Kesan pertama mengenai sebuah negeri adalah tempat kedatangan kita. Mungkin bandar udaranya, mungkin pelabuhan lautnya, mungkin pula stasiun kereta api atau busnya.
Jelas, kalau kita ke Jepang dari Australia sekarang ini dengan pesawat udara maka Bandara Narita atau Haneda merupakan perkenalan pertama kita dengan Jepang.
Bisa saja dikatakan bahwa pada hakikatnya Narita/Haneda tidaklah semegah, misalnya Changi Singapura, dalam penampilan. Namun dari segi pelayanan keimigrasian, pabean dan bagasi, Narita, sebagaimana yang kami alami, memang sangat jitu, cepat, mulus dan cergas. Sama sekali tidak bertele-tele.
Pengalaman yang menarik adalah ketika kita kemudian harus ke pusat kota Tokio. Naik apa? Pilihan yang terbaik adalah naik “limousine”.
Mendengar kata “limousine” hati kita berbunga-bunga. Maklum seakan menjadi seseorang yang berkedudukan atau sangat berkemampuan hingga mampu naik limousine. Ternyata limousine yang dimaksud adalah bus. Beli karcis di bandara, bawa bagasi ke luar dan letakkan di halte limousine yang akan kita tumpangi, dan selebihnya serahkan saja kepada para awak/petugas yang akan memuat bagasi kita ke dalam bus, dan kita pun meluncur dengan lajunya menuju pusat kota.
Biasanya, naik limousine dari dan ke bandara, dipercayai lebih praktis ketimbang naik kendaraan lain dan limousine yang akan kita tumpangi biasanya mampu meluncur dengan cepat. Disiplin berlalu lintas memang sangat terasa di negeri “saudara tua” ini. (Saudara tua berasal dari ajaran Hakko u ichi maksudnya Jepang menganggap dirinya sebagai kakak atau pemimpin Asia. Di Indonesia kedatangan bala tentara “saudara tua” dalam tahun 1942 diharapkan sebagai langkah pembebasan Nusantara dari penjajahan Belanda dan menurut orang tua-tua di Medan, waktu itu lagu yang sangat dipopulerkan oleh Jepang antara lain berlirik: Hancurkanlah musuh kita, itu Inggeris dan Amerika…).
Limousine yang melayani angkutan penumpang dan bagasi dari dan ke bandara singgah di sejumlah hotel, selain juga stasiun bis di pusat kota. Sungguh ini merupakan pelayanan yang sangat membantu, apalagi bagi yang baru pertama kali ke Tokio dan tidak mengenal seluk beluknya.
Dan limousine-limousine ini sangat tepat waktu.
Jelas limousine bukanlah satu-satunya sarana angkutan umum yang menghubungkan bandara Narita/Haneda dengan pusat kota Tokio. Masih ada kereta api dan taksi. Tepuk dada tanya selera.
Banyak sekali obyek wisata yang dapat dinikmati di Tokio. Namun sesuai dengan ucapan Joop Ave ketika menjadi Menteri Pariwisata dalam Kabinet Orde Baru Suharto, orang Indonesia umumnya, kata Joop Ave, kurang tertarik dengan pemandangan indah sebuah negeri yang dikunjunginya. “Mereka lebih tertarik untuk shopping alias berbelanja,” katanya ketika berkunjung ke Australia.
Menentukan di mana harus melakukan shopping ketika berada di Tokio tentu banyak sedikitnya bergantung pada ketebalan dompet anda.
Kasat mata, maka yang tampaknya paling banyak pengunjung asingnya, termasuk dari Indonesia, adalah “ASAKUSA”, suatu “pasar” yang sangat bersih dan hanya boleh dilalui oleh pejalan kaki, yang di kiri-kanannya berdiri berbagai kios yang mempragakan beragam dagangan termasuk juga makanan dan minuman.
Cukup mengasyikkan bahwa gerbang masuk pasar “ASAKUSA” berhiaskan lambang-lambang keagamaan Jepang – Pintu Gerbang Kaminarimon – yang menjadi sasaran jepretan kamera hampir setiap pengunjung asing sebelum memulai “ekspedisi” shopping (terutama cindera mata).
Dari pintu gerbang ini pengunjung dapat mencapai Candi Utamna Sensoji yang dibangun sekitar tujuh abad silam.
Tidak mengherankan,karena fitur utama ASAKUSA adalah sebuah candi Buddha.
Harus diingat, bahwa apabila membeli makanan dari kios-kios dimaksud maka harus dimakan/diminum di depan atau di sisi kios tersebut. Artinya dipantangkan makan/minum sambil jalan, karena dikhawatirkan nantinya dapat membuang bekas makanan/minuman itu sembarangan sebab, sebagaimana sudah ditulis di bagian pertama “Selayang Pandang” ini, di kota Tokio hampir tidak ada tong sampah umum. Kios-kios penjual makanan/minuman menyediakan tong sampah untuk pembelinya.
Tidak sedikit pengunjung yang agak kecewa apabila melihat barang dagangan yang ternyata buatan Cina (God made heaven and earth, and the rest was made in China), yang harganya lebih bersaing dibanding buatan Jepang.
Kesimpulannya buatan Jepang lebih unggul (tidak lucu juga kembali dari Jepang bawa buah tangan buatan Cina, iya ‘kan?).
Kalau memang saku cukup tebal maka silahkan berbelanja di lokasi shopping lainnya, seperti Shinjuku,Roponggi, Shibuya atau Ginza, di mana kebanyakan yang diperjual-belikan adalah buatan Jepang (dan tentu saja harganya “kurang” bersaing).
Yang pasti kenyamanan dan ketertiban di semua lokasi “shopping” di Tokio memang terjamin.
Itulah Jepang yang babak belur dalam Perang Pasifik namun mampu bangkit kembali dengan gagahnya, sesuai dengan peribahasa mereka yang menjadi judul tulisan ini: *nanakorobi yaoki*
Artinya kira-kira: “Jatuh tujuh kali, bangkit kembali delapan kali.” Wallahu a’lam.
(Bersambung).
Teks dan foto: Nuim Khaiyat