Di Antara Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia

Baru saja pada awal Juni lalu, bangsa Indonesia memperingati hari lahir Pancasila, ideologi negara yang sudah disepakati secara bersama, namun terus merangsang perbedaan, bukan dalam pesan dan isinya, melainkan kapan sebenarnya Pancasila lahir atau dilahirkan.

Barangkali kita sudah lupa bahwa pada hakikatnya, hari lahir Pancasila pernah dilarang perayaannya atau peringatannya dalam kurun waktu 1970, meskipun pada waktu itu, Pancasila sudah berbentuk seperti yang sekarang ini:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Menurut sejarawan, pelarangan itu ada sangkut pautnya dengan sila-sila yang aslinya diajukan Bung Karno, khususnya sila kedua dalam Pancasila gagasan presiden pertama Indonesia ini. Untuk diketahui, pada awalnya Bung Karno menawarkan lima sila yang terdiri dari Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Perikemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi penguasa Orde Baru waktu itu, besar kemungkinan yang menjadi masalah adalah pada sila “Internasionalisme” gagasan Bung Karno yang dianggap berbau komunis alias Marxisme.

Namun kemudian, Pancasila dalam bentuknya yang kita kenal selama ini, yaitu hasil garapan bersama antara Bung Karno, Mohd. Yamin dan Soepomo, sudah kukuh laksana “bintang utara’ (meminjam istilah pujangga Inggris, William Shakespeare, dalam karyanya Julius Caesar).

Sebenarnya dalam hidup dan sejarah manusia, antara yang boleh dan tidak boleh itu berlaku silih berganti. Misal saja di Inggris dan Amerika (sebelum menjadi sebuah republik) pada abad ke-17, Hari Natal pernah dilarang perayaannya. Di Inggris sendiri, yang berkuasa waktu itu adalah Oliver Cromwell yang menghapus tatanan kerajaan. Dalam tahun 1653, ia memulai pemangkuan jabatan sebagai Tuan Pelindung Inggris (Lord Protector) selama lima tahun. Dia juga adalah seorang Puritan, yakni penganut aliran dalam Gereja Protestan/Anglican yang ingin menyederhanakan tata cara kebaktian gereja, agar segala sisa-sisa pengaruh aliran Gereja Katolik terkikis. Seseorang akan dianggap Puritan apabila meyakini bahwa adalah penting untuk bekerja keras dan mengendalikan segala hawa nafsu serta mencari kenikmatan dalam hidup adalah tidak perlu. Mungkin kalau sekarang seorang Muslim yang fanatik seperti itu akan dicap sebagai Wahabi atau radikal. Allahu a’lam.

Meski akhirnya tatanan kerajaan di Inggris pulih kembali, namun Oliver Cromwell dianggap pernah menyampaikan pidato yang sangat menggugah, dihadapan para wakil rakyat alias anggota parlemen di Westminster, ketika ia sebagai penguasa praktis “membubarkan” parlemen waktu itu yang para anggotanya ia anggap bejat.

Ketika akan “mengusir” para wakil rakyat dari parlemen, Cromwell antara lain mengatakan:

“Sudah waktunya aku mengakhiri keberadaan kalian dalam tempat ini yang sudah kalian cemari dengan kemungkaran dan segala perbuatan keji; kalian adalah musuh dari semua pemerintahan yang berbudi; kalian adalah gerombolan serdadu sewaan yang tidak segan-segan menjual negeri kalian demi uang, dan seperti Yudas, kalian akan mengkhianati Tuhan demi beberapa keping uang; apakah di antara kalian ini masih ada yang berbudi pekerti? Apakah ada satu kejahatan yang tidak pernah kalian lakukan? Jangan bilang kalian beragama, agama kalian sama seperti agama kudaku.
Tuhan kalian adalah emas; siapa di antara kalian yang tidak pernah menjual hati nurani kalian demi rasuah? Apakah ada di antara kalian yang pernah memikirkan kesejahteraan negara ini? Kalian adalah pelacur yang menjijikkan yang telah mencemari tempat suci ini, dan menjadikan rumah Tuhan sebagai sarang penyamun, karena prinsip kotor tidak bermoral dan perbuatan jahat kalian. Bagi bangsa ini kalian sudah busuk, padahal kalian ditempatkan di sini untuk menangani masalah-masalah rakyat, namun kalianlah justru yang kini menjadi masalah terbesar bagi rakyat. Oleh sebab itulah demi nusa dan bangsa, aku harus membersihkan tempat ini, dan berkat rahmat Tuhan aku dapat melaksanakannya. Oleh sebab itu aku perintahkan kalian agar segera angkat kaki, enyah dan hambus dari tempat ini; hambuslah! Secepatnya! Wahai budak harta, enyahlah!”

Begitu salah satu pidato yang masuk dalam kelompok “Speeches that Changed the World”. Namun, apa boleh buat, tidak ada satu pun dari sekian banyak pidato Bung Karno—yang disampaikan biasanya dengan berapi-api dan paling tidak untuk rakyat Indonesia waktu itu dianggap memukau—yang masuk dalam kumpulan pidato-pidato tersebut. Pidato-pidato Bung Karno waktu itu biasanya disusun oleh sejumlah orang, termasuk dua perempuan warganegara asing yang menikah dengan warga Indonesia dan kemudian menjadi warganegara Indonesia. Mereka adalah Carmel Budiardjo, perempuan keturunan Yahudi asal Inggris, Molly Warner Bondan, perempuan asal Australia, Ruslan Abdul Gani, Dr. Subandrio (Menlu) dan Njoto, pentolan PKI yang suka menuding Muslim keturunan Arab sebagai “kadroen” (kadal gurun), istilah yang kini kembali dipopulerkan oleh segelintir kalangan untuk mencela para keturunan Arab yang sudah turun temurun berada dan mengabdi di Indonesia. Orang Inggris mengatakan: Imitation is the sincerest form of flattery – meniru/menjiplak adalah pujian yang paling ikhlas. Alhasil, meski pernah dianggap pengkhianat, namun ternyata masih ada yang memuji Njoto secara ikhlas sampai detik ini.s

Meski pidato-pidato Bung Karno tidak dicantumkan dalam kumpulan “Speeches that Changed the World”, pidato-pidato sejumlah tokoh Asia lainnya, seperti Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Indira Gandhi dari India, Kaisar Hirohito dari Jepang, Nelson Mandela dari Afrika, turut disertakan.

Banyak kalangan yang mengakui kehebatan pemimpin Inggris dalam Perang Dunia II, Sir Winston Churchill, dalam menyemangati rakyatnya dan sekutu yang waktu itu melawan Jerman Nazi di bawah Adolf Hitler. Churchill yang dalam unjuk rasa di Inggris mengusung tema “Black Lives Matter” awal Juni lalu diejek dan dicela oleh para demonstran sebagai “rasis”—negaranya yaitu Kerajaan Inggris, waktu itu menghadapi mara bahaya dahsyat dari Jerman—menggelorakan tekad perjuangan bangsanya, antara lain dengan pidato tanggal 12 Mei 1940, berbunyi:

“Yang dapat aku tawarkan hanyalah cucuran darah, kerja keras, derai air mata, dan keringat.”

Rasanya, bagian kalimat dari pidatonya itu dipinjamnya dari Garibaldi, tokoh yang ketika hendak mengajak rakyat untuk mempersatukan Italia, menjanjikan hanya penderitaan, seperti yang kemudian diolah kembali oleh Churchill.

Ketika angkatan udara kerajaan Inggris berhasil melawan serbuan udara Nazi, pada tanggal 20 Agustus 1940, Churchill mengatakan:

“Belum pernah dalam daya upaya manusia dalam konflik, begitu banyak yang berhutang budi pada yang begitu sedikit.”

Sejak itu, istilah “yang sedikit” (The Few) melekat sebagai suatu pujian pada angkatan udara Inggris. Sementara yang dimaksud dengan “begitu banyak” adalah rakyat Inggris secara keseluruhannya.

Sir Winston Churchill ketika menjadi Perdana Menteri Inggris dalam Perang Dunia II, berpenampilan lebih seperti pelawak daripada pejuang. Beda dengan Bung Karno yang pada zaman jaya-jayanya, selalu tampil begitu gagah. Namun, dalam berpidato, Churchill juga sasngat meyakinkan dan mengesankan, seperti nukilan berikut dari wejangan yang pernah disampaikannya:

“Kalian bertanya, apa tujuan kita? Ini dapat kujawab dalam sepatah kata. Tujuan kita adalah kemenangan! Kemenangan seberapa mahal pun harganya! Kemenangan meski menghadapi segala macam teror! Kemenangan, betapa berat dan jauh pun perjalanan yang harus ditempuh, karena tanpa kemenangan tidak ada kelangsungan hidup.”

Salah satu cuplikan pidato lain yang ikut dicantumkan dalam buku “Speeches that Changed the World” adalah yang disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dalam upacara pelantikannya tanggal 20 Januari 1961. Aslinya pidato tersebut disusun oleh pembantu dan sahabat akrabnya, Ted Sorensen, yang kemudian disempurnakan oleh Kennedy:

“Jangan tanya apa yang dapat dilakukan negeri ini untuk kalian, tanyalah apa yang dapat kalian lakukan demi negeri ini.” Allahu a’lam.

Penulis: Nuim Kaiyath