A Conversation with Dee Tentang Generasi Muda, Kreativitas, dan Literasi

Pertengahan bulan Juni lalu, kampus Monash University kedatangan tamu istimewa dari tanah air. Dialah Dewi Lestari Simangunsong atau lebih dikenal dengan sapaan Dee Lestari. Hadir sebagai pembicara dalam acara Herb Feith Centre’s Dialogue, novelis yang sudah melahirkan 12 buku ini berdiskusi tentang Creative Ecosystem di Indonesia.

Acara dialog di hari Kamis (13/6) tersebut dilaksanakan di Music Auditorium, Sir Zelman Cowen School of Music, Monash University itu dibuka oleh Professor Jo Lindsay dari School of Social Sciences sekaligus salah satu Herb Feith Centre Advisory Board. Kemudian, acara dilanjutkan dengan bincang-bincang bersama Dee Lestari, dengan moderator Prof. Ariel Heryanto, Direktur Monash Herb Feith Indonesia Engagement Centre (HFIEC).

Dalam diskusi yang berlangsung santai tersebut, Dee berbagi pandangannya mengenai industri kreatif di Indonesia. Tak hanya mengisahkan tentang suka-duka profesi penulis di Indonesia, ia juga bercerita tentang perhatiannya terhadap tingkat kecemasan keagamaan yang saat ini terjadi di Indonesia. Dalam suasana seperti ini, ia sering mendapat masukan ketika ia menulis sesuatu yang sensitif di Indonesia, terutama yang bersentuhan dengan ketuhanan dan praktik beragama. 

Menurutnya, masyarakat Indonesia saat ini memiliki semacam ketakutan untuk menyentuh atau membahas topik-topik sensitif secara terbuka. Padahal, cerita dalam novel Dee hampir selalu mempertanyakan dan mengkritisi sebuah sistem atau tatanan, lalu mencoba mencari alternatifnya. 

Menjadi produk budaya

Menariknya, meski hadir di tengah karakter masyarakat yang demikian, karya-karya Dee diterima dengan sangat baik di kalangan pembaca Indonesia. Saking baiknya penerimaan itu, karya Dee membelah diri menjadi produk-produk budaya populer yang tidak lagi berhenti pada buku bacaan. Ia mencontohkan buku Filosofi Kopi. Buku kumpulan prosa ini terbit sepuluh tahun setelah cerpen Filosofi Kopi ditulis. Buku tersebut lahir ketika budaya ngopi dan kafe di Indonesia sedang naik daun. Perpaduan kopi, kafe, dan buku membuat karya Dee yang satu ini disambut amat baik oleh masyarakat. Di tahun 2015, buku ini kemudian diangkat ke layar perak oleh sutradara Angga Dwimas Sasongko, dan kembali direspons positif oleh pecinta film plus komunitas kopi Indonesia.

“Untuk membuat film itu, kami membangun sebuah kafe ‘palsu’ sebagai lokasi syuting. Setelah film selesai, lokasi tersebut masih berdiri. Saya dan beberapa kawan kemudian berpikir, kayaknya oke juga kalau kita buka bisnis kafe beneran, dengan nama Filosofi Kopi,” terang Dee. Hingga kini, kafe Filosofi Kopi sudah berdiri di tiga kota di Indonesia. Ia kini menjadi brand, bukan hanya karya fiksi seorang penulis.

Karya Dee juga meramaikan geliat industri kreatif dalam cara yang lain: mendorong semangat literasi di kalangan anak muda. “Hasil akhir cerita Aroma Karsa adalah novel yang tebalnya 700 halaman. Saya sempat khawatir apakah buku ini bisa diterima di pasaran, di tengah masyarakat yang semakin ke sini semakin malas membaca tulisan panjang,” kata ibu dua anak ini. Apa yang terjadi selanjutnya ternyata di luar dugaan. Ada banyak pembaca muda yang dengan sangat bersemangat menyampaikan terima kasihnya ke Dee, karena berhasil membuat mereka “membaca buku tebal untuk pertama kali”. Artinya, menurut Dee, generasi muda saat ini menyimpan potensi untuk mencintai literasi dan mendukung ekosistem kreatif. “Mereka hanya perlu diberi konten bacaan yang menarik,” tegas Dee.

Dukungan untuk ekosistem kreatif

Dee juga mengatakan bahwa dukungan lain yang dapat diberikan oleh masyarakat agar ekosistem kreatif dapat bertumbuh di Indonesia adalah dengan menjadi konsumen yang apresiatif dan kritis. “Jangan beli produk bajakan, sebisa mungkin memilih produk lokal, jika menyukai produknya jangan ragu untuk membantu menyebarluaskan, dan berikan masukan yang konstruktif agar para pelaku ekonomi kreatif di negara kita lebih cepat berkembang dan tertantang untuk terus memperbaiki diri,” ujarnya. 

Untuk merangkul sebanyak-banyaknya pendukung literasi dan kerja kreatif, Dee menggunakan platform media sosial Instagram. “Praktik seperti ini tidak wajib, tapi bagaimanapun bisa berkomunikasi dengan pembaca itu sangat penting bagi saya,” katanya.

Acara berdurasi dua jam itu ditutup dengan penampilan Music Storytelling oleh Dee diiringi denting piano oleh suami tercintanya, Reza Gunawan. Konser mini yang penuh keakraban dan terasa personal itu direspon dengan standing ovation dari penonton.

Di kesempatan yang sama, Prof. Ariel Heryanto mengatakan bahwa acara A Conversation with Dewi Lestari kali ini adalah pembuka rangkaian Herb Feith’s Dialogue yang akan dilaksanakan periodik ke depannya. “Dalam dialog ini, kita akan mengundang pembicara dari kalangan manapun, tidak hanya akademisi, untuk berdialog tentang isu-isu terbaru dan menarik. Pelaksanaannya bisa di Melbourne, bisa juga di Indonesia,” katanya.

Teks dan foto: Pratiwi Utami