Dipuji dan Dipuja, Dicaci dan Dimaki

Ada sentilan yang terdengar seperti dagelan: “Hari ini ayam jago, besok opor” (today a rooster, tomorrow a feather duster).

Bukankah Bung Karno pernah digelar “Pemimpin Besar Revolusi” dan “Penyambung Lidah Rakyat”?

Tidak lama kemudian, menyusul Gestapu, beliau dicaci dan dimaki.

Bukankah Jenderal Besar Suharto pernah digelar “Putra terbaik Bangsa”?

Namun setelah Krismon, dia disebut biang KKN.

Begitulah, hari ini ayam jago yang kokoknya menggelegar setiap pagi, namun kemudian disembelih, dipesiangi, dan dipotong-potong lalu dimasak.

Itulah sebabnya, barangkali, salah seorang tokoh bangsa, Buya Syafi’I Ma’arif, yang wafat di penghujung bulan Mei lalu, pernah mengingatkan bangsa dan negara yang disayanginya agar hati-hati dalam memilih atau menunjuk/mengangkat pejabat.

Sebagaimana dilaporkan media di Indonesia, Almarhum pernah mengingatkan:

“Menurut cendikiawan muslim itu, KPK harus dipimpin oleh orang baik dan tak bermasalah.

“Orang yang bermasalah, yang ada titik-titik hitam, ya jangan dipilih lah, jangan dipilih. Orang baik masih ada di republik ini. Walau jumlahnya enggak banyak. Masih ada orang baik itu,” katanya dalam Dialog Kanal KPK di Jakarta, Rabu 28 Agustus 2019.

Namun, Buya Syafii mengakui bahwa memilih orang yang benar-benar baik dalam memimpin lembaga bukan hal mudah. Hal ini lantaran kultur politik Indonesia yang belum tentu memilih orang baik. Padahal, politisi menurutnya adalah pilar demokrasi.

Menurut Buya Syafii, politisi saat ini justru hanya memikirkan Pemilu 2024. “Lalu saya tanyakan, yang pikirkan bangsa dan negara ini siapa?” katanya.

Tidak mudah memang mencari “orang yang baik”. Sering awalnya terkesan baiknya laksana malaikat, namun, sebagaimana pernah dikemukakan Menko Polhukam Mahfud Md., kalau sudah masuk ke dalam “jajaran” bisa jadi iblis.

Sebenarnya ini bukan hal baru.

Ketika membaca tentang pesan (Alm) Buya Syafi’I Ma’arif itu, penulis teringat akan sambutan Marcus Antonius di depan jenazah Julius Caesar yang baru saja dikeroyok oleh para pembunuh yang mengaku hendak menyelamatkan Roma dari cengkraman Julius Caesar yang mereka tuduh berambisi hendak menjadi raja setelah berhasil meraih berbagai kemenangan dalam sejumlah peperangan. Padahal menurut kesepakatan nasional Roma harus menjadi republik, bukan kerajaan.

Dalam karyanya “The Tragedy of Julius Caesar” pujangga Inggris William Shakespeare yang begitu lihai dalam menyusun kata-kata dan sangat arif dalam merangkai sifat manusia, menyuguhkan apa yang dikatakannya adalah “sambutan” anak buah Julius Caesar, yakni Marcus Antonius, ketika diberi izin oleh para pembunuh pimpinan “anak buah sangat setia” dari Julius Caesar yakni Marcus Brutus, yang ternyata laksana “senjata makan tuan”.

“Para sahabat, warga Romawi, saudara setanah air, dengarkanlah saya;

Saya datang untuk memakamkan Caesar, bukan menyanjungnya;

Kejahatan yang dilakukan manusia akan tetap diingat;

Kebaikan yang dilakukannya acap terkubur bersama tulang belulangnya;

Begitulah halnya dengan Caesar. Brutus yang mulia

Tadi mengatakan, bahwa Caesar sangat ambisius;

Kalau memang demikian, maka itu adalah kesalahan besar dari Caesar.

Dan semua itu harus dibayar Caesar dengan nyawanya.

Dalam kesempatan yang diberikan Brutus dan sekutu-sekutunya,

Karena Brutus adalah orang yang terhormat;

Begitu pula sekutu-sekutunya, semuanya orang-orang terhormat;

Saya datang untuk menyampaikan sepatah-dua kata di depan jenazah Caesar.

Beliau adalah sahabat saya, setia dan adil terhadap saya.

Namun menurut Brutus beliau ambisius.

Dan Brutus adalah manusia yang terhormat.

Mendiang telah banyak membawa tawanan perang kembali ke Roma.

Yang uang tebusannya mengisi perbendaharaan negara:

Apakah ini mencerminkan bahwa Caesar ambisius?

Ketika si miskin menangis Caesar tersedu sedan:

Ambisis haruslah lebih berbobot dari itu;

Namun menurut Brutus mendiang adalah orang yang ambisius;

Dan Brutus adalah orang yang terhormat.

Sahabat sekalian menyaksikan dengan mata kepala sendiri;

Ketika saya tiga kali menawarkan kepada Caesar mahkota kerajaan

Dan tiga kali pula Caesar menolaknya: apakah itu ambisius?

Namun menurut Brutus mendiang ambisius

Dan memang, Brutus adalah orang yang terhormat.

Sambutan saya ini bukan dimaksudkan untuk membantah apa yang dituduhkan Brutus.

Saya di sini hanya ingin menyampaikan apa yang saya ketahui.

Bukankah kalian pernah menyintainya, bukan secara membabi buta;

Lalu kenapa sekarang kalian tidak berkabung atas kematiannya?

Wahai keadilan! Engkau telah masuk ke dalam rongga gergasi

Dan menusia kehilangan akalnya. Ma’afkan saya;

Hati saya seakan berada dalam keranda bersama jenazah Caesar;

Saya harus berhenti hingga hati saya kembali ke dalam rongga dada saya.”

(Sambutan Marcus Antonius itu penulis terjemahkan secara terburu-buru karena tenggat waktu.)

Ternyata sambutan Marcus Antonius itu mampu menyadarkan rakyat Romawi waktu itu (kata William Shakespeare). Mereka balik gagang dan menghajar Marcus Brutus serta sekutu-sekutunya hingga terkapar.

Namun, ketika Marcus Brutus kemudian dikalahkan dan bunuh diri, setelah mengatakan bahwa “aku membunuh Caesar dengan i’tikad baik sepenuhnya”.

Marcus Antonius dalam sambutannya memuji Brutus dalam sambutan yang juga pernah dikutip PM India Jawaharlal Nehru dalam upacara perabuan Mahatma Gandhi.

Kata Antonius (menurut William Shakespeare):

“Dia adalah warga Romawi yang paling mulia;

Semua konspirator (yang membunuh Caesar), kecuali beliau (Brutus),

Melakukan apa yang mereka lakukan karena dengki pada Caesar yang Agung;

Hanya dia, dengan niat penuh kejujuran dan demi kepentingan nasional; terbawa rendong bersama mereka;

Hidupnya penuh kelemah lembutan; dan sifat dan sikapnya begitu rupa;

Hingga Alam pun akan tegak berdiri untuk mengumandangkan kepada sejagad raya: Dia adalah manusia sejati!”  

Allahu a’lam.

Teks: Nuim Khaiyath