Kolom Agama Dalam KTP

Nuim Khaiyath-OZIP
Nuim Khaiyath.

Indonesia bukanlah satu-satunya negara di dunia yang mewajibkan setiap penduduknya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang harus menjadi pendamping setia, siang dan malam, alias kapan saja, dimana saja. Bagi banyak orang di Indonesia memang payah memahami atau memaklumi bagaimana di Australia sama sekali tidak ada keharusan didampingi oleh KTP, karena di benua ini memang tidak dikenal KTP.

Bukannya tidak pernah ada pemerintah yang ingin menerapkan undang-undang untuk mewajibkan setiap penduduk Australia memiliki “Kartu Australia” (Australia Card alias KTP Australia). Namun ketika Rancangan Undang-Undang mengenai kewajiban memiliki Kartu Australia akan diajukan ke parlemen untuk diperdebatkan, pemerintah yang menyelenggarakan kekuasaan waktu itu (Partai Buruh pimpinan PM Bob Hawke dalam tahun 1980-an), akhirnya membatalkan maksud ini karena tentangan yang gencar sekali dari segala penjuru masyarakat, yang dilancarkan melalui berbagai jalur, seperti radio dan surat kabar (waktu itu belum ada sosmed – facebook, sms, twitter dan sejenisnya). Banyak yang menganggap keharusan memiliki (dan membawa) Kartu Australia kemana-mana merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia mereka.

 

Begitulah dalam demokrasi, suara rakyat dianggap sebagai suara TuhanVox Populei Vox Dei. Dan ibarat nasi yang sudah hampir disuapkan ke dalam mulut, akhirnya diletakkan kembali ke dalam piring alias batal. Sampai sekarang di Australia tidak ada KTP, dan Surat Izin Mengemudi merupakan pengganti KTP, sementara bagi mereka yang tidak punya SIM, berarti tidak punya KTP, namun tidak akan terkena razia.

 

Sebelum kartu kredit menjadi alat pembayaran sehari-hari di Australia, tidak jarang orang membeli sesuatu dengan menggunakan cek. Pernah sekali saya hendak membayar belanjaan dengan cek dan menggunakan surat yang dikirim per pos dari Indonesia dengan nama dan alamat saya di sampulnya sebagai tanda bukti bahwa memang itu cek saya dan saya tinggal di alamat seperti yang tertera di sampul surat. Alhasil, surat dari kerabat di Indonesia menjadi pengganti KTP.

 

Menjelang dan pasca pemilihan presiden RI, persoalan kolom agama dalam KTP menjadi pembicaraan hangat di Indonesia, karena ada yang pro dan ada yang menentangnya. Selama ini Indonesia memang merupakan segelintir dari negara-negara yang masih menyediakan kolom agama dalam KTP. Turki dan Yunani sudah sejak lama menghapusnya, karena menganggap bahwa agama adalah sesuatu yang sangat pribadi.

 

Namun, sebagaimana halnya dengan di Indonesia, pemerintah Turki dan Yunani harus bersitegang urat leher dengan mereka yang mendukung agar kolom agama dipertahankan dalam KTP. Perjuangan paling gigih dilancarkan oleh Gereja Ortodoks Yunani untuk mempertahakan agar tetap ada kolom agama dalam KTP Yunani. Gereja mampu menghimpun 3 juta tanda tangan pendukung kolom agama dalam KTP, namun Presiden Yunani waktu itu menolak untuk menerima petisi tersebut.

 

Akhirnya pemerintah Yunani menghapuskan dari KTP negara tersebut kolom-kolom: Agama, Pekerjaan, Alamat, Nama isteri/suami, Cap sidik jari kelingking, Kewarganegaraan, Warna mata dan rambut. Soal warna mata dan rambut memang sudah lama menjadi perdebatan di banyak negara sebelum akhirnya dihapus dari berbagai kartu tanda jati diri, termasuk paspor.

 

Di Inggris, begitu dikisahkan, pernah seorang perempuan yang hendak membuat paspor ditanya oleh petugas imigrasi: “Warna rambut anda?” yang dijawab oleh sang perempuan “Kapan?” Maklum banyak perempuan yang suka mencat rambut mereka dengan warna berbeda-beda dari waktu ke waktu, sementara warna mata juga sekarang bisa direkayasa dengan lensa kontak.

 

Ternyata banyak rakyat Yunani yang bersikeras agar agamanya tertera dalam KTP miliknya mencoba mengakali dengan menambahkan XO pada ujung tandatangan mereka pada KTP-nya. XO adalah singkatan dari Gereja Ortodoks. Namun pemerintah cukup jeli dan rekayasa ini dilarang. Bagi yang bersikeras agar agamanya tetap diketahui orang lain kemudian memakai kalung salib.

 

Sekiranya di Indonesia memang sampai tidak lagi ada kolom agama, maka mereka yang beragamna Kristen/Katolik barangkali dapat meniru kiat yang diterapkan banyak warga Yunani – memakai kalung salib. Lalu bagaimana dengan mereka yang beragama Islam, Hindu, Budda dan Kong Hu Cu – yakni agama-agama yang diakui di Indonesia? Mungkin bagi pemeluk agama Islam ketika ditahan polisi atau terkena razia, langsung istighfar – Astaghfirullah! Bagaiamana dengan pemeluk agama Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu? Tidak sedikit mereka yang “berpenampilan” penganut ajaran Kong Hu Cu  adalah pemeluk agama Kristen/Katolik atau bahkan Islam, seperti anggota PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia).

Dalam kesempatan ini saya ingin berbagi pengalaman mengenai bagaimana penguasa di India menentukan agama mayat-mayat gelandangan yang tidak punya KTP atau dokumen lain. Ketika saya merantau ke Bombay -sekarang Mumbai- hampir setiap pagi setelah salat subuh saya jalan-jalan di sekitar tepi pantai. Saya tertarik melihat truk-truk yang saban pagi menyusuri kaki-lima yang berada di daerah pantai dimana banyak orang gelandangan/pengemis (gepeng) biasanya tidur. Setiap pagi niscaya ada yang sudah tidak bernyawa. Saya perhatikan bahwa petugas kotapraja apabila mendapati seorang lelaki yang sudah tidak bernyawa langsung memeriksa kelamin mayat itu. Yang dikhitan/disunat dianggap Muslim dan dimasukkan dalam truk yang kemudian membawa mereka ke masjid untuk dimandikan, disalati lantas dikubur, sementara yang tidak dikhitan dianggap beragama Hindu dan dibawa untuk diserahkan pengurusan mayatnya kepada otorita terkait untuk kemudian diperabukan. Lalu bagaimana menentukan agama mayat perempuan? Yang dikeningnya ada bulatan merah dianggap beragama Hindu, sementara yang tidak ada bulatan merahnya dianggap Muslimah. Jadi biar pun para gelandangan tersebut tidak memiliki KTP dengan kolom agama ternyata pihak berwenang Bombay tidak kehabisan akal untuk menentukan agama seseorang yang sudah meninggal.

Padahal lelaki Yahudi juga diharuskan menjalani pengkhitanan. Menurut ketentuan agama Yahudi seorang anak lelaki yang telah berusia 8 hari wajib dikhitan, bukan oleh dokter atau “dukun sunat” melainkan oleh seorang pendeta/rabbi. Mungkin pihak berwenang terkait di Bombay tidak yakin ada orang Yahudi yang menjadi “gepeng”, meski dahulu masyarakat Yahudi di India cukup lumayan besarnya.

Alkisah, ketika Umat Yahudi sedang mengalami penggasakan oleh Jerman Nazi, seorang bayi lelaki Yahudi di Jerman tidak sempat dikhitan oleh orang tuanya karena mereka terbirit-birit dikejar Gestapo pada hal sang bayi sudah mencapai usia 8 hari. Akhirnya memang ia sama sekali tidak dikhitan sampai dewasa. Ia kemudian pindah ke Israel dan ditugaskan sebagai mata-mata Israel ke Mesir di mana kedoknya kemudian terungkap. Menurut hukum di Mesir waktu itu barangsiapa melakukan kegiatan mata-mata murni karena alasan kesetiaan pada Israel dijatuhi hukuman mati, sedangkan yang melakukannya demi uang dijatuhi hukuman penjara. Mata-mata Yahudi yang tidak dikhitan itu bersikukuh (berbohong) bahwa ia melakukan kegiatan spionase itu demi uang bukan alasan idiologis, dan bahwa ia bukan orang Yahudi. Untuk membuktikan pengakuannya itu kemaluannya diperiksa dan ternyata memang ia tidak dikhitan, karenanya dianggap bukan orang Yahudi. Ia dipenjarakan dan kemudian dipertukarkan dengan petugas Mesir yang meringkuk dalam penjara Israel juga karena kegiatan mata-mata. Selamat dari tiang gantungan Mesir karena tidak sempat dikhitan pada usia 8 hari.

Akhirul kalam, menurut jajak pendapat menjelang pemilu di Negara Bagian Victoria, sekitar 50% responden tidak setuju diajarkannya agama di sekolah-sekolah. Wallahu a’lam.#