Film “Little Women” – Anak Perempuan Punya Pilihan

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, 22,82% atau 1 dari 6 anak perempuan di Indonesia menjalani perkawinan sebelum usia 18 tahun. Angka tersebut terus meningkat seiring terjadinya pengabaian hak-hak anak perempuan lainnya, seperti hak memperoleh pendidikan, hak atas kesehatan diri, hak dilindungi dari eksploitasi, hak tidak dipisahkan dari orangtua dan yang paling penting hak hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan. Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli, OZIP mereview film bertema keluarga, Little Women, yang mengangkat kisah anak perempuan dengan pilihan hidupnya. 

Little Women bercerita tentang kehidupan empat orang kakak-beradik dan pilihan jalan hidupnya masing-masing. Mereka antara lain Jo March (Saoirse Ronan) yang rela berkorban, feminis, ambisius dan bercita-cita menjadi penulis; Meg March (Emma Watson), anak sulung yang menyukai seni peran, setia dan berusaha keras menjaga keutuhan keluarganya; Amy (Florence Pugh) seorang pelukis dengan watak yang tegas dan kompetitif; dan Beth (Eliza Scanlen), anak bungsu yang mencintai musik, pemalu dan berhati lembut. Mereka hidup di sebuah rumah sederhana bersama sang ibu, Marmee (Laura Dern), pekerja sosial yang sangat sabar, sedangkan sang ayah tengah pergi untuk berperang. 

Seiring dengan beranjak dewasanya “Little Women” (julukan dari sang ayah untuk keempat putrinya), mereka pun mulai memilih jalan hidupnya masing-masing. Meg menikah, memiliki 2 orang anak dan hidup sederhana; Jo pergi ke New York untuk mewujudkan impiannya menjadi penulis. Amy ke Paris bersama Aunt March (Meryl Streep) untuk belajar melukis. Sedangkan, Beth tetap di Massachusetts karena harus berjuang melawan penyakit, namun tetap bisa belajar musik dan memainkan piano. Kisah keluarga ini dituliskan menjadi sebuah novel oleh Jo, yang ternyata digemari banyak pembaca.

Dari perbedaan karakteristik dan sifat yang dimiliki masing-masing anak perempuan ini, terlihat bahwa mereka tumbuh besar dengan dukungan penuh dari keluarga. Mereka diberi kebebasan untuk mengeksplorasi bakat dan kemampuan diri tanpa adanya paksaan dari orangtua ataupun lingkungan. Meskipun ada ketidakcocokan pola pikir dengan bibinya, Aunt March yang lebih kaya dan berkelas, Little Women tetap memilih kesederhanan dan menjaga keutuhan kasih sayang dalam keluarganya. Keempat saudara ini hidup dengan penuh sukacita meskipun terkadang ada konflik diantara mereka. 

Tak disangka, setelah Aunt March wafat, seluruh hartanya diwariskan untuk Little Women. Jo March yang sangat menjunjung tinggi pentingnya pendidikan, membuka sebuah sekolah untuk anak-anak. Tokoh protagonis yang dimainkan oleh Jo March ini memiliki sifat yang berani dan pantang menyerah. Ia berusaha keras mencari uang demi membantu keluarganya untuk membiayai adiknya yang sakit. Sebagai penulis, ia juga selalu memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pengakuan atas karyanya, menerima imbalan yang layak atas hasil kerjanya, dan bangkit dari keterpurukan sosial. Meski film ini berlatar abad ke-18, isu-isu yang diangkat masih relevan dengan situasi zaman sekarang. Kegigihan Jo yang ingin hidup sebagai wanita mandiri, sukses dengan usaha sendiri dan tanpa adanya tekanan sosial untuk menikah, masih banyak dirasakan oleh banyak anak perempuan hingga detik ini. Jo pun membuktikan bahwa sebagai anak perempuan, ia tetap bisa mengejar mimpinya dan memiliki masa depan yang bahagia atas pilihannya sendiri. Begitulah pesan moral dan cerita yang kuat dari film Little Women, hasil adaptasi novel karya Louisa May Alcott yang disutradarai oleh Greta Gerwig ini.

Teks: Evelynd

Foto: Berbagai sumber