Rantau ada padanannya?

Kita memakai bahasa dalam komunikasi sehari-hari dan jarang berhenti untuk merenungkan arti tiap-tiap kata. Mana ada waktu buat itu? Kehidupan berjalan terus, mendorong dan menarik kita untuk terus melangkah ke depan.  Karena itu juga, penggunaan bahasa pada dasarnya lebih intuitif daripada cerebral. Kita menggunakan kata-kata tertentu karena kita tahu bahwa kata-kata itu mengungkapkan apa yang kita maksudkan, tanpa mencarinya lebih dulu di kamus.

Pernahkah kita merenung sejenak, apa yang termuat dalam kata ‘rantau’? Dan bagaimana kata itu terpadankan dengan kata-kata dalam bahasa lain yang bermakna serupa tapi tetap berbeda?

Menurut A Comprehensive Indonesian-English Dictionary (terbitan OHIO), ‘rantau’ artinya ‘the part of a beach along a bay or river’. Dapat kita bayangkan sosok yang ‘merantau’ menapak kian jauh dari rumahnya mengikuti langkah kakinya sepanjang pantai, atau berlayar ke arah matahari terbenam dari sana. Kalau Anda seperti saya, ada napas romantis di dalamnya.

Coba kita ambil beberapa contoh kata ‘rantau’ yang digunakan dalam bahasa Indonesia.

Arti ‘rantau’ dengan kata kerja ‘merantau’ yang pertama terserap dalam pengertian saya (abad lalu nih, ceritanya) ialah sebuah ritual yang berlaku pada laki-laki muda dari Minangkau, yang meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasib di tanah asing (tanah Jawa dianggap asing pada waktu itu). Dalam narasi ini tersirat kerinduan untuk pulang ke tanah Minang waktu sudah kaya dan terkenal.

Ada juga ‘merantau’ yang dilakukan orang-orang (termasuk kaum perempuannya) dari Maluku. Kendati tidak terpatri dalam budayanya seperti orang Minang, para perantau dari Maluku juga mengadu untung di tanah ‘asing’, dan memberi kesan selalu rindu pada kampung halamannya, malah lebih daripada orang Minang. Tentu orang Minang juga rindu pada keluarganya yang di kampung, namun kesan yang disampaikan orang Maluku lebih kuat; puluhan lagu yang menumpahkan kerinduan ini menjadi saksi. Coba simak ‘Ole Sioh’ umpamanya, dalam dua dari baitnya:

‘Mana kala beta sakit
Hati beta tra senang
Duduk murung serta tangis
air mata tumpalah
bale muka kanan kiri
Mama papa tra ada
Siapa siapa tolong beta
Beta ini asinglah’

‘Ole sioh, sayang la di lale
Apa tempo, bale la kembali
Ingat Ambon, tanah tumpa darah
Lagi ibu, bapa dan saudarah…’

Setahu saya, lagu ini sampai sekarangpun masih dinyanyikan dalam pesta-pesta di mana orang-orang asal Maluku berkumpul. Kalau Anda belum pernah mendengarnya, cobalah unggah dari youtube dan dengarkan, tapi jangan lakukan ini di tengah perjalanan naik trem atau kereta api yang penuh penumpang. Sebab kalau Anda tidak bisa mendengarnya dengan sungguh-sungguh, ya tidak ada gunanya. Tapi kalau Anda memakai earphone dan sempat menikmatinya, mata Anda mungkin menjadi basah.

Kerinduan orang Minang diutarakan lebih abstrak. Umpamanya dengan ramai-ramai menarikan tarian yang dilantuni lagu-lagu Minang Melayu, seperti ‘Mak Inang, Selendang Mak Inang’, ‘Serampang Duabelas,’ dan lainnya. Namun lagu-lagu dan tarian-tarian ini memang sudah ada sebelum para anak-muda itu berangkat merantau, sedangkan lagu-lagu Maluku di atas sengaja dinyanyikan di tanah rantau (bukan cuma di Jawa).

Kalau kita renungkan lebih jauh, dalam aksi ‘merantau’ ini, selalu di balik lapisan luar dari wajah yang menunjukkan kekuatan dan keberanian dari para perantau ini, bersembunyi bayang-bayang: keinginan untuk pulang kampung dan hidup seterusnya di sana. Kalau orang Minang, kesannya, karena tidak ada kebahagiaan yang lebih daripada dunia yang melantunkan lagu-lagu kampung halamannya dan menarikan tariannya. Dan orang Maluku, kesannya, selalu ingin pulang karena di manapun mereka berada, mereka merasa ‘bukan di rumah’.

‘Rantau’ membawa implikasi kesementaraan (berapapun lamanya), dan mengandung semacam pengertian bahwa suatu waktu para perantau ini akan kembali.

Kendati kata ‘rantau’ sekarang sudah merambat ke lahan-lahan arti yang lebih luas, pathos dari kata itu tetap bertahan.

Apakah ada padanan kata ‘rantau’ dalam bahasa Inggris? Mari kita melongok sedikit ke dalam bahasa ini.

Kita mendengar tentang pejabat tinggi dari suatu negara, umpamanya raja, president, atau politisi, juga pemikir (yang tidak bisa menutup mulutnya dan menyimpan penanya), yang terpaksa melarikan diri dari negerinya dan mencari dan menerima suaka di negeri lain. Kalau dia lalu tinggal di tempat baru itu, kata yang paling tepat menyebutnya dalam bahasa Inggris ialah, ‘exile’.  Ini sangat berbeda dengan ‘rantau’, karena perantau meninggalkan negerinya tanpa paksaan, dengan niat kembali, sedangkan dalam ‘exile’ ada unsur keterpaksaan, dan aspek ‘kembali’ tidak termasuk di dalamnya.

Barangkali ada kata lain, ‘emigrant’. Kata ini, kendati artinya jelas, yaitu orang yang meninggalkan kampung halamannya untuk tinggal di negeri lain, jangkauan implikasinya luas. Ada yang menjadi ‘emigrant’ karena unsur ekonomi, ada yang karena unsur politik, dan ada juga memang ingin mencoba hidup di tempat yang baru, dan mengadu untung di sana. Dan meskipun ada yang ingin pulang dan melewatkan hari tuanya di kampung halaman, itu cuma pilihan sendiri. Ini tidak termakna dalam kata ‘emigrant’ sendiri.

‘Rantau’ memiliki unsur lirikal yang tidak ada dalam kata ‘exile’ maupun ‘emigrant’. Mendapatkan padanan kata itu dalam bahasa lain, tidak mudah.

Penulis : Dewi Anggraeni