muslim, jauh sebelum tibanya para penjajah Kristiani (pernyataan ini merupakan kutipan dari website BBC London).

BBC London melansir, wartawan Australia Janak Rogers mengungkapkan bahwa lukisan-lukisan kuno di atas bebatuan di Barisan Bukit Wellington di Arnhem Land, Australia Utara, menyimpan kisah sejarah yang berbeda dari yang selama ini diajarkan kepada sebagian terbesar rakyat Australia. Lukisan-lukisan kuno itu menggambarkan perahu dari Indonesia yang mengantarkan nelayan Muslim dari Sulawesi ke Australia, untuk mencari teripang (timun laut). Namun tidak jelas/pasti kapan para nelayan Muslim tersebut pertama kali menjejakkan kaki di benua Australia untuk menjalin perdagangan dengan penduduk asli Australia.

Ada sejarawan yang menyebut tahun 1750-an, namun penanggalan dengan tata cara ilmu pengetahuan moderen terhadap lilin lebah yang menutupi lukisan-lukisan di gua-gua di Australia Utara mengesankan bahwa para nelayan Muslim tersebut tampaknya telah datang ke Australia sebelum tahun 1664, kemungkinan sekitar tahun 1550-an. Kelihatannya, kata BBC, mereka datang ke Australia setahun sekali untuk mengumpulkan teripang. Teripang itu sangat diminati oleh Tiongkok, yang menjadikannya bahan untuk membuat obat-obatan dan juga keperluan kuliner.

Antropolog Monash University, Melbourne, John Bradley, menyebut kedatangan para nelayan dari Makasar (the Macassans) itu sebagai langkah pertama dalam penjalinan hubungan internasional (antara bumiputra Australia dan warga Indonesia). “Dan hubungan itu sukses. Mereka berjual-beli. Sangat adil, tidak ada sikap merendahkan atas dasar jenis bangsa, tidak ada sikap seperti itu,” katanya.

Sangat berbeda dari perbuatan Inggris, kata BBC. Wakil Inggris Captain Cook, ketika sampai di Australia, menyimpulkan bahwa benua ini adalah “terra nullius” atau “tanah tanpa pemilik”. Ia kemudian menjajah benua ini tanpa perjanjian/kesepakatan atau pengakuan atas hak-hak penduduk asli atas tanah mereka. Sebagai informasi, kaum kulit putih yang masuk ke Selandia Baru di abad ke-19 menjalin kesepakatan dengan bangsa Maori – penduduk asli Selandia Baru – yang dikenal dengan The Treaty of Waitangi.

Sebagian dari nelayan teripang dari Makasar itu kemudian menetap dan menikah dengan perempuan asli Australia dan mewariskan “pusaka” keagamaan dan budaya (Islam) di Australia. Sebagai contoh saja, ayah dari biduanita Australia Jessica Mauboy berasal dari Indonesia sementara ibunya berdarah asli Australia. Ajaran Islam juga ikut memengaruhi mitologi Aborigin. Pengaruh Islam terasa dalam nyanyian-nyanyian, tari-tarian dan upacara pengurusan jenazah; kata antropolog John Bradley. Melalui analisis kebahasaan, akan terungkap pula adanya kidung/himne kepada Allah, setidaknya doa-doa tertentu kepada Allah. Dalam upacara pemakaman akan terdengar ucapan “Walitha’walitha” dalam bahasa Aborigin, yang berasal dari ucapan “Allahu ta’ala”. Bukan itu saja, kata John Bradley, upacara-upacara keagamaan kaum Aborigin juga meniru ibadah dalam Islam, seperti menghadap ke kiblat (ke Barat) dan bahkan aktivitas sujud.

Sayang, perdagangan teripang antara para nelayan dari Makasar dan kaum Aborigin terhenti pada tahun 1906, akibat cukai besar yang diterapkan pemerintah kulit putih Australia yang membatasi perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang non-kulit putih.

Sementara itu, masih menurut BBC, di sebuah kawasan penduduk di Alice Springs, ada sebuah masjid lengkap dengan menara. Rumah ibadah tersebut disebut sebagai “Masjid Afghan”. Antara tahun 1860 dan 1930, sekitar empat ribu pawang unta dari Asia Selatan (India, apa yang sekarang adalah Pakistan dan Afghanistan) datang ke Australia dengan hewan beban mereka untuk membantu Australia membuka jalur darat antara Australia Selatan dan Australia Utara. Pembukaan jalur darat ini mengharuskan para pekerja mengarungi gurun pasir yang cukup luas dan hanya dapat dilalui oleh unta. Kata BBC, mereka ini berjasa meletakkan dasar-dasar infrastruktur yang begitu penting yang bekas-bekasnya masih ada dan dimanfaatkan sampai sekarang.

Betapa kita harus menyayangkan bahwa fakta ini kurang dipahami oleh kebanyakan orang di Australia, khususnya sang pembantai di kedua masjid di Christchurch tempo hari. Dalam “manifesto”-nya, sang pembantai antara lain mengatakan: “(Muslims) are the most despised group of invaders in the West”. Padahal kalau kita bicara invasi (penyerbuan), cukup melihat kembali apa yang dilakukan Presiden Amerika George W. Bush di bulan Maret 2003. Waktu itu, dengan dalih penuh dusta dan menyesatkan, ia memerintahkan pasukan Amerika serta “Coalition of The Willing” untuk menyerbu Irak.

Majalah kedokteran tertua di dunia, The Lancet (terbit pertama kali di Inggiris tahun 1823) melaporkan bahwa akibat serbuan itu, lebih dari 650 ribu orang tewas di Irak. Angka ini memang masih diperdebatkan oleh sementara kalangan, namun yang jelas karena pelakunya adalah Amerika (Barat) dan korbannya adalah non-Barat (Muslim), seberapapun angka korbannya seakan tidak perlu diratapi.

Sebagai Muslim, penulis wajib menyampaikan adanya perintah dalam agama Islam agar umatnya hidup berdampingan secara damai dengan semua orang, apa pun warna kulitnya dan bahasanya.

Semoga Allah mengadakan kasih sayang antara kamu dengan orang-orang yang (sekarang) memusuhi kamu di antara mereka. Allah Maha Kuasa dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 60: 7)

Dan:

Allah tidak melarang kamu berlaku baik dan adil terhadap mereka yang tiada memerangi kamu karena agama dan tiada mengusir kamu dari rumahmu. Sungguh Allah cinta orang yang adil. (QS 60: 8)

Bak kata orang pandai: “Even the Gods can’t change history: the facts speak for themselves”.

Wallahu a’lam.