Jauh berbeda dengan film koboi “liar” seperti Django Unchained atau The Magnificent Seven, kisah The Power of the Dog sangat pelan dan mendayu. Namun itu bukan berarti film ini tidak punya konflik; aspek tersebut dibawakan dengan sangat baik berkat penampilan memukau para aktor, sinematografi yang memanjakan mata, dan aransemen musik yang memikat.
The Power of the Dog berkisah tentang dinamika kehidupan kakak-adik peternak Phil (Benedict Cumberbatch) dan George Burbank (Jesse Plemons) setelah mereka bertemu dengan janda Rose Gordon (Kirsten Dunst) dan anaknya, Peter (Kodi Smit-McPhee).
Kedua Burbank bersaudara memiliki sifat yang bertolak belakang ketika berinteraksi dengan Rose dan Peter; George yang berpenampilan rapi memiliki sifat sopan dan bersikap baik terhadap Rose, sedangkan Phil berpakaian kotor bersifat sembrono dan kasar, terutama terhadap Peter yang cadel dan berpenampilan feminin. Tidak lama kemudian George menikah dengan Rose, dan ketika Rose dan Peter berpindah ke kediaman Burbank, mereka harus berhadapan dengan Phil yang tidak senang dengan keberadaan Rose.
Setelah perkembangan dalam cerita tersebut, penonton dibawa untuk mengeksplorasi lebih jauh keempat tokoh utama film yang rupanya memiliki banyak lapisan dalam tokoh mereka. Phil, George, Rose, dan Peter semuanya merupakan tokoh yang kompleks terlihat dari interaksi mereka dan bagaimana mereka menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Berkat penampilan apik dari Cumberbatch, Plemons, Dunst, dan Smit-McPhee, penonton mampu melihat bahwa keempat tokoh tersebut memiliki sisi-sisi yang tidak bisa dilihat dengan sekilas saja. Bahkan tidak hanya dari interaksi dengan tokoh lain dan lingkungan mereka, tapi juga pergumulan batin mereka mencakup masalah seperti kesepian, kecemburuan, dan duka akan kehilangan.
Mendukung penampilan hebat para aktor adalah sinematografi jempolan film yang dikepalai oleh sinematografer asalah Australia, Ari Wegner. Sinematografi The Power of the Dog mampu mengeluarkan pemandangan menakjubkan lokasi syuting di daerah Otago, Selandia Baru sehingga seringkali terlihat menakjubkan seperti sebuah lukisan. Mulai dari pegunungan sekitar rumah Burbank yang terkesan ‘sejuk’, kesan ‘panas’ ladang peternakan Burbank, sampai ke hutan hijau yang ‘rindang’ tempat Burbank dan peternak-peternaknya mandi, sinematografi film tidak pernah kehabisan bahan untuk memukau mata penonton.
Tidak hanya dari segi visual, The Power of the Dog juga memiliki komposisi musik yang merdu. Digubah oleh Jonny Greenwood yang juga merupakan gitaris Radiohead, musik The Power of the Dog didominasi oleh penggunaan nada-nada halus dalam kebanyakan adegannya. Hebatnya, musik dalam film bisa beradaptasi menjadi nada yang lebih dinamis dan intens untuk adegan-adegan yang lebih dramatis. Aransemen dan sinematografi dalam film terasa sangat kompak untuk menyempurnakan keseluruhan presentasi film ini.
Bila ada kekurangan dalam film ini, terlepas dari banyaknya kelebihan dalam presentasinya, maka itu terletak pada cerita. Cerita dalam The Power of the Dog, meskipun dibawakan dengan sangat baik, terkadang terasa tidak runut. Seringkali motivasi beberapa tokoh untuk melakukan sesuatu terasa seperti “dilewati” sehingga bisa membingungkan penonton ketika tiba waktu mereka melakukan tindakan tersebut. Bisa jadi berbagai “lubang” dalam narasi film adalah sesuatu yang disengaja oleh sutradara Jane Campion untuk memacu imajinasi penonton, tapi di sisi lain, ini patut diperhatikan ketika menonton film ini.
Di samping sentilan kecil tadi, The Power of the Dog adalah sebuah kisah yang dibawakan dengan sangat baik dari segala macam sudut, baik itu penampilan, sinematografi, maupun aransemen. Tentu saja tidak menjadi kejutan kalau film ini menjadi film favorit memenangkan perhelatan Oscars tahun ini dengan 12 nominasi, membuatnya film besutan sutradara wanita pertama (Jane Campion) dalam sejarah Oscar untuk mendapatkan lebih dari 10 nominasi. Bravo!
Teks: Jason Ngagianto
Foto: IMDb, the wrap