NAMA, DALAM BINGKAI BAHASA DAN BUDAYA

Di Australia, saya sering menjumpai orang yang selalu mencoba memadan sebuah nama dengan bahasa dan budaya negara asalnya. Ini mungkin karena Australia adalah negara imigran, sehingga layak saja nama-nama sering mencerminkan budaya dan bahasa asalnya. Namun karena beberapa budaya asal punya nama-nama yang sama atau hampir sama, kiat tebak-tebakan ini tidak selalu jitu. Umpamanya nama Alex. Nah berapa banyak budaya, termasuk di Indonesia, yang dihuni Alex? Johan atau John, Zakaria, Tina, Maria, Ani, dan banyak lagi.

Yang lebih menarik, membandingkan bagaimana orang Indonesia dan orang Australia ‘melihat’ dan ‘menafsirkan susunan’ sebuah nama. Di Indonesia, kalau kita melihat nama John Smith, atau Julia Hariani umpamanya, yang menonjol dalam benak orang ialah nama depannya, jadi mereka segera dipanggil ‘Pak John’, dan ‘Bu Julia’. Sebaliknya di Australia, yang menonjol ialah nama belakangnya, sehingga mereka akan dipanggil, ‘Mr Smith’, and ‘Ms Hariani’.

Ini karena di Indonesia seseorang, kendati punya nama sederetpun, belum tentu nama belakang (atau nama tengah)nya mencerminkan keluarganya, sedangkan di Australia, seperti di negara-negara Eropa Barat dan Inggris, nama belakang adalah nama keluarganya. Di Indonesia, nama depan justru yang penting.

Pada era di mana telepon tangan, apalagi smartphone, belum menyebar penggunaannya, ini sering menimbulkan masalah kalau seorang teman dari Indonesia berkunjung ke sebuah kota di Australia, menginap di hotel, lalu meninggalkan pesan, umpamanya, ‘ Halo De, ini Arni. Arni Armani. Aku ada di Melbourne nih, menginap di Hotel Westernport (umpamanya). Besok pagi aku ada di kamar sampai jam sembilan. Telepon ya.’

Eh, boleh-bolehnya di hotel itu, dia mendaftarkan dirinya sebagai Arni Armani Burhan (Burhan nama suaminya). Nah, kita teleponlah Hotel Westernport, kita minta Ms Arni Armani. Pihak hotel mengatakan, tidak ada Ms Arni Armani dalam daftar tamu mereka. ‘Ada Adela Armani, Giuseppina Armani, Pietra Armani…’ Kitapun buru-buru menjelaskan, ‘Ini Ms Armani yang dari Indonesia.’ Pihak hotel mencari-cari, lalu mengatakan, ‘Tidak ada Ms Armani dari Indonesia.’ Nah deh. Bagaimana nih. Kita angkat tangan.

Beberapa hari kemudian kita mendapat telepon dari teman Arni Armani ini, menegur kita, karena tidak menelepon. Kita jelaskan. Dia heran, ‘Masa sih, katanya. Kan sudah ada dua nama, Arni dan Armani. Burhan cuma nama belakang, satu. Kok itu yang dipentingkan?’ tanyanya setengah tidak percaya.

Walau kedengarannya mudah, tapi meyakinkan seorang karyawan yang merasa mempunyai tanggungjawab atas kelancaran sebuah perusahaan, untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa, banyak juga tantangannya. Masih dalam era pra-telepon pintar dan WA. Seorang rekan saya, katakan namanya Taufik Efendi dan selalu dikenal sebagai Taufik Efendi. Nama kepanjangannya Taufik Efendi Salim (begitu tertulis di paspornya). Waktu datang ke Melbourne dan menginap di sebuah hotel, Taufik mengoreksi si karyawan hotel waktu dia didaftarkan sebagai ‘Salim, Mr T.E.’. Dia minta didaftarkan sebagai Efendi, Mr T, karena katanya, ‘Teman-teman saya mengenal saya sebagai Taufik Efendi.’ Si karyawan kebingungan, masa nama tengah dibikin nama keluarga? Wah, ini tidak sesuai instruksi dan tidak menuruti aturan sistem. Tapi Taufik tetap berkeras. Si karyawan jadi serba salah. Taufik ‘kan tamu hotel, artinya klien, jadi mesti diberi respek selayaknya. Akhirnya diapun mengambil jalan tengah, Taufik didaftarkan sebagai ‘Efendi-Salim, Mr T’. Lalu Taufik meninggalkan pesan pada telepon saya, ‘Aku sudah tiba. Telepon aku di Hotel XY.’ Bisa terbayang apa yang terjadi? Saya, yang tahu nama lengkap Taufik, segera menelepon hotel dan minta Mr Taufik Salim, karena begitulah kebiasaannya di Australia, kalau ada nama tengah, itu segera diabaikan. ‘Tidak ada Mr T Salim,’ kata noni resepsionis. “Mr T Efendi?’ tanya saya, untung-untungan. ‘Tidak ada Mr T Efendi.’ Akhirnya setelah mencoba kiat ini dan kiat itu, saya tanya, ada tidak, yang mendaftarkan diri dengan tiga nama, ‘Taufik Efendi Salim’? Ternyata dia menemukan nama Efendi-Salim dengan tanda penghubung. Fiuh.

Lalu penggunaan nama kecil juga bisa menimbulkan kesalah-pahaman, meskipun harap-harap tidak selalu serius.

Kalau di Australia, yang dikenal sebagai nama kecil adalah semacam kependekan dari nama sebenarnya, umpamanya James jadi Jim, Robert jadi Bob, Benedict jadi Ben, di Indonesia nama kecil adalah nama yang dipakai waktu individu itu masih kecil. Bisa saja memang bentuk kependekan dari nama panjangnya, tapi tidak selalu. Umpamanya Nurhayati menjadi Nunung, atau Titi, masih bisa dikaitkan. Tapi kadang-kadang nama kecil itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan nama lengkapnya. Saya pernah punya rekan yang namanya Slamet Kurnia Suriawijaya. Tidak seorangpun di kantor yang memanggilnya dengan nama keren itu. Semua memanggilnya Mas Utun atau Pak Utun. Waktu anak saya, Eric, ‘mengeluh’ pada temannya (yang bule) bahwa ibunya masih memanggilnya Ewik, saya membungkamnya dengan mengatakan, ‘Jangan ribut-ribut. Di Indonesia kamu akan dipanggil oleh siapapun, Mas Ewik atau Pak Ewik, tanpa berkedip!’  Diapun meringis.

Oleh: Dewi Anggraeni