Popularitas serial televisi “Game of Thrones (GoT)” belakangan makin melangit di Indonesia, menyusul pidato pembukaan yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Kelompok Bank Dunia (Annual Meeting of International Monetary Fund-World Bank Group) di Bali bulan Oktober lalu. Menjelang pertemuan ini, publik Indonesia ramai mendebatkan anggaran dana yang digunakan pemerintah untuk penyelenggaraan acara ini, yang mencapai lebih dari Rp855 miliar rupiah. Namun, topik debat seketika berganti usai Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pembukaannya.
Presiden Joko Widodo menggunakan serial kolosal yang sudah mencapai musim ketujuh ini sebagai analogi dalam mengungkapkan keprihatinannya terhadap perang dagang antara Amerika dan Cina yang kian menggelora. Presiden mengumpamakan kisah dalam serial tersebut dengan ketegangan antarkedua negara besar tersebut: dalam peperangan, yang menang maupun yang kalah sama saja sakitnya, keduanya sama-sama terpukul dan merugi. Begitu kira-kira.
Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo antara lain mengemukakan:
“Pertarungan sesama Great Houses terus berlangsung hingga ada satu House yang berjaya, sementara Houses lain mengalami kesulitan. Namun, mereka tidak menyadari ketika musim dingin datang (winter is coming), ada penjahat musim dingin (evil winter) yang mengancam keberadaan mereka semua dan berpotensi memporakporandakan kehidupan semua Great Houses. Dengan adanya kekhawatiran ancaman evil winter tersebut, akhirnya mereka sadar tidak penting siapa yang duduk di The Iron Throne, yang penting kekuatan bersama untuk mengalahkan evil winter, agar goncangan global tidak terjadi, agar dunia tidak berubah menjadi tanah tandus yang porak poranda.”
Tema pidato yang disampaikan Presiden menuai debat panas, karena sebagian orang memuji Presiden atas kepiawaiannya menggunakan bentuk-bentuk popular dalam menyampaikan idenya. Namun, sebagian lain beranggapan bahwa analogi menggunakan kisah GoT tidaklah pantas. Sebab secara garis besar kisah dalam GoT mengangkat tema-tema seperti: Menang atau Mati; Kekerasan (termasuk terhadap perempuan) adalah Kiat Utama; Dalam pelampiasan nafsu birahi, incest juga dihalalkan; dan semacamnya. Buntutnya, banyak orang juga bertanya-tanya apakah pidato tersebut dibuat sendiri oleh Presiden atau tidak.
Ketika membaca reaksi-reaksi kagum warga di Indonesia maupun di Australia terhadap pidato itu, penulis teringat akan salah satu pidato yang pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo beberapa tahun silam di Kota Blitar. Ketika itu, Presiden Joko Widodo mengatakan:
“Setiap kali saya (Presiden Joko Widodo) berada di Blitar, kota kelahiran proklamator kita, bapak bangsa kita, penggali Pancasila, Bung Karno, hati saya selalu bergetar….”
Namun getaran paling hebat membahana di linimasa media sosial. Presiden Joko Widodo mengucapkan informasi yang salah karena sebenarnya Bung Karno lahir di Surabaya dan nama aslinya Koesno Sosrodihardjo. Namun, dalam kesempatan itu Presiden Joko Widodo hanyalah membaca teks pidato yang ditulis oleh orang lain, yang bernama Sukardi Rinakit. Dalam pengakuannya yang kemudian luas diberitakan, Sukardi Rinakit mengatakan, “Kesalahan tersebut sepenuhnya adalah kekeliruan saya dan menjadi tanggung jawab saya.”
Meski demikian, tetap saja banyak yang menyayangkan hal itu sampai terjadi, “Apakah Presiden tidak mendiskusikan isi pidatonya dengan penulis teks?” ujar mereka skeptis.
Pidato tertulis kepala negara, perdana menteri, bahkan para menteri di berbagai penjuru dunia, kebanyakan ditulis oleh orang lain. Terkadang isi pidato tersebut dirembukkan orang bersama yang akan menyampaikan pidato tersebut. Lihat saja pidato pelantikan kepresidenan di Amerika yang sangat masyhur, disampaikan oleh Presiden John Fitzgerald Kennedy pada tanggal 20 Januari 1961.
Bagian yang sampai sekarang masih sering dikutip adalah ketika ia mengingatkan:
“Jangan tanya apa yang dapat dilakukan negeri ini untuk Anda, melainkan tanyalah apa yang dapat Anda lakukan untuk negeri ini.”
Sebelum pidato itu disusun, Kennedy telah memperbincangkannya dengan sahabatnya yang juga menjadi penulis utama pidato-pidatonya, Ted Sorensen (Theodore Chaikin Sorensen). Jadi sebenarnya yang menyusunnya menjadi naskah pidato adalah orang lain, bukan sang presiden.
Begitu juga dengan pidato Abraham Lincoln pada tanggal 19 Nopember 1863 di “medan pertarungan” Gettysburg. Pidato ini disebut-sebut sebagai salah satu pidato terbaik dalam sejarah Amerika, terutama di bagian yang berbunyi:
“Four score and seven years ago our fathers brought forth on this continent, a new nation, conceived in Liberty, and dedicated to the proposition that all men are created equal.” (87 tahun silam para Bapak bangsa kita melahirkan di benua ini, sebuah bangsa baru, yang diwujudkan dalam Kebebasan, dan dengan pegangan bahwa semua manusia diciptakan setara.
Presiden pertama R.I. Bung Karno juga terkenal dengan pidato-pidatonya yang menggelegar berapi-api dengan semangat revolusioner (meski tak satupun pidato Bung Karno masuk dalam daftar “Tujuh Pidato Terbaik” dunia). Banyak yang menduga bahwa pidato-pidato Bung Karno disusun, antara lain, oleh Dr. Subandrio dan salah seorang tokoh PKI Njoto (Nyoto). Namun tidak jarang isi pidato itu merupakan ungkapan perasaan dan pikiran Bung Karno sendiri. Ini sering terbukti dari kenyataan bahwa ketika menyampaikan pidato (terutama yang berbahasa Indonesia) Bung Karno tidak melirik ke naskah yang telah disiapkan, meski pun kemudian pidato-pidato tersebut diterbitkan.
Dalam upacara perabuan pemimpin India Mahatma Gandhi, Perdana Menteri pertama India Jawaharlal Nehru mengutip karya agung pujangga Inggris William Shakespeare yang berjudul “Julius Caesar”. Ia mengutip bagian akhir cerita, ketika Marcus Antonius menyanjung mantan lawannya yang telah gugur, Marcus Brutus:
“His life was gentle; and the elements
So mix’d in him that Nature might stand up
And say to all the world, This was a man!”
Shakespeare adalah maestro dalam seni mengarang, dan kita tidak tahu pasti apakah benar Marcus Antonius menyampaikan pujian seperti itu pada lawannya yang telah gugur. Namun karangannya itu sempat dikutip oleh Jawaharlal Nehru, salah seorang tokoh Gerakan Non-Blok yang juga adalah sahabat dan rekan seperjuangan Bung Karno.
Tapi, sekiranya waktu itu sudah ditayangkan serial kolosal Game of Thrones, apakah Nehru juga akan mengutipnya sebagai tamsil?
Wallahu a’lam.
Penulis: Nuim Khaiyat