Orasi John Menadue Marty Natalegawa: Indonesia sebagai Pilar Demokrasi ASEAN

Dikenal sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, Indonesia tak pernah luput dari polemik politik serta perjuangan yang akhirnya menghantarkannya menjadi negara demokratik terbesar ketiga di dunia.

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini, demokrasi Indonesia mengalami transformasi secara besar-besaran sejak tahun 1998 yang ditandai dengan runtuhnya sistem pemerintahan era orde baru dan munculnya sistem pemerintahan era reformasi.

Transformasi dari sistem pemerintahan Indonesia yang dapat dikatakan masif tersebut melahirkan perubahan yang terbilang signifikan. Para penulis novel dan buku-buku, misalnya, yang dilarang pada zaman orde baru kala itu diberikan wewenang untuk melahirkan kembali karya-karyanya yang fenomenal.

Sistem pemerintahan di era orde baru yang represif telah berganti dan menjadikan pesta demokrasi kian hari kian bisa dirayakan dan dinikmati. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, implementasi dari demokrasi sendiri kini mulai memunculkan diskursus perdebatan baik dalam konteks Indonesia maupun global. Prinsip-prinsip demokrasi sendiri kini kerap dibenturkan dengan praktiknya yang perlahan terkikis karena hak asasi manusia yang tak lagi bisa dinikmati secara utuh.

Fenomena semacam ini memunculkan pertanyaan di banyak kalangan masyarakat bahwa apakah demokrasi masih bisa berjalan? Pertanyaan itu dijawab oleh mantan menteri luar negeri Indonesia Marty Natalegawa bahwa demokrasi masih dan harus berjalan. “No one cannot be silent in democracy, setiap warga dan pemerintah harus ikut andil dalam praktiknya”, tuturnya.

Beliau juga menyampaikan bahwa demokrasi bisa berjalan hanya dengan adanya kerjasama dari para pemangku jabatan dan keterlibatan rakyatnya dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Pidato tersebut disampaikannya di acara Orasi John Menadue mengenai demokrasi yang diselenggarakan oleh Centre for Policy Development pada hari Kamis 2 November 2017, di State Library of Victoria, Melbourne.

Pada kesempatan tersebut, sang mantan menteri luar negeri sekaligus mantan duta besar Indonesia untuk Inggris Raya ini diwawancara oleh Laura Tingle, seorang wartawan Australian Financial Review (AFR), tentang pengalaman beliau dalam hal sistem pemerintahan demokrasi saat masih menjabat sebagai menteri luar negeri Indonesia tahun 2009-2014 di masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Di pidatonya, Marty Natalegawa juga menyinggung masalah Rohingya di Myanmar yang perlu dicarikan solusi bersama. Menurutnya, Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di ASEAN dan negara yang diyakini menganut sistem demokrasi terbesar ketiga di dunia harus mengambil tanggung jawab lebih besar dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi di ASEAN.

Sejak 50 tahun terakhir, Indonesia telah menjadi pilar demokrasi di antara negara-negara ASEAN dengan mengambil peran penting dalam persoalan hak asasi manusia dan pemerintahan yang baik. Sepak terjang Indonesia itu menjadi pioner di antara negara-negara ASEAN dan menjadikan anggotanya semakin kooperatif.

Marty juga menegaskan bahwa demokrasi harus dipupuk agar praktik dan prinsipnya tetap terjaga baik karena demokrasi merupakan sebuah proses yang terus berjalan dan perlu dipelihara. “Demokrasi akan dapat terus bertahan jika para pemangku jabatan lebih bersedia mendengarkan suara publik dan mendapatkan kepercayaan lebih besar dari rakyatnya,” katanya. Itulah gambaran demokrasi ideal menurut beliau.

Teks & Foto: Nudia Imarotul Husna