Besok atau Tidak Sama Sekali, Potret Benak sang Proklamator

Besok Atau Tidak Sama Sekali (diterjemahkan Tomorrow or Never dalam bahasa Inggris) adalah sebuah monolog teater yang ditulis, dimainkan, dan disutradarai oleh Wawan Sofwan, seorang penulis, pemain, dan sutradara teater asal Bandung. Lakon ini sudah berkeliling Indonesia sejak 2017. Langkah terakhirnya, sebelum menghadiri Melbourne, adalah di galeri Orbital Dago di Bandung, 10 November 2022. 

Ini merupakan kali pertama Besok Atau Tidak Sama Sekali berada di Australia. Dan adalah kali pertama drama disajikan dengan terjemahan bahasa Inggris, melalui subtitles yang diproyeksikan atas layar.

Produksi menerima dukungan dari Indonesian Diaspora Network (IDN) selama pertunjukkannya di Melbourne. Selain itu, IDN mempersembahkan sebuah pameran di La Mama HQ, yang mempelajari sejarah hubungan Indonesia-Australia melalui beberapa poster. Penonton bisa mengamati dan membaca poster sebelum dan setelah pementasan monolog.

Dalam monolog tersebut, Soekarno mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tiga hari sebelum 17 Agustus, 1945, hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, seraya menunggu kehadiran Hatta. Soekarno juga mengenang tantangan yang dialaminya dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari pendudukan Jepang. Tantangan yang dialami oleh Soekarno termasuk penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok oleh para pemuda, perdebatan antara Soekarno dan revolusioner lain termasuk Sjahrir dan Soekarni tentang kapan dan bagaimana mereka bisa memerdekakan Indonesia dari tangan Jepang. 

Figur Soekarno yang digambar monolog sangat berbeda daripada sosok yang dikenal kerumunan umum, yaitu Soekarno yang flamboyan dan keras. Pak Wawan berbicara dengan tenang, nyaris sunyi. Ia adalah seperti sebuah “pusat ratusan topan”.  Demikian mengejutkan setiap kali bapak mengamuk atau mengangkat suara, yang jarang terjadi. Wawan Sofwan sukses menyoroti sisi-sisi beragam yang menyelengkapi persona Bung Karno. 

“Kalau flamboyan, itu, kan, muncul pasca sudah jadi presiden, kan? Sebetulnya, ya, ada mungkin. Sampai kemerdekaan itu, dia lebih fokus bagaimana memerdekakan bangsa, kan?” jelas Pak Wawan. 

Walaupun Soekarno adalah figur terkemuka dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, monolog ini juga memperkenalkan Australia dan Indonesia kepada tokoh-tokoh yang sangat berperan, tapi tidak terlalu terkenal, dalam perjuangan kemerdekaan. Sjahrir, Soekarni, Soebardjo, dan Hatta pun, adalah nama-nama yang tak terkenal sebesar Soekarno, tapi kontribusi dan pengaruh mereka kepada pembangunan bangsa sekarang diingatkan oleh Besok atau Tidak Sama Sekali

Demikianlah, mahasiswa sejarah Indonesia, dan rakyat Indonesia, bermanfaat dari monolog Pak Wawan. 

Selain itu, penonton diajak berkenalan dengan Bung Karno secara intim. Lokasi drama, La Mama HQ, adalah sebuah ruang kecil dan hanya menyediakan 34 kursi. Desain set Besok Atau Tidak Sama Sekali pula sederhana, merupakan satu kursi dan meja yang dilatarbelakangi layar kain putih. 

Pak Wawan mengatakan bahwa “Saya anggap bahwa penonton itu adalah tamu saya, tamu saya yang masuk ke rumah saya.”

Akhiran monolog diikuti istirahat 10 menit, di mana penonton menikmati gorengan Indonesia termasuk martabak asin, pastel, dan tahu, sebelum kembali ke ruang untuk menonton film pendek Indonesia Calling (1945) oleh Joris Ivens, seorang sutradara Belanda. Film ini bercerita mengenai solidaritas anggota Australian Maritime Labour Union dan migran Indonesia di Australia yang bersama memboikot kapal Belanda sebagai dukungan untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Setelahnya ada Q&A session dengan Wawan, ditermani dengan Bela Kusumah dan Iwan Wibisono selaku dua anggota IDN sebagai penutup malam. 

Besok Atau Tidak Sama Sekali telah dipentaskan di La Mama HQ, 205 Faraday Street, Carlton dari 19 hingga 21 November, 2022. 

Teks: Victoria Winata 

Foto: Sandra Fiona Long