Ketika baru-baru ini masuk ke pesawat untuk “mudik” ke kampung halaman kedua, alias Melbourne, setelah berkunjung ke ibukota DKI Jakarta Raya, saya sempat mengambil Koran bahasa Inggeris, The Jakarta Post.
Dan di halaman dua-nya saya membaca sesuatu yang sebenarnya tidak harus mengejutkan saya, namun begitulah, ketika kita diberitahu tentang sesuatu yang padahalnya sudah kita ketahui, ada kecenderungan untuk masih merasa kaget atau bahkan lebih kaget karena seakan yang sudah kita ketahui itu mendapat pembenaran yang hakiki.
“Udara di Jakarta bermuatan polusi berat!”begitu kira-kira pesan dari laporan koran JP tersebut.
Karena ketika berada di Tanah Air tercinta memang sempat terserang pilek, saya kemudian menyimpulkan bahwa pilek tersebut niscaya adalah gara-gara udara yang bermuatan polusi, meski harus diakui bahwa udara kota Melbourne juga tidaklah terlalu bersih.
Coba bandingkan statistic Badan Kesehatan Dunia (WHO) ini:
Melbourne-Jakarta-Pollution Index: 29.06 86.06 Pollution; Exp Scale: 47.77 154.02.
Artinya kadar polusi Jakarta hamper tiga kali lipat dari Melbourne.
Baru baca dua-tiga kalimat dalam laporan JP itu saya jadi termenung dan teringat kembali akan pemandangan yang agak diluar kebiasaan yang saya saksikan ketika berada di Jakarta: sekarang ini begitu banyaknya orang yang pakai masker!
Padahal, sebelumnya hanya anggota-anggota masyarakat Jepang, Tiongkok dan Korea yang tidak segan-segan mengenakan masker di depan umum. Kini di banyak tempat umum di Jakarta, dan barangkali juga di kota-kota lain di Indonesia, sudah kian banyak orang yang mengenakan masker. Maklum, manusia, dari jenis bangsa apa pun, mudah latah.
Ketika menyaksikan begitu banyak orang, terutama perempuan, mengenakan masker, terlintas di pikiran saya bahwa semua ini sebenarnya sama saja dengan seorang Muslimah yang mengenakan burqa/cadar. Namun seseorang yang memakai masker niscaya tidak langsung akan mengundang kecurigaan bahwa ia adalah seorang radikal atau ekstrem/fanatik; atau dituding kolot. Ketika saya mengikuti suatu acara televisi asing di kamar hotel di Jakarta, saya kebetulan melihat wawancara dengan seorang Muslimah berjilbab/berhijab, yang ditanya oleh pembawa acara apakah dia tidak kepanasan menutupi sekujur tubuh sedemikian rupa, praktis dari ubun-ubun sampai ke tumit kaki? Jawabnya tidak. Dan saya setuju dengan jawaban tersebut karena di Jakarta saya menyaksikan begitu banyak orang mengenakan “hoodie” yang pada hakikatnya jauh lebih tebal ketimbang hijab/jilbab. Dan begitu banyak pula lelaki maupun perempuan di Jakarta yang mengenakan jaket/jumper/wind cheater tebal, bahkan ketika tidak menunggang sepeda motor.
Sewaktu saya tiba di bandara Soeta (Cengkareng) dari Melbourne, pesawat parkir di Terminal Dua, dan para penumpang transit kemudian dipersilakan menuju ke ruang tunggu khusus untuk menantikan bis yang akan membawa kami ke Terminal Tiga (domestik) yang memang masih sangat baru, bersih, rapih dan memukau. Di situ saya melihat para penumpang Indonesia lainnya yang juga baru tiba dari Eropah dan akan transit ke tujuan masing-masing. Umumnya mereka ini dengan sangat bergegas membuka mantel/jeket yang dibawa dari Eropah yang suhu udaranya waktu itu masih rendah/dingin, sementara para penumpang dari Indonesia/Jakarta secara bergegas pula mengenakan jaket tebal, bahkan jaket kulit, mungkin karena nanti akan naik ke bis yang punya AC dan memasuki Terminal Tiga yang juga ber-AC dan pesawat yang juga pakai AC. Maka diperlukan jaket tebal!
Namun tidak pernah ada yang menanyakan umat berjaket di Indonesia ini apakah mereka tidak kepanasan? Apakah seseorang bebas mengenakan busana apa saja – biar bagaimana pun tidak senonohnya – asalkan itu adalah demi mode/fashion, namun akan dimintakan rasionalisasinya ketika mengenakan pakaian yang bernuansakan keagamaan? Wallahua’lam.
Saya melanjutkan membaca tulisan dalam koran JP tadi, yang menjelaskan bahwa udara DKI Jakarta sudah sangat kotor, hingga membahayakan kesehatan.
Menurut Koran Amerika The New York Times, polusi udara di Jakarta (70%) diakibatkan oleh buangan asap kendaraan bermotor. Semua ini, kata Koran Amerika itu, adalah “berkat” kemajuan ekonomi di Indonesia yang memungkinkan kian banyak orang membeli kendaraan bermotor. Setiap pengunjung ke Jakarta (dan barangkali banyak kota lainnya di Indonesia) niscaya akan terpesona menyaksikan begitu banyaknya manusia bermotor yang seakan merayap laksana semut mengejar gula, apalagi di persimpangan jalan sewaktu menunggu lampu pengatur lalu lintas berubah dari merah ke hijau. Dan nyaris semua pengendara motor ini mengenakan jaket, karena takut masuk angin, sementara di Melbourne ini, kalau suhu udara cukup tinggi kita sering menyaksikan penunggang moge Harley Davidson, hanya mengenakan singlet.
Dan masalahnya adalah Bahan Bakar Minyak yang diperjual-belikan di Indonesia masih ada yang mengandung timbal (leaded petrol).
Itulah sebabnya maka berbagai kota besar di Tiongkok melarang sepeda motor dari jalan-jalan tertentu. Sebagaimana baru-baru ini dilaporkan koran The South China Morning Post:
“More than 30 mainland cities, including Beijing, have restricted or banned motorcycles. Shenzhen will ban them from main roads and downtown areas in April, while Guangzhou had stopped issuing motorcycles number plates in 1998.
Authorities say the ban is aimed at removing all 313,700 of the city’s registered motorcycles, initially from some main roads and downtown areas during off-peak hours and later from suburban streets.
Motorcycles are seen as Guangzhou’s main ‘street killers’, with 363 people dying in 3,044 motorcycle accidents – 43.61 per cent of all road accidents in the city – in the first half of last year.”
Jadi, sepeda motor, selain merupakan sumber polusi udara (karena menggunakan BBM minyak campur), juga merupakan “algojo jalanan” yang menyeramkan. Juga banyak kejahatan penjambretan dilakukan oleh mereka yang menunggang sepeda motor. Apalagi di Indonesia di mana para pengendara sepeda motor banyak yang belum gemar mengenakan helem, sementara banyak atau bahkan kebanyakan dari mereka yang memakainya tidak mau atau belum sadar bahwa helem itu harus diikat, dikancing, sebab kalau terjadi kecelakaan maka helem dapat membantu memerisai/melindungi kepala, bagian tubuh yang paling rentan. Dalam sesuatu kecelakaan helem yang tidak dikancing akan copot dan kepala cenderung menjadi korban. Kalau ditanyakan kepada pengendara motor yang tidak mau mengancing helemnya kenapa ia begitu malas/lalai, jawabannya: “Pak Polisi tidak keberatan.”
Mengenakan helem secara benar bukan untuk menyenangkan polisi melainkan untuk melindungi diri si pemakai. Menurut statistic Polisi Lalu Lintas, di Jakarta terdapat sekitar 4-juta buah mobil dan hampir 12-juta sepeda motor.
Kembali ke masker. Menurut tulisan dalam koran JP tadi, kalau ingin “selamat” dari polusi udara Jakarta, maka anda perlu memakai masker seperti yang digunakan dokter ketika melakukan pembedahan. Tebal dan mampu menyaring sebagian besar, meskibukanseluruhnya,kandunganpolusi/polutan.
Tapi, sebagaimana dilaporkan Koran bahasa Inggeris Jakarta lainnya, The Jakarta Globe, banyak orang (terutama perempuan) di Jakarta yang mengenakan masker biasa agar terhindar dari debu; bau ketiak penumpang lain dalam bis/angkot/kereta api; asap rokok. Bagaimana ketiak/kelek tidak berbau sengit, kalau suhu tubuh yang dibungkus jaket tebal meningkat, mengakibatkan badan berkeringat dan baunya menyengit!
Rupanya sejak berjangkitnya wabah flu unggas (H1N1) dalam tahun 2009, banyak orang di Indonesia yang merasa perlu melindungi diri dengan memakai masker.
Barangkali bag iMuslimah di Indonesia sekarang ini ada rasionalisasi/alas an kuat untuk mengenakan burqa/cadar, hingga laksana “sambil menyelam minum air” – paru-paru jadi bersih, hidung terperisai dari bau-bauan yang sengit dan siapa tahu, nanti bisa pula masuk surga? Wallahua’lam.
Nuim Khaiyath