Seharusnya Kita Bisa “Mengalahkan” Thailand

Listrik, sejarah, dan rumah makan adalah tiga hal yang sepintas tidak berhubungan satu sama lain. Tapi renungkanlah sejenak. Dengan listrik, ruangan yang gelap menjadi terang benderang. Dengan ketekunan menggali fakta-fakta sejarah, riwayat yang gelap dari sebuah bangsa dapat dibuat terang dan terbuka. Dengan kegigihan mengelola restoran, berbagai olahan makanan dapat bersaing dan berkompetisi di level tinggi, membuat dunia internasional lebih hormat pada Indonesia. Di Tosaria International Restaurant (TIR), Rowville, Victoria, ketiga hal itu menyatu dalam sosok Tiong Djin Siauw. Pemilik sebuah perusahaan listrik, doktor di bidang sejarah, dan pemilik restoran bertaraf internasional.

Bagi Djin Siauw, tak ada yang kurang dari ragam dan rasa makanan Indonesia. Setiap etnik memiliki  tradisi dan variasi olahan makanan yang khas, unik, dan otentik. Namun, karena ia tinggal dan berjualan di Australia, maka ia menemukan satu resep rahasia, “Sesuaikan dengan lidah Australia dan tingkatkan profesionalisme kerja.”

 

Menurutnya, para pemilik rumah makan Indonesai tak perlu takut bersaing. Restoran Malaysia pasti lebih ramai karena jumlah warganya di Australia jauh lebih banyak. Jadi, dengan kunjungan sesama warga Malaysia saja, pasti sudah ramai. Sementara warga Thailand tidak sebanyak Indonesia. “Seharusnya kita bisa mengalahkan makanan Thailand.”

 

Putra Siauw Giok Tjhan (Menteri Sosial di zaman Soekarno) itu tak sekedar berteori, melainkan sudah menjalankan resep itu dan mulai memetik hasilnya. Ia menggabungkan konsep resto fine dining yang lapang dan café yang nyaman, digabung dengan ruangan terpisah untuk pesta atau diskusi. Dalam tempo 9 bulan usahanya sudah mencapai break event point. Menurutnya, menu, rasa, presentasi, dan tempat, perlu disajikan secara modern. Variasi menu, penyesuaian rasa dengan lidah Australia, presentasi yang atraktif, lokasi yang nyaman, iringan musik yang disukai pengunjung, semua itu akan membuat mereka selalu ingin kembali.

 

“Saya mengajak koki-koki muda untuk berkreasi. Mereka mencoba sebuah menu hingga 100 kali untuk menemukan proses dan menghasilkan rasa yang sama,” ujarnya berbagi pengalaman. “Memang untuk itu diperlukan koki yang rendah hati,” sambungnya.

 

Di TIR, pengunjung bisa menemukan rendang dengan rasa yang pas di lidah warga Australia. Rasanya empuk, agak manis, dan tidak beraroma sekuat rendang biasa. “Rendang TIR salah satu sajian favorit yang dicari pelanggan selain nasi goreng.”

Dalam pandangan pegiat Herbeth Feith Foundation itu, makanan dari Jawa Tengah dan Yogyakarta mempunyai peluang besar untuk disukai dan laku di Australia. Juga aneka makanan masyarakat peranakan, seperti bakmi goreng, pastel goreng, bihun goreng, dan nasi goreng. “Orang Australia itu suka rasa asam dan manis. Itulah rasa utama yang dijual oleh restoran Thailand di sini,” tuturnya berbagi rahasia.

 

Di luar itu, Djin Siauw mengajak para pelaku kuliner untuk memerhatikan trend makanan sehat yang kian menguat di Australia. Jenis makanan dengan kategori hijau akan semakin diminati. “Enak itu juga harus sehat,” ujarnya.