Seaspiracy – Lautan dan Manusia ‘Terjaring’ Konspirasi

Bertepatan dengan Hari Nelayan Nasional pada 6 April 2021, sebuah film dokumenter yang dirilis oleh Netflix berjudul Seaspiracy kini menjadi viral diperbincangkan. 

Film ini menguak tentang bahaya dan kerugian yang ditimbulkan manusia terhadap spesies dan biota laut serta kasus korupsi global yang menggegerkan dunia. Film dokumenter terpopuler yang disutradarai oleh Ali Tabrizi ini mengurai konsekuensi yang kompleks dari penangkapan ikan komersial. Film yang provokatif ini membuka mata kita tentang akibat dari eksploitasi alam dan etika dalam mengkonsumsi sumber daya laut yakni ikan. Berikut ulasan poin-poin penting dari film ini.

Pencemaran laut oleh plastik akibat perikanan komersial

Pencemaran laut sebagian besar berpusat pada limbah konsumen, khususnya sedotan plastik. Tapi, sedotan menyumbang kurang dari 1 persen dari semua plastik yang masuk ke laut. 

Dalam Seaspiracy, perhatian teralihkan ke satu sumber plastik terbesar di lautan: peralatan memancing yang dibuang. Jaring ikan saja terdiri dari 46 persen dari sampah Pasifik yang besar. Tabrizi mencatat bahwa “penangkapan ikan menggunakan tali pancing cukup untuk mengelilingi seluruh planet 500 kali setiap hari,” salah satu dari banyak statistik mengejutkan yang dikutip dalam film tersebut.

Industri perikanan merugikan manusia

Industri perikanan menimbulkan bahaya tidak hanya bagi hewan dan lingkungan tetapi juga bagi manusia, seperti yang didokumentasikan Seaspiracy. Pekerja perikanan menghadapi kondisi yang berbahaya, dimana sekitar 24.000 orang meninggal karena pekerjaannya setiap tahun. Salah satu adegan yang paling mengejutkan yakni Tabrizi mewawancarai “budak udang” – orang yang dipaksa bekerja di kapal penangkap ikan ilegal selama bertahun-tahun dan diancam akan dibunuh jika mencoba melarikan diri. 

Meskipun para pekerja paksa yang ditampilkan dalam film berbicara secara anonim, laporan investigasi tahun 2014 dari The Guardian menemukan bahwa pengecer besar di AS dan Inggris menjual udang yang berasal dari operasi penangkapan ikan ilegal yang diketahui memperbudak dan bahkan membunuh pekerja. Hal lain yang meresahkan yaitu operasi penangkapan ikan yang berlebihan akan menghabiskan isi lautan. Persaingan memperebutkan ikan yang semakin sedikit mengakibatkan sengketa wilayah yang sengit antara kapal-kapal nelayan.

Penangkapan komersial = membunuh biota laut dengan skala besar

Setiap tahun, industri penangkapan ikan membunuh lebih dari 300.000 paus dan lumba-lumba dalam proses mencoba menangkap spesies lain. Saat nelayan membuang tangkapan yang tidak disengaja ini kembali ke laut, hewan tersebut seringkali sudah mati atau sekarat. “Ancaman terbesar bagi paus dan lumba-lumba adalah penangkapan ikan komersial,” ungkap Kapten Peter Hammerstedt dari Sea Shepherd Conservation Society

Kapal penangkap ikan komersial juga membunuh sekitar 50 juta hiu per tahun. Sebagai predator puncak, hiu sangat penting bagi ekosistem laut, dan kehancurannya akan berdampak pada seluruh rantai makanan. Penyu juga menjadi korban dengan perkiraan 250.000 penyu yang terbunuh tiap tahunnya.

Tidak hanya sekedar label berkelanjutan / sustainable

Sebagai konsumen yang bijak, kita harus memperhatikan dalam membeli makanan laut yang diberi label berkelanjutan atau ”ethical”. Sayangnya, label itu saja tidak cukup menjamin produk tersebut ditangkap secara etis. Label “Dolphin Safe” dari Earth Island Institute, yang sering ditemukan pada kaleng tuna misalnya, tidak dapat menjamin bahwa tidak ada lumba-lumba yang terbunuh dalam proses menangkap tuna. 

Peternakan ikan atau akuakultur diklaim lebih berkelanjutan daripada penangkapan ikan liar. Tetapi, ikan yang dibudidayakan dengan diberi makan tepung ikan juga membutuhkan produksi ikan liar dalam jumlah besar, yang berarti budidaya ikan hanyalah penangkapan ikan liar yang terselubung, ungkap Tabrizi.

Perlukah kita makan ikan?

Ikan memang kaya akan gizi karena asam lemak omega-3, tetapi ikan sebenarnya tidak memproduksi omega-3; mereka mendapatkannya dari memakan ganggang. Omega-3 tidak hanya ditemukan pada ganggang tetapi juga pada makanan nabati lainnya termasuk kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran, dan buah-buahan yang tentunya bebas dari logam berat dan neurotoksik yang ditemukan pada kebanyakan ikan. 

Untuk itu, salah satu hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk lingkungan adalah dengan berhenti mengonsumsi produk hewani, termasuk ikan. Mulailah mencari alternatif dengan mengkonsumsi makanan berbahan baku nabati. Itulah upaya kita agar mengurangi dampak pencemaran lingkungan laut akibat industri perikanan komersial yang sangat masif dan cepat.  

Teks: Evelynd 

Foto: Netflix