Kenangan Indah di Wheelers Hill Library

Wheelers Hill Library-OZIP
Pemandangan asri dari dalam Wheelers Hill Library.

Oleh AM. Sidqi

Saat Anda membaca tulisan ini, aku sudah kembali ke Tanah Air. Jadi tulisan ini semacam mengenang salah satu tempat favoritku selama tinggal di Victoria, bahkan favorit kami sekeluarga, atau bisa juga alasan kami betah di Victoria. Ini hanyalah sebuah perpustakaan lokal di Kota Monash, Wheelers Hills Library namanya, sekitar 35 km dari Kota Melbourne. Kami bisa membaca, menulis, menggambar atau sekedar online menghabiskan waktu sambil menikmati pemandangan dari sebuah ruangan berdinding kaca. Kalau biasanya banyak orang di Indonesia mengisi akhir pekan dengan menyesaki mall dan pusat pembelanjaan, karena hampir tidak ada pilihan lain; di Victoria, perpustakaan lokal menjadi salah satu pilihan untuk hang out di akhir pekan. Tentu saja mall juga tetap ramai, walau tidak sesesak di Jakarta.

Sering kali, kami sekeluarga berlibur menghabiskan akhir pekan di perpustakaan Wheelers Hills. Biasanya kami tidak sendiri. Para mahasiswa sudah sejak pagi hari menguasai cubical atau meja-meja di sekitar colokan listrik, membuka laptop, memasang earphone, dan setumpuk buku di sampingnya. Sementara para warga senior datang untuk sekedar membaca koran atau novel. Dan para orang tua pun tidak ingin ketinggalan mengajak anak-anaknya ke pojok khusus Kids Space. Untungnya masih ada meja tersisa menghadap dinding kaca. Segera kami membuka lapak dan larut dengan urusan masing-masing: aku menulis thesis, Mia istriku yang keren merampungkan buku memasaknya, dan Athar anak kebanggaan kami menggambar sambil bulak-balik mengumpulkan buku-buku dari pojok anak-anak.

Aku ingat ketika itu, Mia masih sibuk dengan draf buku memasaknya dan Athar masih mencorat-coret kertas putih. Menurut Athar, ia sedang menggambar pesawat di antara awan-awan. Pada mulanya, aku khawatir Mia dan Athar akan terenggut kehidupannya di Tanah Air demi “menemaniku” sekolah di Monash University. Mia memang lebih pintar dari aku. Semasa sekolah dulu, Mia adalah siswa teladan Jawa Barat dan mahasiswa berprestasi di Universitas Indonesia. Perlahan kekhawatiranku sirna ketika menemukan perpustakaan lokal serupa Wheelers Hills ini. Tidak hanya di Wheelers Hills, perpustakaan-perpustakaan lokal juga terdapat di berbagai suburb (semacam kecamatan) yang dikelola oleh Pemerintah Kota Monash, yaitu Clayton, Glen Waverley, Mount Waverley, Mulgrave Neighbourhood, Oakleigh, dan Monash Federation Centre. Perpustakaan-perpustakan ini seolah berlomba memberikan pelayanan terbaik bagi warga secara cuma-cuma. Untuk anak-anak, jejaring perpustakaan ini rutin mengadakan pembacaan cerita (story telling), program liburan sekolah, klub mengerjakan tugas sekolah, lomba menulis, dan program menarik lainnya. Sedangkan untuk dewasa, macam ragam program dirancang bervariasi, dari mulai klub membaca, kelas melukis, merajut, klub percakapan bahasa Inggris bagi penutur asing (conversation circle), pelajaran bahasa lain, pelatihan komputer, internet, IELTS, dan lain sebagainya.

Selain paling indah dibandingkan perpustakaan kecamatan lainnya di Kota Monash, hanya Wheelers Hills terdapat Monash Gallery of Art. Sekitar bulan Februari lalu, produk budaya dan seni Indonesia juga turut dipamerkan di sini. Kalau Wheelers Hills boleh berbangga karena punya Monash Gallery of Art, Clayton Community Center tidak mau kalah dengan fasilitasnya sangat lengkap disamping perpustakaan, seperti, pusat kesehatan ibu dan anak (maternity and child health), gymnasium, kolam renang, taman kanak-kanak (pre-school), penitipan anak (child care), theatter, klub lansia (senior club) juga klub berbasis hobi dan etnis.

Lebih jauh lagi, kekhawatiranku Mia dan Athar akan “putus sekolah” sementara menemaniku sekolah sirna begitu mengetahui program-program di Community Centre ini. Sekitar bulan November 2013, Mia sangat rajin berkeliling dari satu perpustakaan ke perpustakan untuk mengikuti kelas percakapan conversation circle. Ia ingin bahasa Inggrisnya semakin lancar sebelum mengikuti ujian instruktur untuk pijat bayi di Royal Melbourne Hospital. Pernah juga, Mia dan teman-temannya pernah mengikuti seminar tentang zat adiktif pada makanan anak di Wheelers Hills library. Sedangkan sebelum masuk kinder, Athar rutin kami ajak ke program story telling di setiap perpustakaan di Kota Monash. Ia paling senang jika diajak ke Oakleigh library karena story teller-nya yang ekspresif dan energik. Elleen namanya. Usut punya usut, ternyata Neng Elleen ini pernah menjuarai lomba story telling dan menyabet gelar story teller terbaik di Victoria. Menariknya, semua program-program itu gratis alias tanpa biaya sama sekali! Bermodal dengkul dan mengantongi niat, kita bisa menikmati semua fasilitas dari negara ini.

Tidak hanya programnya yang gratis, para relawan juga diundang untuk mengisi program-program di perpustakaan tanpa bayaran, seperti pemandu conversation cirlce biasanya seorang mahasiswa, juga pemandu kelas merajut biasanya berasal dari klub merajut di kecamatan setempat, dan demikian seterusnya. Sehingga label community center betul-betul berbasis komunitas, dan negara cukup menfasilitasinya.

Ringkas kata, setiap warga Kota Monash difasilitasi untuk belajar dan mengembangkan keterampilannya masing-masing melalui perpustakaan yang tersebar di setiap suburb. Mungkin inilah mengapa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Australia, menurut United Nations Development Programme (UNDP), menduduki peringkat ke-2 dunia, sementara Indonesia masih terus berjuang agar keluar dari peringkat ke-121.

Aku heran melihat Australia ini. Bukankah orang bilang leluhur negeri ini adalah para bandit? Namun mengapa kini bisa menduduki peringkat ke-2 dalam indeks pembangunan manusia dunia. Sementara bangsa kita senang sekali mengulang-ulang sejarah adiluhung para leluhur, tapi jauh panggang dari api.

Mungkin salah satu sebabnya karena pembangunan Community Center di Victoria ini yang masif, sistematis, dan terstruktur dalam memfasilitasi dan membuka berbagai ragam kesempatan bagi setiap warga negara agar menjadi pembelajar sejati sesuai minat hanya dengan bermodal niat. Dalam konteks Indonesia, penjaminan pasal 31 UUD 1945 bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan mungkin salah satunya dapat diterjemahkan ke dalam bentuk community center seperti di Victoria ini. Pemerintah dan pemerintah daerah yang diwajibkan memprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD, aku yakin, bukan tidak mungkin membangun pusat-pusat komunitas yang jauh lebih baik dari yang dimiliki Kota Monash.

AM Sidqi-OZIP
AM Sidqi.

Hanya masalahnya adalah keberpihakan. Tidak perlu pening memikirkan siapa yang akan menjalankan community center jika dibangun di Tanah Air. Jiwa kerelawanan (volunteerism) yang ditunjukan oleh para relawan di Rumah Dunia dan community center di Victoria menjadi bukti bahwa masyarakat sudah mandiri dan kreatif untuk meminyaki program, tinggal pemerintah berpihak dan bersungguh-sungguh memfasilitasinya.

Aku percaya, orang Indonesia itu bukan hanya kreatif, tetapi super kreatif. Aku membayangkan, jika pusat komunitas seperti Wheelers Hills dibangun dengan fasilitas lengkap oleh masing-masing pemerintah daerah di seantero kepulauan Nusantara, maka kita akan menyaksikan kelahiran penulis seimajinatif Rowling dari Samarinda, pujangga sekaliber Tagore dari Pekanbaru, ilmuwan secerdas Habibie dari Sigli, pejuang kemanusiaan setulus Niteangel dari Poso, hukum dan politik kita disucikan oleh negarawan-negarawan sekelas Gandhi, Mandela, dan Mohammad Hatta dari tiap-tiap pulau Indonesia. Setiap warga negara tanpa terkecuali bisa merayakan apapun yang diinginkannya karena kesempatan yang dibuka seluas-luasnya oleh negara.

O, alangkah indahnya!

 

Foto: AM. Sidqi