Masker: Fashion Statement + Social Movement

Akibat meningkatnya kasus COVID-19 di Victoria, pemerintah telah memperpanjang keadaan daruratnya empat minggu lagi hingga 16 Agustus. Selain itu, untuk mengurangi transmisi wabah, pemerintah menerapkan kebijakan bagi seluruh penduduk di Melbourne dan Mitchell Shire diharuskan memakai masker saat keluar rumah dan bepergian ke tempat umum. Aturan  berlaku mulai Rabu (22/7) pukul  11:59 malam dan pelanggaran kewajiban ini berisiko terkena denda sebesar $200. 

Enam bulan lalu, kita hanya mengenal masker sebagai alat kelengkapan di rumah sakit, pelindung dari polusi udara dan properti pesta seperti Halloween. Tidak pernah terpikir bahwa seluruh warga dunia akan memburu barang ini dan bersedia membayar mahal untuk membelinya dalam jumlah banyak. Siapa sangka masker sempat jadi barang yang langka? Bahkan, kini jadi barang yang sangat penting layaknya kunci rumah dan handphone, kita tak bisa meninggalkan rumah dan beraktivitas tanpanya.

World Health Organisation (WHO) menetapkan bahwa memakai masker menjadi langkah utama perlindungan diri dalam membantu mengurangi penyebaran dan ancaman transmisi COVID-19. Dengan tingginya kebutuhan akan masker, seketika banyak masyarakat yang beralih menjadi produsen masker. Adaptasi dengan momen pandemi ini menjadi peluang bagi beberapa orang menjadikan masker sebagai komoditas yang tidak hanya bermanfaat namun juga bisa untuk bergaya.

Banyak orang berkreasi membuat masker dari bermacam bahan kain, bentuk yang unik dan nyaman. Hal ini menjadi perhatian masyarakat dan pegiat bisnis lokal untuk merancang masker yang bisa digunakan sehari-hari sekaligus meningkatkan kesadaran sosial. Masker yang pas di wajah dan terlihat indah juga trendy jika dikenakan dan yang paling penting membawa dampak baik pada masyarakat.

Seperti dikutip dari Sydney Morning Herald, “Fashion is encouraging widespread wear which is a trend we should embrace,” kata Aleksandra Nedeljkovic, CEO dari The Social Studio, a social enterprise. Masker yang didesain dengan value tertentu menjadi sebuah fashion statement bagi pemakainya. Dengan tetap fokus pada fungsi masker sebagai alat pelindung area wajah terutama hidung dan mulut, simak kisah para insan kreatif ini mengadopsi tren melalui must-have-accessory in 2020: facial mask!

Koleksi Masker Etnik Mainad

Mainad Collection (Jakarta, Indonesia)

Masker dengan motif batik. Wah, sungguh ide yang unik tercetus dari kakak beradik Nisa dan Nadia. Kecintaan mereka terhadap kekayaan tekstil khas Indonesia menjadi landasan terciptanya masker Mainad Collection. Masker ini terbuat dari bahan kain etnik, mulai dari Batik Jogja-Pekalongan-Cirebon-Garut, Lurik Jogja, Songket Bali, Endek Bali, Kain Makassar, Sasirangan Kalimantan, Tenun Lombok-Flores, dan masih banyak lagi koleksinya. Berbagai macam kain wastra Nusantara ini dibuat oleh tangan-tangan pengrajin dari berbagai pelosok Indonesia, bukan printing buatan pabrik.

Produksi dan penjualan masker Mainad Collection dijalankan selama masa karantina (stay at home). Usaha dua bersaudara ini didukung penuh oleh sang Ibu yang turut membantu di bagian produksi. Nisa, si kakak, mengurusi konten sosial media sekaligus mengatur keuangan. Sedangkan Nadia mengambil peran dalam bidang marketing, promosi dan berinteraksi dengan pelanggan secara online. 

“Semua respon teman-teman merasa aman memakai masker Mainad, bantu UMKM mengembangkan bisnis lokal yang berjuang di tengah pandemi dan sekaligus promosi kain wastra nusantara. Masker Mainad juga pernah dibeli oleh Ketua Komisi 1 DPR RI Meutya Hafid, lho!” ungkap Nadia Atmaji.

Berkembangnya bisnis masker adalah bentuk penyesuaian bisnis fashion dengan kondisi new normal. “Saat ini, masker telah menjadi kebutuhan vital untuk melindungi diri dari corona. Dengan memakai koleksi masker etnik ini, kita ikut mematuhi protokol kesehatan tapi tetap keren!” tambahnya.

Wynni and her husband Rial, wearing masks she made

Wynni Jones & Djirra Fundraising (VIC, Australia)

Mulai banyak fashion brand terkenal yang memproduksi masker secara masif dengan harga mahal. Namun, ada beberapa kritik terhadap label tersebut karena dianggap memanfaatkan tragedi global untuk meraih keuntungan. Di sisi lain, banyak masyarakat yang melakukan aksi sosial dengan membuat masker dan mengumpulkan donasi untuk disalurkan ke organisasi non pemerintah dan kelompok minoritas, salah satunya seperti yang dilakukan oleh Wynni Jones untuk Djirra Organisation.

Sebagai seorang yang memiliki kepedulian pada perempuan, terutama penduduk asli Aboriginal, Wynni secara spontan ingin melakukan fundraising dengan membuat masker sendiri dan dijual dengan harga $10 yang akan didonasikan ke Djirra – Aboriginal Women Services for Domestic Violence. Wynni menawarkan beragam motif dan bahan untuk masker jahitannya yang bisa dipilih sesuai keinginan. Ada motif floral berupa tanaman dan bunga serta motif etnik dengan banyak pilhan warna. Melalui pesan di Instagram, Wynni menceritakan tentang alasan personalnya melakukan social project ini. 

“It’s a combination of factors: Why a domestic violence centre? Because, for my PhD, I research access to justice for domestic violence victims and it’s a cause that’s close to my heart. Why an Indigenous organisation? Djirra is who I pay the rent to as part of the ‘pay the rent’ campaign. Djirra as a domestic violence organisation does amazing, culturally-sensitive work providing services and advocacy for women so I like to support them when I can.”

Wynni sangat bersemangat setelah menerima orderan sebanyak 15 masker hanya dalam 2 hari, berarti sudah ada $150 yang akan disumbangkan. Sayangnya, Wynni juga harus membatasi pesanan karena ia hanya bisa membuat masker selama akhir pekan saja. Wynni yang saatnya ini juga tinggal di Victoria kembali harus merasakan situasi lockdown yang kedua kalinya. Ia berharap agar semua orang dapat disiplin dan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya penggunaan masker. 

Teks: Evelynd

Foto: Dokumentasi pribadi