Seorang kenalan mengisahkan keluhan mertua perempuannya yang sempat menumpang di bilik kelas satu dalam penerbangan internasional ke luar negeri. Ketika tiba di tempat tujuan, menantunya menanyakan pengalaman penerbangannya. Mendengar pertanyaan ini, sang mertua pun menjawab “Makanannya tidak enak!”
Kerap sering terdengar cemoohan bahwa hidangan yang tidak enak sering diibaratkan seperti makanan yang diberikan kepada penumpang dalam penerbangan (sangat boleh jadi mereka yang “terkurung” di kelas ekonomi).
Salah satu cemoohan itu termasuk sebutan bahwa naik pesawat terbang adalah kesempatan terbaik untuk ber-diet.
Anggapannya adalah bahwa penumpang tidak akan menyukai makanan yang disajikan di maskapai karena dianggap tidak enak. Menariknya, ada pula riset ilmiah yang menjelaskan mengapa makanan yang dihidangkan dalam penerbangan dianggap kurang lezat.
Dalam bukunya yang berjudul “The Great Food Almanac (1994)” penulis Irena Chalmers menulis, “Salah satu alasan kenapa begitu banyak orang yang menganggap bahwa makanan yang dihidangkan dalam penerbangan tawar hambar, adalah karena seseorang yang berada dalam pesawat yang sedang terbang ‘nun jauh di awang-awang’ terganggu rasa atau indera penciumannya gara-gara tekanan udara akibat ketinggian (altitude) dan kurangnya kelembaban dalam pesawat. Ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan daya cium seorang penumpang dan daya rasanya.”
Setelah membaca analisa Irena Chalmers ini, seorang penumpang pesawat di Amerika mencoba membuktikan penelitian ini dengan membawa sendiri makanan dari rumah ketika kali berikutnya ia akan terbang. Namun, makanan yang dibekal ternyata tetap terasa enak meskipun dirinya terbang tinggi.
Baru-baru ini penulis juga berkesempatan menaiki pesawat Garuda Indonesia dalam penerbangan dua arah Melbourne-Jakarta. Setiap naik pesawat Garuda Indonesia penulis selalu mengharapkan agar mendapatkan tempat duduk di bagian depan (kelas ekonomi). Hal ini karena harapan hati yang ingin segera mencoba hidangan Indonesia yang disajikan di pesawat.
Dalam penerbangan terakhir penulis dari Melbourne-Jakarta, penulis berhasil mendapatkan hidangan makanan Indonesia. Namun, di tengah sempitnya tempat duduk pesawat, penulis melihat bahwa sajian yang diberikan tidak termasuk sambal.
“Kok tidak ada sambalnya, dik?” tanya sang penulis.
“Lah, Bapak tidak minta.” Jawab sang pramugari.
“Oh, bukankah biasanya sambal akan dihidangkan bersama dengan makanan Indonesia?”
“Sekarang tidak lagi, Pak. Karena banyak juga yang tidak dimakan, jadi mubazir.”
Dalam diri penulis langsung terlintas peringatan bahwa “Orang-orang mubazir adalah saudara setan.” (QS 17:27).
Memang Garuda Indonesia sempat menderita kerugian besar. Namun, kini reputasi dan performa maskapai nasional ini sudah mulai membaik.
“Dalam restatement laporan keuangan PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada 2018, perseroan mencatat kerugian sebesar USD 175,028 juta atau sekitar Rp 2,4 triliun. Perolehan itu kemudian diperbaiki pada Kuartal I 2019, dimana Garuda berhasil mencatatkan laba sekitar USD 19,7 juta. Ke depan, perusahaan maskapai ini menyatakan bakal menghemat biaya pengeluaran dengan menciptakan cost efficiency agar tidak kembali merugi.”
Memang tidak dirinci apakah perbaikan dalam neraca keuangan Garuda Indonesia itu antara lain adalah karena penghematan di bidang sambal. Yang penting jangan lupa minta sambal atau bawa sambal sendiri, kalau naik pesawat Garuda Indonesia.
Apa pun yang dapat dikatakan mengenai penerbangan dengan Garuda Indonesia, satu hal tetap menonjol, paling tidak bagi penulis: Dalam mendaratkan pesawatnya para penerbang Garuda Indonesia memang sungguh ahli. Nyaris tidak terasa bahwa roda-roda burung besi yang begitu besar dan berat itu telah tercecah di landasan pacu.
Sebagaimana diketahui terminal tiga di Bandara Internasional Soekarno-Hatta adalah suatu kebanggaan masyarakat Jakarta. Tentu keindahan terminal ini sangat pantas dibanggakan. Namun, jarak tempuh dari perhentian pesawat menuju ke tempat pengambilan bagasi terlampau jauh.
Mungkin hal ini terdengar tidak penting. Namun, bagi penulis itu adalah suatu hikmah. Sebab, belakangan ini para ahli kesehatan di Australia menyimpulkan bahwa terlalu banyak duduk dapat menimbulkan bahaya yang sama seperti merokok. Jika Anda telah duduk selama kurang lebih 6 jam (5 jam 59-menit menurut penerbang yang membawa saya kembali ke Melbourne dari Jakarta) dalam penerbangan Jakarta-Melbourne atau sebaliknya, agaknya memang perlu berjalan cukup jauh guna menggiatkan kembali otot-otot yang telah “diistirahatkan” selama penerbangan.
Penemuan ini dapat diumpamakan dan dibandingkan dengan pengalaman Anda jika Anda berencana menaiki pesawat dari terminal 3. Apabila harus menuju ke pintu (gate) 2 atau 1, bersiaplah untuk mengayunkan tangan dan kaki Anda, karena letaknya memang cukup jauh. Meskipun demikian, di sepanjang perjalanan menuju ke pintu 1 atau 2 banyak cafe/restoran yang menawarkan berbagai jenis makanan dan minuman yang lezat dan segar.
Ada satu hal yang turut perlu diperhatikan Garuda Indonesia: layanan informasi penerbangan yang dapat dipantau penumpang yang tertarik akan hal-hal seperti altitude pesawat, jalur yang ditempuh, kecepatan terbang sang burung besi dan lain-lain sejenisnya.
Ketika berada di atas Australia Tengah, layar informasi di depan tiap penumpang, maupun layar informasi penerbangan yang lebih besar di dinding depan pesawat, yang isinya sama, menunjukkan tempat bertuliskan “Ayers Rock”.
Agar diketahui dalam tahun 1993 nama Ayers Rock dilengkapi dengan nama pribumi Australia hingga menjadi Ayers Rock/Uluru, dan kemudian di awal tahun 2000 diubah lagi menjadi Uluru/Ayers Rock.
Garuda Indonesia menggunakan hanya Ayers Rock (Ayers adalah nama keluarga seorang sosok yang pernah menjadi Menteri Besar Negara Bagian Australia Selatan).
Ini sebenarnya mirip dengan Irian Jaya yang kemudian di zaman kepresidenan Abdurrahman Wahid diubah menjadi Papua dan Papua Barat dan sejak itu tidak pernah lagi terdengar kata Irian di Indonesia.
Tetapi, kabarnya, bukan hanya Garuda Indonesia saja yang masih menggunakan nama Ayers Rock dalam informasi penerbangannya. Maskapai penerbangan lainnya juga dikatakan terus menggunakan nama Ayers Rock dalam deskripsi penerbangannya. Kalau ini benar, apakah memang ada kesepakatan internasional oleh maskapai penerbangan mancanegara untuk tidak menggunakan nama resmi Uluru/Ayers Rock?
Sebenarnya yang disebut “negatif” dalam sesuatu penerbangan bukanlah makanannya. Ketepatan jadwal penerbangan, tidak terjadinya insiden double booking, tidak mabuk (air sick), tidak adanya turbulansi udara, tidak adanya bajakan dan kemampuan pilot mengendarai pesawat juga turut menjadi faktor penting dalam pengalaman terbang.
Ada satu hal yang menimbulkan pertanyaan di hati penulis: mengapa ketika pesawat Garuda Indonesia tengah mendarat selalu diperdengarkan alunan instrumental lagu Jawa populer “Suwe Ora Jamu”?
Menurut berbagai keterangan pantun dalam lagu Jawa itu berakhir bukan dengan kemesraan melainkan kekecewaan.
“Suwe ora jamu, jamu godong telo.
Suwe ora ketemu, ketemu pisan gawe gelo”
Dalam bahasa Indonesia, artinya:
“Lama tidak minum jamu, jamu dari daun pepaya.
Lama kita tidak bertemu, saat bertemu malah membuat kecewa”.
Apa betul, pertemuan membawa kekecewaan?
Dalam karya besarnya Romeo and Juliet, pujangga tenar Inggeris William Shakespeare menulis:
“Parting is such sweet sorrow” – perpisahan adalah kelaraan yang manis (karena kemesraan ketika akan berjumpa lagi). Ini kok setelah lama tidak bertemu, saat bertemu malah membuat kecewa? Sungguh aneh dan menarik!
Wallahuwa’alam