Mengapa umat Islam diajarkan untuk berpuasa di setiap bulan Ramadhan?
Apakah hanya semata-mata karena berpuasa merupakan kewajiban setiap umat seperti yang dikupaskan dalam Kitab Al-Qur’an? (QS II: 183).
Tentu saja tidak. Selain merupakan sebuah kewajiban, berpuasa juga memiliki manfaat-manfaat lainnya. Berpuasa dapat membantu menguatkan hati nurani, mengajarkan kedisiplinan diri dan melatih kejujuran dalam diri setiap umat yang berpuasa. Ketika berpuasa, seseorang juga tengah melatih diri untuk menahan godaan makanan dan minuman serta mengukuhkan keyakinannya kepada Allah SWT. Tentu saja mudah bagi orang-orang yang berpuasa untuk melanggar amanah dan tergoda oleh makanan dan minuman sebelum waktunya berbuka puasa. Namun, ketakutan akan Allah SWT dan keyakinan akan ajaran kitab suci mencegah ia untuk melanggar amanah Al-Qur’an. Keteguhan hati inilah yang kerap dicoba dan dikukuhkan setiap kali seseorang berpuasa menjelang Ramadhan.
Kesucian dan keteguhan hati ini pun dapat melatih seseorang untuk menjauhkan diri dari ketidakjujuran. Rasa malu akan perbuatan yang tidak jujur dan melanggar hukum Islam dapat pula menjadi sebuah pegangan hidup untuk senantiasa tidak melanggar hukum negara. Rasa takut akan dosa perbuatan tidak terpuji akan mencegah seseorang dari godaan kejahatan seperti korupsi, mencuri, berdusta, memfitnah, menganiaya dan membunuh. Rasa takut terhadap Allah SWT pun menjadi pedoman hidup dalam mengarahkan tindakan dan budi pekerti seseorang. Dengan berprinsip teguh, kita pun dapat menjauhkan diri dari pikiran dan perbuatan jahat serta mengukuhkan keyakinan terhadap ajaran Islam.
Walaupun demikian, tidak mengherankan jika masih ada yang khilaf di bulan puasa ini. Sebagai seorang manusia, kekhilafan adalah sesuatu yang merupakan bagian dari kemanusiaan. Namun, kekhilafan yang dilakukan oleh mereka yang telah mengabdikan diri untuk berbuat baik tentu menjadi sebuah dosa yang sangat berat. Pandangan ini tertumpahkan dalam ungkapan Bahasa Latin yang berbunyi “Corruptio Optimi Pessima” yang bermakna “Kekejian oleh yang terbaik adalah pelanggaran yang terbesar”.
Ungkapan tersebut ramai digunakan ketika menyangkut skandal pelecehan seksual terhadap anak-anak yang terjadi di sejumlah negara (termasuk Australia) di beberapa waktu silam. Sungguh tidak disangka bahwa yang melakukan pelecehan tersebut adalah orang-orang yang sebelumnya dikenal sebagai orang-orang yang bertabiat baik dan yang telah mengabdikan diri untuk menjalankan perintah Tuhan. Tentu saja pelanggaran ini pun menjadi cerminan akan kezaliman yang dapat dilakukan oleh seseorang tanpa memandang siapapun dirinya dan apapun keyakinannya.
Filosof Yunani Aristotle pernah berkata bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan pernah terlepas dari orang lain. Hal ini didukung oleh John Done, penyair asal Inggris yang berkata bahwa tidak ada seseorang yang mampu berdiri sendiri bak pulau ditengah laut. Cepat atau lambat, seseorang akan selalu terlibat dengan orang lain dan menjadi tolak ukur orang lain.
Ironisnya, tidak selamanya perbuatan yang terpuji akan selalu diacungi jempol. Letnan Jenderal (P) Kiki Shahnakri pernah menuturkan suatu tamsil dalam bentuk sebuah cerita yang sangat menarik dan menggugah. Berikut kisah ceritanya:
“Tentara musuh memasuki sebuah desa. Mereka kemudian menodai kehormatan seluruh wanita di desa itu, terlepas dari seorang wanita yang selamat dari penodaan. Dia melawan, membunuh dan kemudian memenggal kepala tentara yang akan menodainya.
Ketika seluruh tentara kemudian meninggalkan desa tersebut, para wanita malang yang telah ternodai pun keluar dengan busana compang-camping sembari meraung, menangis dan meratap. Namun, seorang wanita keluar dengan keyakinan hati yang kuat dan keberanian yang membara.
Dia keluar dari rumahnya dengan busana rapat dan bersimbah darah sambil membawa kepala tentara yang terpenggal di tangan kirinya.
Para wanita bertanya: “Bagaimana engkau memiliki keberanian untuk melakukan hal itu dan selamat dari bencana ini?”
Ia menjawab: “Jika aku harus memilih untuk berjuang membela diri atau mati dalam menjaga kehormatan, aku akan selalu memilih berjuang membela diri.”
Para wanita mengaguminya, namun kemudian rasa was-was merambat dalam benak mereka. Bagaimana jika para suami menyalahkan mereka karena tidak melawan seperti wanita pemberani ini.
Mereka khawatir sang suami akan bertanya, “Mengapa kalian tidak membela diri seperti wanita itu, bukankah lebih baik mati daripada hidup ternodai?”
Kekaguman pun berubah menjadi ketakutan.
Mereka beramai-ramai menyerang wanita pemberani itu dan akhirnya membunuhnya. Ya, mereka membunuh kebenaran agar mereka dapat bertahan hidup dalam aib, dalam kelemahan, dalam ilusi kehormatan bersama.
Beginilah keadaan kita saat ini. Orang-orang yang tercela menghina, mengucilkan, menyerang dan bahkan membunuh eksistensi orang-orang yang masih berani menegakkan kebenaran agar hidup mereka tetap terlihat berjalan dengan baik.
Walau sesungguhnya penuh aib, dosa, kepalsuan, pengkhianatan, ketidakberdayaan, dan menuju pada kehancuran yang nyata, mereka memilih untuk tetap berpegang kepada pemikiran mereka yang salah.
Sebelum terlambat, pastikan Anda berani berpihak kepada KEBENARAN.”
Perilaku para perempuan yang melakukan serangan terhadap rekan mereka yang gigih mempertahankan kehormatannya mengingatkan kita akan penilaian yang pernah dilakukan diktator Adolf Hitler terhadap kemanusiaan.
Dalam karyanya, Mein Kampf, Hitler terkesan membalikkan anggapan umum sebelumnya bahwa yang didambakan setiap manusia itu hanyalah “kesenangan, keamanan dan penghindaran dari rasa sakit.”
Di dalam bukunya, Hitler menambahkan bahwa manusia tidak hanya mendambakan kenyamanan, keselamatan dan penghindaran dari rasa sakit; manusia juga menghendaki perjuangan dan pengorbanan diri untuk negara dan orang lain. Ketika mengupas ideologi-ideologi seperti kapitalisme dan sosialisme yang menawarkan keamanan dan kesejahteraan hidup, Hitler mengatakan bahwa ideology tersebut hanya akan membawa mara bahaya dan kematian. Sayangnya, di kala Jerman tengah bersusah payah membangun kembali ekonomi negaranya di tengah krisis ekonomi dunia, tidak sedikit orang yang menggandrungi pandangannya.
Dengan kekejian dan kekejaman Pol Pot, sulit bagi kita untuk membayangkan dan memahami kenyataan bahwa dirinya juga sangat dikagumi oleh warga Kamboja/Kampuchea ketika dirinya menjabat sebagai perdana menteri negara tersebut di tahun 1976 – 1979. Namun hal ini merupakan suatu bukti lain bahwa manusia tidak selalu berpikir dengan akal yang sehat.
Ketika Giuseppe Garibaldi hendak mempersatukan Italia di abad ke-19, dia menyatakan kepada pengikutnya:
“Aku sama sekali tidak bisa menawarkan upah, penampungan ataupun makanan. Yang dapat aku tawarkan kepada kalian hanyalah kelaparan, kehausan, perjuangan, pertempuran dan kematian. Biarlah mereka yang cinta dengan tanah airnya menumpahkan darahnya dengan sepenuh hati dan tidak hanya berbuah bibir yang manis-manis. Marilah engkau semua mengikuti aku.”
Ketika itu, tanpa memandang kesulitan yang akan dialami, rakyat Italia berduyun-duyun menghadap ke arahnya seraya memekikkan kata “Siap!” kepadanya. Giuseppe Garibaldi pun kemudian terkenal sebagai pahlawan yang berhasil memersatukan Italia.
Meskipun Al-Qur’an berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kamu…” (QS II: 185), namun banyak manusia yang lebih memilih kesulitan, secara sadar atau tidak sadar.
Oleh karena itu, agama pun diperlukan untuk membantu melurukan mereka kembali ke jalan yang benar. Dengan demikian, diharapkan mereka dapat kembali membangun kehidupan yang baru.
Ramadhan Mubarak!
Wallahu a’lam#