Membuka Kenangan Kelam Mei 1998 dalam Pentas Teater May 1998

Mei 1998 menandai salah satu bab kelam dalam sejarah Indonesia, diwarnai oleh diskriminasi dan penganiayaan terhadap etnis keturunan Tionghoa. Tragedi ini tidak hanya menyisakan luka, tetapi juga cerita-cerita yang terus bergema hingga kini.

Victoria Winata, seorang warga negara Indonesia yang kini tinggal di Melbourne dan berkecimpung dalam dunia teater, menghidupkan kembali kenangan tersebut. Dalam pementasan terbarunya yang bertajuk May 1998, Victoria dan timnya membawa penonton ke dalam kisah ini dari 13 hingga 16 Desember di Carlton, Victoria.

Pementasan ini dibawakan dengan pendekatan sederhana. Victoria, selain sebagai penulis, juga tampil sebagai aktor tunggal. Ia memerankan sosok protagonis yang dikenal sebagai “I,” seorang perempuan Indonesia keturunan Tionghoa yang telah lama menetap di Australia. Dalam setting sebuah ruang makan, “I” menggelar monolog selama satu jam, mengungkapkan perjuangan dan trauma yang dialami.

Cerita dalam pementasan ini bergerak maju-mundur, mengikuti alur pikiran “I” yang terganggu oleh trauma masa lalu. Terkadang, “I” menunjukkan ketidakmampuan untuk mengingat peristiwa 25 tahun lalu. Namun, ia tetap berusaha menceritakan kisahnya, berharap untuk memberikan pemahaman kepada penonton tentang apa yang terjadi pada dirinya dan komunitasnya. Tak lama melihat tingkah “I”, penonton akan sadar bahwa ia tengah mengalami gangguan mental karena trauma yang ia alami.

Dalam narasinya, “I” menggambarkan tekanan yang dialami etnis keturunan Tionghoa di Indonesia, terutama selama krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997. Demonstrasi dan ketidakstabilan sosial meningkatkan ketegangan, dimana etnis keturunan Tionghoa mengalami diskriminasi, kekerasan, hingga pembantaian. Sebagai seorang perempuan, “I” menyoroti insiden pemerkosaan yang terjadi pada masa itu.

Sosok “I” menceritakan pengalamannya bersembunyi di rumah bersama ibu dan neneknya, sementara dua kakaknya, yang merupakan aktivis, tidak ada di rumah. Ketika berusia 18 tahun, “I” bertekad mencari kedua kakaknya, menyaksikan kekejaman yang terjadi, termasuk dikarenakan dukungan oknum militer.

Selain masa lalu, “I” juga membawa penonton ke masa kini, mengungkapkan pergulatan batinnya tentang keinginan untuk kembali ke Indonesia, tempat yang ia rindukan meski penuh kenangan pahit. Di sisi lain, ia merasa asing di Australia, tempat ia tinggal selama bertahun-tahun, namun juga kecewa dengan nasib etnis keturunan Tionghoa di Indonesia, khususnya selama kerusuhan Mei 1998.

Victoria merasa puas dengan pementasan empat hari yang telah berlangsung. Kepuasannya bukan hanya karena jumlah penonton yang memadai, tetapi lebih karena respons emosional yang diterimanya. Banyak penonton yang datang kepadanya setelah pertunjukan, berbagi reaksi dan cerita pribadi mereka yang berkaitan dengan peristiwa kerusuhan Mei atau pengalaman kekerasan lainnya. Proses kreatif ini juga mempererat hubungannya dengan tim pementasan, termasuk sutradara dan sahabatnya Acacia Nettleton.

“Dalam penulisan naskah saya menggabungkan pengalaman saya sendiri, orang lain yang saya kenal, dan sumber-sumber lain mengenai Tragedi Mei termasuk artikel-artikel akademis, berita, kisah-kisah saksi mata, dan banyak lagi,” jelas Victoria.

Buku-buku seperti My Pain, My Country oleh Dewi Anggraeni, Chinese Whispers oleh Rani Pramesti, serta analisis akademis dari Dr Monika Winarnita menjadi sumber inspirasi utamanya.

“Saya juga mengambil inspirasi dari semua orang yang saya kenal yang berkisah tentang Mei 1998 dan membuka hati mereka untuk berbicara tentang sebuah peristiwa tragis dengan jujur dan terbuka,” terang Victoria.

Meskipun lahir lima tahun setelah Tragedi Mei, Victoria merasakan dampak peristiwa itu secara langsung. Keluarganya mengalami rasisme di Indonesia, termasuk ketakutan dan kecemasan selama kerusuhan Mei 1998.

“Saya melihat Mei 1998 sebagai salah satu titik krusial dalam pembentukan jati diri saya. Meski saya belum lahir pada waktu itu, namun saya telah mewarisi luka Tragedi Mei atau trauma antar-generasi. Dan bukan hanya saya yang mewarisi luka ini,” ujar Victoria.

Pementasan ini menggunakan dua bahasa, Indonesia dan Inggris, untuk menjangkau audiens Indonesia dan Australia. Victoria merasa bahwa penggunaan kedua bahasa ini memungkinkan komunikasi yang lebih mendalam dan mengungkapkan emosi secara lebih efektif. Ini juga mencerminkan identitas bilingual Victoria dan pentingnya menjaga hubungan dengan sejarah dan budaya Indonesia.

Victoria juga ingin menyampaikan bahwa meskipun kita mungkin mencintai tanah air kita, hubungan itu bisa berubah, terutama setelah peristiwa traumatis seperti Mei 1998.

“Saya mencintai Indonesia meskipun saya telah disakiti oleh Indonesia. Tapi kita juga harus mengakui bahwa setelah kita meninggalkan tanah air kita, untuk negeri atau rumah lain, hubungan kita dengan tanah air akan berubah. Terlebih jika sesuatu seperti Mei 1998 telah terjadi,” Victoria menambahkan.

Persiapan pementasan “May 1998” dimulai enam bulan sebelumnya di mana ada tujuh orang terlibat dalam produksi. Tantangan terbesar bagi Victoria adalah menjadi satu-satunya orang Indonesia di tim kreatif, memastikan bahwa konteks budaya dan sejarah Indonesia dipahami dengan benar oleh timnya.

“Saya hanya ingin kita semua untuk mengingat, memperingati, dan saling mengingatkan tentang Tragedi Mei 1998,” tutup Victoria.”

Teks: Rivi Satrianegara

Foto: Dokumentasi May 1998