Di Wajahmu Kulihat Bulan

Kalau Anda belum pernah menikmati lagu seperti nama judul tulisan ini, maka hendaklah Anda bersegera mencarinya, khusus yang dilantunkan oleh Sam Saimun.

Lagu “kuno” ini diciptakan oleh Mochtar Embut sekian puluh tahun silam, dan rasanya sampai kini masih enak di dengar.

Begini selengkapnya lirik salah satu lagu kesayangan penulis ketika masih menjadi broadcaster Radio Australia:

Diwajahmu kulihat bulan,
Yang mengintai disudut kerlingan..
Sadarkah tuan kau ditatap insan,
Yang haus akan belaian..

Diwajahmu kulihat bulan,
Menerangi hati gelap rawan..
Biarlah daku mencari naungan,
Di wajah damai rupawan..

Serasa tiada jauh,

Dan mudah dicapai tangan..
Ingin hati menjangkau,
Kiranya tinggi diawan..

Diwajahmu kulihat bulan,

Bersembunyi dibalik senyuman..
Jangan biarkan ku tiada berkawan,
Hamba menantikan tuan..

Serasa tiada jauh,

Dan mudah dicapai tangan..
Ingin hati menjangkau,
Kiranya tinggi diawan..

Diwajahmu kulihat bulan,

Bersembunyi dibalik senyuman..
Jangan biarkan ku tiada berkawan,
Hamba menantikan tuan…..

Namun ternyata menurut suatu kajian estetika kecantikan baru-baru ini, wajah yang bundar laksana bulan kurang diminati atau dihargai di kalangan bangsa Asia.

Tidak mengherankan kalau konon di era Orde Baru, lagu yang disenandungkan Sam Saimun itu kurang berkenan di hati seorang penguasa yang isterinya, begitu dikisahkan, berwajah bundar laksana “bulan purnama”.

Lalu bagaimana bentuk wajah di Asia dianggap aduhai?

Yang lonjong, mirip huruf V.

Dan kini, ada cara mudah untuk menyetel kembali wajah yang terlahir laksana bulan alias huruf O menjadi lonjong laksana huruf V.

Sebelum pembaca buru-buru berkonsultasi dengan cermin untuk memastikan bagaimana bentuk wajah Anda, renungkanlah “falsafha” Inggris berikut ini:

“Beauty is in the eye of the beholder.”

Konon salah seorang perempuan yang tercantik di masa lalu adalah penguasa Mesir kuno Cleopatra, seorang keturunan Yunani yang pernah dikagumi oleh, antara lain, pemimpin Romawi Julius Caesar, dan Marcus Antonius, juga tokoh Romawi.

Seorang tokoh Prancis bernama Pascal kemudian membuat teori:

“The nose of Cleopatra: had it been shorter, the face of the entire world would have been changed.” (Hidung Celopatra: sekiranya lebih pendek – pesek? – maka niscaya wajah seantero dunia tentulah akan berubah.)

Mungkinkah bentuk hidung seseorang yang sangat berkuasa atau berpengaruh dapat kiranya menentukan jalannya sejarah, seperti hidung Cleopatra? Wallahu a’lam.

Sekiranya hidung Celopatra lebih pendek/pesek, maka itu bukan saja akan mengurangi kecantikannya alias memperburuk wajahnya, melainkan juga akan mengubah “wajah politik” dunia atau umat manusia.

Pasalnya, apabila wajah Celopatra tidaklah secantik seperti yang selama ini diyakini umat manusia, maka niscaya tokoh Romawi Marcus Antonius tidak akan jatuh cinta padanya, dan karenanya pertikaian Marcus Antonius dengan Kaisar Octavius akan mengalami perbedaan dan sejarah kekaisaran Romawi dan sekaligus kaitannya dengan sejarah Eropah Barat niscaya akan berbeda alur.

Bagaimanapun juga, kenyataannya kini di Asia – khususnya negara-negara seperti Jepang, Tiongkok, Korea, yang diidam-idamkan adalah wajah yang lonjong mirip huruf V – a slim and oval face, with pointed chin and a well-defined jawline.

Sebagaimana dikatakan pendiri klinik IDS Singapura Dr. S.K. Tan, “Wajah berbentuk huruf V menurut tradisi kecantikan di Tiongkok adalah yang paling didambakan, dan lambat laun anggapan ini dirangkul sebagai wajah yang paling diidamkan di Asia Timur.”

Namun bagi sementara perempuan (dan barangkali juga lelaki) di Jepang, wajah yang didambakan adalah yang mirip kebarat-baratan, yang dinilai lebih “tajam” dengan mata yang lebih besar (tidak sipit) hingga hidung kelihatannya lebih mungil/kecil.

Wah, ini berbeda dengan persepsi kegantengan di kalangan bangsa Semit di Timur Tengah, di mana hidung yang panjang (saking panjangnya sering kalau mau minum dari gelas, ujung hidungnya yang terlebih dahulu menyentuh minuman bukan bibir) dianggap sebagai “bangsawan”.

Sudah jelas di jaman yang sudah sangat maju ini, meski belum mampu membabat habis sekaligus COVID-19 atau kanker atau bahkan pilek – ada cara untuk mengubah wajah seseorang.

Melalui “pembedahan” yang diperingatkan oleh para ahlinya bisa menimbulkan bahaya, dan harganya mahal.

Banyak cendekiawan yang memesankan kepada kaum perempuan agar rela dan puas menerima wajah pembawaan lahir apabila memang utuh. “If it is not broken, why fix it?”

Sebab wajah yang telah ditukangi ketika pemiliknya masih muda, niscaya tidak akan sesuai dengan keadaan, sebut saja, leher, kalau sudah berumur – di atas masih kencang, namun di bawah dagu sudah seperti ayam kalkun menjelang Natal.

Namun manusia memang seringkali kurang puas, sehingga apa yang sudah diberikan untuknya dianggap kurang memadai.

Seperti pesan dalam sebuah pepatah Inggris, “Rumput di halaman orang lain selalu terlihat lebih hijau.”

Sayangnya pepatah kita pun membuat gara-gara, misalnya dengan pribahasa:

“Alis laksana semut beriring atau awan berarak”.

“Dagu laksana lebah bergantung”.

“Bibir laksana delima merekah”. (Hati-hati pakai botox.) 

Alhasil yang penting adalah jangan sekali-kali “muka buruk cermin dibelah”.

Dalam bahasa Inggris juga ada pribahasa tentang muka dan cermin “Mirror mirror on the wall, who is the fairest of them all?

Jawaban cermin biasanya ialah: “You are!” tapi ada juga yang jahil yang kemudian menambahkan “But don’t take my word for it ‘cause I’m cracked.

Seorang tuna netra yang sangat mashur, Helen Keller, dikabarkan pernah mengatakan:

“Kalau harus pilih antara ketunanetraan atau ketunarunguan, saya akan lebih memilih ketunanetraan”, meski dengan demikian citra dan perspektif keindahan dan kecantikan tentunya berbeda, karena mengandalkan telinga bukan mata.

Mungkin itu yang dimaksud dengan “Beauty is in the eye of the beholder”, tergantung mata siapa yang melihat.

Pokoknya jagalah agar jangan sampai kehilangan muka, betapa pun jeleknya (menurut pandangan orang lain).

Salah seorang Presiden Amerika yang sampai kini masih dibanggakan rakyat negara adikuasa itu, Abraham Lincoln, ketika sedang berkampanye pernah dituding pengecamnya sebagai “a two-faced man”. Alias lelaki bermuka dua, maksudnya munafik atau pendusta.

Abraham Lincoln yang wajahnya memang penuh kerutan itu, alias kurang tampan, menanggapi tuduhan itu dengan menggunakan muka sebagai kenyataan bukan kiasan:

If I had two faces, do you think I would wear this one?” (“Kalau aku bermuka dua – punya dua muka – tentulah aku tidak akan menampilkan muka ini.”)

Itulah jawaban seorang politisi ulung.

Kata seseorang yang arif lagi bijaksana:

“Menjaga air muka adalah hiasan bagi orang miskin, sebagaimana syukur adalah hiasan bagi orang kaya.”

Penulis : Nuim Kaiyath