Berangkat dari keresahan masyarakat diaspora Indonesia mengenai tingkat toleransi yang ditengarai tengah menurun di beberapa daerah di tanah air, Forum Masyarakat Indonesia di Australia (FMIA) tergerak untuk mencetuskan diskusi santai. Acara bertema “Merawat Keragaman” yang menghadirkan Wimar Witoelar sebagai pembicara ini didukung sepenuhnya oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Melbourne dan Yayasan TIFA.
Digelar di hari Sabtu, 18 November 2017 mulai pukul 15.00-17.00 AEST, diskusi santai ini mengambil tempat di KJRI, 72 Queens Rd, Melbourne. Acara dibuka oleh Diana Pratiwi selaku Ketua FMIA, disusul dengan sambutan dari Ibu Konsul Jenderal (Konjen) RI untuk Victoria dan Tasmania, Dewi Savitri Wahab.
Beberapa menit kemudian Soraya Permatasari selaku moderator resmi memulai perbincangan. Sebagai Breaking News Editor untuk Asia Pacific, Aya, panggilan akrabnya, sudah cukup akrab dengan kondisi terkini di berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia. Dengan luwes Aya mengundang hadirin untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan toleransi, keragaman dan hal-hal lain yang menarik perhatian mereka langsung kepada Wimar. Dibungkus dengan humor yang menggelitik, Wimar merespon satu-persatu pertanyaan dan unek-unek pengunjung.
Beliau mengutarakan pendapatnya bahwa Indonesia itu kaya karena keragaman, tidak seragam. Keragaman ini diibaratkan bagaikan sebuah taman yang makin menonjol kecantikannya dengan berbagai jenis bunga yang tumbuh.
“Seperti bunga yang berwarna warni, bagus tapi jangan hanya dikagumi. Ini harus dirawat,” ujar Wimar.
Sayangnya, belakangan ini banyak berita media massa cenderung bombastis dan provokatif. Padahal sesungguhnya toleransi masih ada dan terpelihara dengan baik di kalangan akar, hanya saja kita tidak tidak boleh terlena.
Mengenai isu masalah Pilkada Jakarta yang menarik perhatian berbagai pihak, Wimar menekankan bahwa hal ini sebenarnya unik karena sesungguhnya masyarakat Jakarta terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Namun di sisi lain, sebuah survei yang dilakukan oleh Setara Institute menunjukkan bahwa Jakarta adalah daerah yang paling intoleran. Hal ini, menurut Wimar, disebabkan karena Jakarta adalah pasar utama dalam politik sehingga menjadi sasaran utama bagi pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan.
“We are in the comfort zone, we think that everything will stay the same, while actually it is not karena dunia selalu berubah jadi kita tidak boleh terlena,” demikian disimpulkan oleh Aya di penghujung acara.
Teks: Putri
Foto: Windu Kuntoro