Malam itu ada pesan di HP berbunyi, ‘Dik, Simon meninggal dunia malam ini, Al-Fatihah’, saya masih ingat jam menunjukkan 21.36. Sosok yang menghindari berbicara negatif tentang orang lain dan tentang banyak hal ‘sudah pergi’. Ungkapan dan guyonan yang selalu dikenang dari Pak Simon ‘Get back to work’ ditengah-tengah asyiknya ‘ngobrol’ pada jam kerja. itulah humor khas Simon!
Kenal pertama kali Simon Williams di tahun 1992, beliau datang ke rumah shared house bersama Ibu Sri Dean ke acara baca puisi Ganesha Poetry Society (sekarang bernama Jembatan Poetry Society) di 3 Hudson St, North Caulfield. Masih ingat dengan jelas kenangan tiga puluh tahun lalu…
Satu hal yang menonjol dari Pak Simon kemampuan beliau membangkitkan semangat dari seorang yang belajar bahasa Indonesia. Suatu waktu, ada seorang siswa menurut semua guru tidak mungkin lulus karena pengucapannya, kemampuan tata-bahasanya dan kelihatan memang tidak ada bakat untuk belajar bahasa asing.
Dan pelajar tadi kemudian ditangani oleh Simon. Hanya dalam tempo tiga minggu, siswa yang tadinya ‘tidak punya harapan’ lulus dengan angka-angka relatif baik. Mukjizat apa yang diterapkan diterapkan Simon tidak begitu jelas tapi yang pasti adalah Pak Simon mengajar dengan jiwa dan hati disertai dengan teknik dan ilmu linguistik yg luar biasa.
Bukan hanya bahasa Indonesia yang dikuasai beliau tapi juga budaya Indonesia. Jarang penutur Bahasa Indonesia sebagai bahasa ke-2 mampu menguasai bukan hanya bahasa, budaya tapi juga seni budaya termasuk lagu dan musik Indonesia dari tahun 60 hingga 70-an. Bukan hanya sekedar tahu tapi menguasai!
Satu hal yang mungkin tidak semua orang tahu, Pak Simon juga seorang penyiar handal radio komunitas di Heidelberg 96.5 Inner FM setiap Sabtu pagi. Penulis pernah datang melihat beliau siaran, wah mirip seperti Robin Williams di Good Morning Vietnam, perbedaannya hanya Simon tenang tapi semangat dan kelihatan kecintaannya terhadap musik luar biasa dan menguasai betul musik rock & roll, jazz dan blues.
Simon akan selalu diingat dan dikenang karena kejujurannya, ketulusannya dan selalu ingin membantu.
‘Even in our sleep, pain that cannot forget, falls drop by drop upon the heart, until, in our own despair, against our will, comes wisdom through the awful grace of God’ – Aeschylus
Secuil Kenangan (oleh Gaston Soehadi)
Salah satu kenangan bersama Simon Williams adalah ketika ia mengundang saya dan Ralf Dudat ke studio Inner FM pada suatu malam pada tahun 2014. Saya dan Ralf belum pernah ke Inner FM yang berlokasi di Warringal Shopping Centre di Heidelberg. Ralf menjemput saya di kost saya, Whitburn, Clayton, dengan mobilnya. Ia baru pulang dari kerja.
Selain bekerja di sebuah perusahaan jasa, saat itu Ralf mempunyai tanggung jawab sebagai staf media dan promosi dari Indonesian Film Festival (IFF) yang akan diselenggarakan oleh PPIA Melbourne, satu bulan dari saat itu, dan saya membantunya. Simon juga sangat antusias dengan IFF dan selalu aktif mengikuti berbagai acaranya. Ia mempersilakan Ralf untuk sedikit bercerita dan mempromosikan IFF di program musik yang diasuhnya.
Saya menikmati program yang diasuh Simon karena lagu-lagunya sangat menarik dan tentu saja karena ini adalah pengalaman saya pertama melihat penyiar profesional di sebuah radio populer di Melbourne. Dan di sela-sela musik yang ditampilkan Simon, ia secara bergantian bertanya kepada Ralf dan saya tentang acara IFF dan film-film yang akan ditampilkan bulan mendatang. Tentu saja, pertanyaan terbanyak yang diajukan Simon adalah untuk Ralf karena Ralf adalah bagian dari kepanitiaan IFF.
Selain humoris, Simon juga mempunyai wawasan musik mendalam. Dan suaranya terdengar sangat mantap di telinga saya. Ini adalah dua di antara beberapa karakteristik yang dibutuhkan untuk menjadi penyiar radio populer. Suara Simon mengingatkan saya kepada suara seorang penyiar RRI/TVRI beberapa puluh tahun lalu.
Program musik yang diasuh Simon mulai jam 10 malam dan selesai tengah malam. Ketika Ralf, Simon dan saya keluar studio, situasi di shopping mall sudah gelap. Jam tutup di tempat ini kira-kira jam 9 atau 10 malam. Kami berpisah di ujung tangga eskalator karena saya dan Ralf harus ke basement, mobil Ralf diparkir di sana. Sedangkan Simon ke lantai atas.
Sial, basement sudah dikunci oleh petugas keamanan mall. Saya dan Ralf hanya bisa memandang mobil Ralf dari kejauhan, dari balik pagar basement. Tampaknya, kami bakal tidak bisa pulang. Atau kami harus pulang naik taksi dari mall. Dari mall ke tempat saya jaraknya jauh sekali, apalagi ke rumah Ralf.
Tiba-tiba handphone Ralf berbunyi. Ajaib, di ujung telpon ada suara Simon dan ia menanyakan apakah ada masalah. Saya bersyukur bahwa Simon belum keluar dari mall. Ia segera menjemput kami di gate mall dengan mobilnya dan mengantar kami sampai ke sebuah jalan raya. Di situ Simon harus berbelok ke jalan menuju ke rumahnya, yang berlawanan arah dengan saya dan Ralf. Kami berpisah.
Ralf dan saya menggunakan taksi untuk pulang ke rumah. Untungnya, dari jalan tersebut ke rumah saya sudah tak begitu jauh lagi. Tapi Ralf masih harus perjalanan agak jauh untuk sampai ke rumahnya. Saya tiba di rumah pukul 2 dini hari. Capek tapi senang. Esok harinya, Ralf memberitahu saya bahwa ia kembali ke mall untuk mengambil mobilnya di Warringal Shopping Centre.
Beberapa hari kemudian, di hari Minggu siang, Simon muncul di muka pintu rumah kos saya. Ia membawa DVD film Habibie yang ia pesan dari seorang teman di Indonesia. “Jangan lupa nonton ya mas. Sri ingin berbincang dengan mas tentang film ini,” katanya. Saya tentu saja senang sekali dan mengiyakan secara spontan permintaannya.
Saya heran di hari Minggu seperti ini Simon tetap antusias bekerja. Mungkin ia memang melakukan segalanya demi kecintaannya kepada budaya dan bahasa Indonesia. Ia juga mencintai pekerjaannya sebagai penyiar radio mainstream di Melbourne, dan bahkan sempat memberi ruang informasi tentang IFF di dalamnya. Sesuatu hal yang mungkin jarang ia lakukan sebelumnya.
Tiba-tiba saja saya mulai mengamati Simon setelah saat itu. Karena saya mulai mempunyai dugaan bahwa dalam beberapa hal, Simon mungkin “lebih Indonesia” daripada saya. Dan saya perlu belajar darinya, tentang “menjadi Indonesia” yang saya lupa.
Teks: Anton Alimin & Gaston Soehadi
Foto: Berbagai sumber