Alkisah suatu waktu, pada saat liburan, seorang mahasiswa pulang ke kampung halamannya. Di sana, dia melihat tetangga dan masyarakat sekitar tengah membangun tempat ibadah secara sukarela.
Sang pemuda itu pun dengan senang hati ikut mengambil bagian di kegiatan tersebut. Dengan bersemangat, dirinya mulai belajar mengaduk semen, meletakkan batu bata, melapisi semen, dan kemudian mengulang menaruh bata, menyemen, dan merapikan susunan batu bata agar rapi. Dengan semangat menggebu, akhirnya setengah tembok berhasil diselesaikan. Dengan perasaan puas, dan sedikit lelah, dirinya pun berdiri mengagumi tembok hasil kerja pertamanya itu.
Tiba-tiba, dirinya melihat sesuatu yang janggal. Ada empat batu bata pertama yang tidak tersusun rapi. Keempat batu bata tersebut tampak lebih menonjol dan miring di antara batu bata lainnya yang tersusun rapi. Timbul perasaan kecewa dan tidak puas atas hasil kerjanya. Bergegas, dirinya menemui sang pemuka agama untuk mendiskusikan masalah yang mengganggu pikirannya.
“Lihat Pak, batu bata pertama yang saya pasang kurang rapi sehingga mengganggu keindahan seluruh tembok di atasnya. Tolong beri kesempatan kepada saya untuk memperbaikinya dengan cara memasang ulang batu-batu bata itu. Saya janji pasti akan mengerjakan sebaik-baiknya sampai selesai.”
Namun, usulannya itu ditolak. “Tidak ada yang perlu diperbaiki, Nak. Tembok sudah naik setengah, tidak perlu dirobohkan hanya gara-gara empat bata yang kurang rapi. Teruskan saja pekerjaanmu hingga selesai,” ujar sang pemuka agama.
Akhirnya, meski merasa kecewa dan tidak puas, si pemuda mampu menyelesaikan keseluruhan tembok tersebut. Namun, setiap kali melewati batu bata yang kurang sempurna itu, selalu timbul rasa tidak puas dan bersalah yang mengusiknya. Dirinya pun bergegas lalu, pura-pura tidak melihat, dan bahkan dengan sengaja berjalan memutar agar dirinya tidak melihat ketidaksempurnaan tersebut. Hal ini dilakukan karena setiap kali dirinya melihat ketidaksempurnaan batu bata tersebut, dia merasa diingatkan kepada kesalahan yang telah disebabkan oleh dirinya. Dirinya menganggap bahwa kesalahan itu akan banyak dilihat oleh orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
Suatu hari, daerahnya menerima kunjungan seorang pemimpin dari kota. Si anak muda pun mendapatkan tugas mendampingi sang pemimpin berkeliling di tempat itu. Tiba-tiba sang pemimpin menghentikan langkahnya, sambil menatap tembok di salah satu sisinya dan berseru, “Wah, dinding ini indah sekali!”
Dengan terkejut, sang pemuda lantas bertanya, “Apanya yang indah, Pak? Apakah Bapak tidak melihat empat batu bata yang miring, dan mengganggu kesempurnaan seluruh tembok ini?”
“Oh ya, saya melihat empat batu bata itu, tetapi saya juga melihat ratusan batu bata lainnya yang bagus! Ketidaksempurnaan tadi, justru membuat dinding ini tampak lebih indah untuk dinikmati, bukan sekadar dinding kosong yang rata.”
Sejenak si anak muda terpana. Untuk pertama kalinya, sejak tembok itu berdiri, pemuda itu melihat tembok yang sama, dengan kesadaran yang berbeda. Sebelumnya, matanya selalu memperhatikan kesalahan yang telah dilakukan hingga ia selalu ingin menghancurkan seluruh dinding. Dia tidak menyadari tumpukan batu bata yang bagus dan sempurna yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kebaikan yang banyak dari hasil kerjanya itu, seolah tertutupi kesalahan kecil yang dia lakukan sebelumnya.
Dear Readers,
Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sebab, kita semua hidup dengan aneka keterbatasan. Setiap manusia, Anda dan saya, tentu memiliki “bata” yang jelek dan “bata” yang bagus di kehidupan. Ini mengingatkan saya pada sebuah pepatah, “Tak ada gading yang tak retak.” Dalam sebuah keindahan, pasti terdapat kekurangsempurnaan.
Terkadang, tanpa sadar kita melakukan kesalahan, tetapi dari sana kita justru dapat belajar lebih banyak tentang kebenaran. Tidak jarang kita juga mengalami kegagalan agar dapat merasakan nikmatnya sebuah keberhasilan. Karena itu, Anda tidak perlu malu dengan kesalahan di masa lalu. Jangan pula patah semangat saat kegagalan mendera. Sebab, di balik semua itu, tetap ada sesuatu yang dapat Anda kupas dan pelajari.
Kesadaran akan keterbatasan sebaiknya dapat menjadi pemacu semangat kita untuk terus melakukan perbaikandalam segenap aspek kehidupan. Bukan saatnya lagi bagi Anda untuk meratapi kekurangan. Dengan mempelajari keterbatasan itu, Anda dapat terus belajar untuk memaksimalkan kelebihan yang sudah ada demi membangun masa depan.
Oleh karena itu, jangan hancurkan dinding yang bagus karena bata yang tidak sempurna. Di balik setiap proses kehidupan, pasti ada proses pembelajaran. Tujuannya pun selalu sama: untuk menguatkan dan menyempurnakan, sehingga hidup lebih bermakna.
Salam sukses luar biasa!