Film Indonesia di Mata Australia

Pertunjukan film tanah air punya tempat tersendiri bagi setiap penggemarnya, termasuk penonton di Australia. Tak heran jika acara festival film di Indonesia menjadi akrab bagi penikmat film Indonesia di Australia. Di tahun 2019 ini, Indonesian Film Festival (IFF) kembali diselenggarakan dan sudah menginjak tahun ke-14 penyelenggaraannya, bertempat di Australian Centre for the Moving Image (ACMI). Menurut Vincent Prasetio, Project Manager IFF, tahun ini IFF ingin lebih bisa memfasilitasi film-film yang memang untuk semua kalangan. Karenanya, film-film Indonesia yang akan diputar saat acara utama lebih bervariasi sehingga penonton memiliki pilihan. Film-film tersebut antara lain Foxtrot Six, Keluarga Cemara, Night Bus, Terbang, Ave Maryam, dan Turah.

Antusiasme pengunjung IFF 13 2018

Menurut Vincent, setiap tahunnya antusiasme penonton selalu meningkat. Meski demikian, pengunjung IFF masih didominasi oleh warga Indonesia. Untuk menggaet lebih banyak warga lokal, ia dan timnya melakukan beberapa strategi, misalnya dengan memberikan rekomendasi untuk menonton film di alam terbuka seperti saat sedang menonton layar tancap. Mengusung tema “Under the Stars”, Vincent dan timnya ingin menyuguhkan salah satu film yang dekat dengan kultur masyarakat Melbourne yang menjadi penggila kopi, yakni Filosopi Kopi 2. Film ini dipilih dengan harapan bisa menjadi salah satu jembatan bagi pengunjung yang berasal dari Australia untuk mengenal kultur kopi khas Nusantara.

Vincent Prasetio

Vincent dan timnya juga berusaha menjangkau berbagai komunitas dan organisasi film yang ada di Melbourne. “Kami banyak dibantu oleh tim edukasi dari ACMI untuk menghubungi sekolah-sekolah yang memang potensial untuk digandeng sebagai partner,” kata Vincent. Langkah ini memberi kesempatan bagi siswa-siswi Australia yang tengah belajar budaya Indonesia untuk memiliki media lain dalam proses pembelajarannya. Dengan langkah-langkah ini, ia berharap jumlah pengunjung lokal bisa lebih banyak setidaknya naik hingga 45 % dari total penikmat film yang hadir.

 

Sulit menggaet penonton lokal

James Akerman

James Akerman, mahasiswa S1 jurusan Kebudayaan dan Bahasa Indonesia di Monash University, mengatakan bahwa cukup sulit untuk meraih jumlah penonton lokal yang tinggi untuk film-film Indonesia. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, pertama karena film-film Indonesia kebanyakan diputar di acara festival seperti IFF yang hanya terjadi sekali setahun. “Selain itu, film-film yang ditayangkan kadang ada yang berkualitas bagus seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak. Tapi kadang film yang kurang bagus juga ditayangkan, yang penting film itu populer,” tambah James. Alasan terakhir adalah karena film-film yang diputar saat IFF tampaknya memang diperuntukkan bagi penonton Indonesia. “Film-film yang ada tidak terlalu sesuai dengan selera film orang lokal. Hanya sedikit saja yang menarik penonton Australia, misalnya film The Raid yang gayanya mirip dengan film Amerika.”

Kecenderungan ini membuat James berpandangan bahwa ada setidaknya dua jalur dalam produksi dan promosi film Indonesia di Australia. Pertama, membuat film-film yang bergaya Amerika agar dapat menarik penonton lebih luas, atau tetap pada gaya film Indonesia saat ini dan melayani kebutuhan audiens yang kecil tapi loyal.

Selain itu, James yang sering menonton film Indonesia ini juga berpendapat bahwa film-film Indonesia belum konsisten. “Kadang ada yang bagus sekali, ada juga yang buruk,” kata James. “Terlalu sering saya menonton film-film Indonesia yang berisi terlalu banyak klise, akting yang biasa saja, dan jalan cerita yang lemah seperti Apa Ada Dengan Cinta 2, Kartini, dan Tujuh Malaikat,” ujar James. “Namun juga ada film-film Indonesia yang baru muncul yang cerdas, nyata, lucu, dan jujur. Saya baru menonton film Keluarga Cemara di Jakarta pada Januari tahun ini dan kualitas film ini mengejutkan saya. Keluarga Cemara menggambarkan hidup sehari-hari di Indonesia dengan nyata dan cerdas.”

Makna IFF ke-14

Iwan Awaluddin Yusuf

Terlepas dari itu, James mengakui bahwa penyelenggaraan IFF (yang sudah sampai tahun ke-14) merupakan bukti bahwa film-film Indonesia diterima di audiens yang lebih luas di luar Indonesia. Sementara itu, menurut Iwan Awaluddin Yusuf, pakar ilmu komunikasi dan penikmat film yang saat ini sedang menjalani studi doktoral di Monash University, film Indonesia yang sukses diputar di luar negeri karena memang ada peminatnya. Misalnya, diaspora Indonesia di Australia yang tidak bisa menonton film-film populer dalam negeri dan tidak ingin ketinggalan tren film terbaru.

“Untuk mengatakan bahwa film Indonesia diterima di ranah audiens yang lebih luas, kita harus tahu rasio antara penonton lokal dengan penonton Indonesia,” ujarnya. “Namun, yang jelas, dengan adanya IFF yang ke-14, itu menunjukkan bahwa penyelenggara IFF memiliki kepedulian terhadap perkembangan film Indonesia.”

Teks: Pratiwi Utami, Destari P Pertiwi

Foto: Devina K, James A, Vincent P, Iwan AY