Hari Sabtu (14/10/2023) lalu, rakyat Australia diwajibkan memberikan suara dalam referendum untuk mengamandemen UUD negara ini, agar masyarakat pribumi Australia yang disebut sebagai First Nations People, memiliki perwakilan khusus yang disebut “THE VOICE’. Referendum ini ternyata tidak berhasil, karena gagal memperoleh mayoritas suara.
Jelas dalam setiap referendum ada yang pro ada pula yang kontra, dan bagi pemberi suara segala ini akan ditentukan oleh penilaian masing-masing.
Menurut Badan Siaran Inggris (BBC), orang asing pertama yang menjalin hubungan dengan kaum pribumi Australia–sekitar 500 tahun silam–adalah apa yang waktu itu dikenal sebagai kaum Macassan–alias masyarakat Bugis dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Menurut seorang dosen RMIT Janak Roberts:
“Tidak banyak yang sadar atau mengetahui bahwa kaum pribumi Australia sudah punya jalinan silaturahim dengan warga Muslim dari negeri asing, ratusan tahun sebelum penjajah Kristiani masuk ke Australia”.
Dan ternyata Islam sampai kini masih diminati oleh sebagian kaum pribumi Australia.
Ada gambar-gambar perahu Bugis di barisan pegunungan Wellington di Arnhem Land, yang meriwayatkan sejarah yang berbeda dari sejarah yang selama ini dipahami oleh sebagian besar rakyat Australia.
Para pelaut Bugis itu datang dengan perahu ke Australia untuk membeli teripang–juga disebut timun laut–yang sangat digemari oleh bangsa Tionghoa, baik sebagai makanan maupun obat-obatan.
Orang Makassar tersebut merupakan bagian awal dari upaya kaum pribumi Australia untuk menjalin hubungan internasional, kata antropolog John Bradley dari Monash University Melbourne.
Dan hubungan itu sangat berhasil, katanya.
Mereka berdagang secara jujur dan adil tanpa ada pihak yang menganggp dirinya lebih unggul, atau lebih mulia–pokoknya sama rata.
Menurut BBC dan John Bradley, sikap umat Islam dari Makassar itu sangat berbeda dari sikap pendatang dari Inggris yang menyebutkan Australia sebagai “Terra Nulius”, maksudnya negeri tanpa penghuni.
Diantara pendatang dari Makassar itu ada yang kemudian menetap di Australia dan menikahi perempuan pribumi.
Dikatakannya, di Arnhem Land masih ada bekas-bekas “Islam” dalam bentuk nyanyian, lukisan, tari-tarian, dan ritual pemakaman jenazah.
Ada lukisan bernama “Walitha Walitha” yang dipinjam dari kata Allahu Ta’ala yang disembah suku Yolngu di Pulau Elcho, Australia Utara.
Mereka juga sujud ke arah barat—qiblat–ketika beribadah.
Ada pula penyelam mutiara dari apa yang sekarang kita kenal sebagai daerah Jawa Timur, yang menikahi perempuan pribumi dan punya 9 anak, kemudian membangun mushalla di pekarangan rumahnya di Port Hedland, Australia Barat.
Kemudian di abad ke-19, dalam upaya membuka jalur hubungan darat dari selatan ke utara, didatangkan para pawang unta Muslim dari Afghanistan. Karena hanya unta yang sanggup mengharungi jarak ribuan kilometer dari selatan ke utara Australia.
Setelah tugas mereka terlaksana, umumnya orang-orang Afghan tersebut kembali ke negeri mereka dengan meninggalkan warisan dalam bentuk dua buah masjid, satu di Adelaide dan satu di Alice Springs.
Kini diperkirakan terdapat sampai satu juta ekor unta di Australia Tengah. Oleh karena itu, Australia adalah salah satu negara eksportir unta terbesar di dunia.
Alhasil, warga Muslim dari apa yang sekarang merupakan bagian dari NKRI yang bersilaturahmi ke Australia ini, sama sekali tidak berniat untuk menjajah. Mereka sekadar berkenalan dan berdagang dan setelah urusan selesai, mereka mudik.
Jelas bukan veni vidi vici—’aku datang, aku lihat, aku taklukkan’.
Teks: Nuim Khaiyath