Dulce Bellum in Expertis

Judul tulisan ini dalam bahasa Latin punya arti yang sangat dalam: peperangan itu manis hanya bagi mereka yang sama sekali tidak memahaminya. 

Yang mengatakan itu adalah Desiderius Erasmus Roterodamus, seorang filosof dan teolog Katolik Belanda yang meninggal pada tanggal 12 Juli 1536.

Namun tidak banyak yang mampu menghayati apa yang dikemukakan oleh Erasmus itu, seakan peperangan memang suatu bentuk kecanduan yang merasuk jiwa manusia.

Padahal salah seorang tokoh terkemuka Amerika, Benjamin Franklin, yang diakui kepakarannya sebagai negarawan, diplomat, penerbit, filosof politik, dan masih banyak lagi gelar-gelar lain yang berada di belakang namanya di abad ke-18 menyimpulkan: belum pernah ada peperangan yang baik dan perdamaian yang buruk.

Namun sudah sejak sekian puluh tahun belakangan ini Amerika Serikat suka dijuluki sebagai negara/bangsa “yang sudah kecanduan pada peperangan.”

Ini mungkin ada kaitannya dengan peringatan Presiden Amerika Jenderal Purnawirawan Dwight Eisenhower yang pernah, menjelang akhir masa kepresidenannya dalam tahun 1961, mengemukakan agar masyarakat hati-hati terhadap “the military industrial complex”. Kongkalikong antara industri (senjata) dan pihak militer, yang disinyalir memupuk peperangan agar syahwat kedua belah pihak terpenuhi–pihak miiter mendapat kesempatan mempraktikkan ilmu peperangannya sementara industri (komersial) memperoleh pemasukan besar karena mendapat pesanan pembuatan senjata dari pihak militer.

Alhasil jauh sebelum abad ke-20 peperangan seakan sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Eropa yang pada halnya mengaku sebagai bangsa yang paling beradab dan etis. Dan “kecanduan” akan peperangan ini mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, terutama dalam bentuk Perang Dunia I, yang juga disebut sebagai “peperangan yang akan mengakhiri segala peperangan di masa depan” karena kedahsyatannya. Ternyata tidak lama sesudah Perang Dunia I selesai, Eropa (lagi-lagi Eropah) terlibat dalam Perang Dunia II. 

Menarik adalah kenyataan bahwa kalangan Nazi Jerman waktu itu, dalam upaya mencari-cari dalih pembenaran untuk melampiaskan syahwat ingin berkuasa di Eropa, merujuk pada ethnic cleansing (mirip genosida alias pemusnahan suatu jenis bangsa) yang telah dilakukan bangsa kulit putih Amerika terhadap pribumi Indian yang merupakan penduduk asli (The First Nation) dari benua Amerika Utara.

Ternyata kalangan garis kanan di Israel apabila mendapat kritikan dari pihak Amerika terhadap keganasan dan kebuasan negara itu terhadap bangsa Palestina, juga suka merujuk pada nasib bangsa pribumj Indian di Amerika (The Lessons of Terror – Caleb Carr hal. 26-7). 

Alhasil itu secara tidak langsung mengingatkan Amerika apa yang pernah diucapkan Yesus Kristus kepada mereka yang pernah menanyakan tentang hukuman rajam atas diri seorang perempuan yang didapati pernah berzinah: Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu. (Yohanes 8:7).  Ayat ini suka dijelaskan sebagai suatu bentuk sindiran kepada atau terhadap seseorang yang melancarkan tudingan ke arah orang lain seolah mereka sendiri tidak pernah melakukan sesuatu dosa.

Makanya dalam hubungannya dengan Israel ini, Amerika hanya bisa terdiam.

Manusia barangkali memang gemar berperang. Bagi seorang prajurit berperang mungkin merupakan kesempatan untuk membuktikan segala keampuhan dari siasat dan kiat militer yang pernah diperolehnya dalam latihan.

Kita teringat akan pemimpin Italia Giusepe Garibaldi, yang dalam rangka cita-citanya untuk mempersatukan Italia di pertengahan abad ke-18 mengumandangkan kepada rakyat bahwa dalam perjuangannya itu, ia hanya menjanjikan kesengsaraan kepada mereka yang bersedia mengikutinya. Ternyata tidak sedikit yang langsung merapat ke pemimpin yang dikenal sebagai “Pedang Italia” itu, dan akhirnya ia berhasil mempersatukan Italia.

Dalam kaitan inilah seorang pengarang mashur dari Inggris Graham Greene, dalam salah satu novelnya mengatakan: 

500 tahun Swiss netral, gemah ripah loh jinawi, kasih sayang dan persaudaraan antara sesama rakyat, demokrasi dan perdamaian, yang dihasilkannya hanyalah jam dinding dengan seekor burung kecil yang keluar masuk dengan kicauan khasnya. Sementara di Italia, selama 30 tahun di bawah kekuasaan keluarga Borgia, bangsa itu terlibat dalam peperangan, terror, pembunuhan dan pertumpahan darah, namun mereka menghasilkan Michelangelo, Leonardo da Vinci (yang diakui dunia kepakaran mereka) dan gerakan Renaissance (gerakan perubahan besar alias kebangkitan kembali setelah abad pertengahan).

Sering dikemukakan bahwa peperangan itu biasanya diumumkan satu negara terhadap negara lain dimana pemimpin dari kedua pihak saling mengenal, untuk kemudian dilancarkan baku-hantamnya melalui prajurit yang saling tidak mengenal satu sama lain.

Pujangga Inggris Alfred Lord Tennyson, dalam salah satu sajaknya mengatakan, antara lain: Bukan urusan mereka (prajurit) untuk menanyakan kenapa diperintahkan agar melakukan ini atau itu, melainkan tugas mereka adalah melaksanakan perintah/suruhan (atasannya) dan gugur (The Charge of The Light Brigade, 1854).

Dan apa yang terjadi di Ukraina nampaknya kembali memberi hikmah pelajaran kepada manusia bahwa tidak selamanya yang besar dan sarat dengan persenjataan itu dapat dengan mudah menaklukkan yang kecil dan lemah.

Tidak mustahil negara-negara kecil yang selama ini merasa dirinya terancam oleh tetangganya yang laksana raksasa, merasa lega karena mengharapkan bahwa para tetangga mereka yang jauh lebih besar itu akan menarik pelajaran dari apa yang dialami Rusia. Bukan saja Rusia mengalami celaan dan cercaan dari berbagai negara, melainkan juga Rusia dipermalukan karena selain ada prajuritnya yang ditawan dan dihukum oleh pengadilan Ukraina, banyak pula tentaranya yang telah tewas dan terluka, begitu pula dengan peralatan perangnya.

Kita teringat akan petuah pemimpin Inggris Sir Winston Churchill yang mengatakan: “Jaw-jaw is better than war-war” alias berunding lebih bagus daripada bertanding/berperang.

Dalam bukunya “The Lessons of Terror” penulis Caleb Carr mengutip Al-Quran ayat ke-190 dalam Surah Al-Baqarah yang diterjemahkannya sebagai berikut:

“Perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi kamu, tetapi jangan memulai (peperangan). Allah tidak menyukai yang melakukan agresi.”

Karenanya umat Islam khususnya punya kewajiban untuk mencela apa yang telah dilakukan Rusia terhadap Ukraina.