Perlu Sinergi Antar-Generasi

Bayangkan wilayah Melbourne pada pertengahan 1960-an. Saat itu warga Indonesia di sekitar Victoria masih kurang dari 100 orang. Belum ada warung makan atau toko klontong Indonesia. Bumbu-bumbu dapur pun tak mudah dijumpai. Apalagi kebijakan White Policy masih berlaku, semakin membuat hidup tak nyaman. Namun, dorongan untuk mempromosikan Indonesia tak pernah kendur. Tuti Gunawan, Ebet Kadarusman, dan kawan-kawan, pada 1965 akhirnya bersepakat mendirikan IKAWIRA (Ikatan Keluarga Indonesia di Victoria). Kekeluargaan ditetapkan sebagai asas kelembagaan organisasi ini. Artinya, siapapun orangnya, tanpa memperdulikan etnik, agama, kewarganegaraan, ideologi, asal cinta Indonesia, bisa bergabung dalam IKAWIRIA. Tak heran jika anggota organisasi ini ibarat gado-gado, penuh warna tetapi saling menguatkan.

Kini IKAWIRIA dipimpin oleh generasi muda, Iman Santosa yang akrab disapa Isan. Ia adalah sarjana astronomi ITB yang sudah menetap di Victoria. Sebuah estafet kepemimpinan yang terbilang sukses. Ozip mewawancarai Mas Isan dalam perjalanan ke Gipsland untuk menghadiri peringatan kemerdekaan RI oleh GIAA (Gippsland Indonesian Australian Association). “Menyambung silaturahmi semacam ini sangat penting dalam penguatan komunitas Indonesia,” tutur ayah tiga anak itu. “Sekalipun jauh, kita harus meluangkan waktu. Dengan cara inilah komunikasi batin tetap terjalin dan tersambung.”

Berikut petikan selengkapnya wawancara Ozip dengan Isan seputar kiprah anak-anak muda Indonesia di Australia.

  

Bagaimana Anda melihat anak-anak muda Indonesia di Australia?

Anak-anak muda Indonesia di Australia terlihat lebih kreatif karena ada rasa rindu kepada kampung halaman. Kalau di tanah air, kan rasa rindu itu tidak ada. Australia ini negeri orang, jauh dari keluarga, kawan-kawan sepermainan, dan pusat-pusat kebudayaan Nusantara. Rasa rindu itulah yang mendorong mereka untuk bisa membuat kegiatan bersama.

Kegiatan yang dilakukan para pelajar seperti  PPIA, dalam mengekspresikan keindonesiannya, itu sangat positif. Sementara warga yang bukan pelajar, yang tergabung dalam organisasi komunitas, punya caranya sendiri, misalnya mengadakan Satay Festival, pameran barang seni, Festival Indonesia terlibat dalam Australia Day, Moomba Festival atau Pako Festa. Motivasi mereka sama, rindu akan kampung halaman.

 

Apa sih yang dibutuhkan oleh anak-anak muda itu?

Anak muda itu tidak butuh apa-apa selain kepercayaan dan kesempatan. Kita harus percaya bahwa mereka punya ide, gagasan, tenaga, dan semangat dalam mempromosikan Indonesia. Yang perlu diberikan ialah ruang agar mereka lebih kreatif. Pihak perwakilan (KJRI) misalnya, bisa memberi dorongan lebih kuat agar kreativitas mereka semakin tergali, dengan menyediakan fasilitas sesuai kemampuan.

Kian tahun kreativitas anak-anak muda Indonesia semakin tampak. PPIA punya program tahunan yang terus dipertahankan. Di luar itu komunitas berbasis agama dan kedaerahan juga terlibat dalam berbagai kegiatan multikultural. Penampilan Saman Melbourne di Federation Square saat peringatan 17-an itu misalnya, menjadi bukti yang layak diapresiasi.

 

Anda optimis mereka bisa lebih memajukan promosi budaya Indonesia?

Saya sangat optimis. Dengan ruang dan kesempatan yang terbuka, energi besar anak-anak muda itu akan tersalurkan secara tepat. Sudah bukan saatnya lagi kalangan tua atau birokrasi menjadi penghambat seperti pada masa lalu. Anak-anak muda itu bukan “pesaing” tetapi aset yang harus dijaga dan dikembangkan. Bahwa mereka lebih lugas dan kritis, memang mereka itu anak-anak demokrasi yang sejak lahir merasakan kebebasn berpendapat dan berkumpul.

 

Ikawiria akan merayakan Golden Jubilee pada 2015. Mencapai usia 50 tahun bagi sebuah organisasi adalah sebuah prestasi yang tidak mudah. “Kami ingin mengabadikan jejak perjalanan Ikawiria ini dalam sebuah buku,” papar Isan. Menurutnya, konsep buku itu masih digodok agar terbit bukan sekedar album kenangan, tetapi memberikan sumbangsih pada literatur tentang pendatang Indonesia di Australia. Memang, belum ada buku tentang pendatang Indonesia yang ditulis oleh warga Indonesia. Yang ada baru sejumlah artikel pendek. Oleh sebab itu, buku 50 Tahun Ikawiria, layak dinantikan.

 

Apakah masih ada gap antara yang muda dan yang tua?

Masih ada. Itu karena latar belakang mereka datang ke sini berbeda-beda. Atmosfir sosial dan politik kedua negara sangat mempengaruhi. Pada setiap periode kedatangan, kondisi di Indonesia dan Australia juga berbeda. Misalnya kondisi Indonesia dan Australia pada tahun 1960-an, jauh berbeda dengan sekarang. Inilah yang membuat respons setiap warga Indonesia setibanya di Australia ini berbeda-beda pula.

Hingga 1980-an, warga Indonesia masih terhitung jarang jumlahnya. Oleh sebab itu, membentuk organissi warga menjadi kebutuhan penting karena mereka perlu bersama-sama mengatasi masalah yang dihadapi. Apalagi arus informasi masih terbatas, tidak semua orang mempunyai alat komunikasi dan kendaraan pribadi. Makanya pada generasi ini semangat berorganisasi sangat kuat.

Pada era 2000-an, kondisi Indonesia dan Australia sudah jauh berbeda. Alasan para pendatang baru untuk menetap di negeri kangguru ini juga berbeda. Berbagai informasi baik tentang Indonesia maupun Australia dengan mudah didapatkan melalui internet, tidak perlu lagi menunggu saat arisan organisasi untuk mendapatkan informasi yang dicari. Dengan berbagai kemudahan itu mereka bisa mandiri. Tak heran jika pada generasi 2000-an ini, semangat berorganisasi dalam komunitas jadi menurun. Inilah yang melahirkan gap antara pendatang tua dan muda.

 

Lalu apa yang diharapkan bisa menjadi perekat antar generasi ini?

Kepentingan bersama. Kan kita sebenarnya sama-sama ingin mempopulerkan budaya Indonesia di Australia. Generasi tua caranya melalui festival yang rutin atau menampilkan seni-seni yang klasik. Sementara anak-anak muda tentu ingin menyampaikannya dengan kreativitas yang modern, yang lebih dipahami olehmereka dan diterima oleh warga Australai sebaya mereka. Dengan cara-cara yang lebih “gaul”.

 

Apa solusinya?

Masyarakat Indonesia di Victoria ini sangat beragam. Perlu saling bertemu di antara komunitas dari berbagai larat belakang ini dan bersinergi. Kita cari kesepatan untuk bersama-sama mempromosikan kebudayaan Indonesia dengan cara yang lebih diterima oleh kalangan lebih luas.

 

Cukup dengan pertemuan secara reguler?

Memang tidak. Perlu ada orang dengan kekuatan dan komitmen yang besar, waktu yang cukup, dan tenaga yang memadai untuk mengelola harapan ini. Sementara masing-masing dari kita ini sibuk bekerja, sekolah, mengurus keluarga. Sampai saat ini belum ada orang sperti itu, tetapi setidaknya kesadaran untuk itu sudah mulai tumbuh. Mungkin suatu ketika akan muncul sosok yang kita harapkan itu.

 

Bisa dicarikan perbandingan kondisi warga dari negara lain?

Kita tidak bisa membandingkan kondisi warga Indonesia di sini dengan warga dari negara lain, misalnya dengan pengungsi Vietnam yang datang ke Australia karena menghindari pemerintahan komunis pada waktu itu. Ketika mereka tiba di Australia, tidak ada alasan lain kecuali kompak dan bersama-sama serta bersatu memulai hidup baru.

Warga kita pada dasarnya suka persatuan, tetapi karena alasan mereka datang ke sini berbeda-beda, maka berorganisasi tidak menjadi prioritas utama. Namun, jika antar ormas yang ada ini bisa saling bertemu, pasti akan ada solusi bersama. Di sinilah harapan besar kita pada pihak perwakilan (KJRI), untuk bisa menjadi fasilitator bagi pertemuan-pertemuan itu.

Ketua GIAA, Joko Gunawan memberikan sambutan.

Foto: dok. OZIP